Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Urip Ke DPR, Muhidin Pulang Sore

Beberapa pengecer koran mengadukan nasibnya ke dpr karena 7 koran dilarang terbit. para pengecer biasanya berdagang di sekitar lampu lalu lintas dan sering dikejar polisi, dianggap mengganggu ketertiban. (sd)

4 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK muda yang tak dikenal di Ibukota itu tiba-tiba punya ide: ia harus datang ke DPR. Umurnya 26 tahun. Namanya Urip Murtado. Ia asli Jakarta. Putus sekolah. Di pagi hari ia setengah menganggur menyewakan tenaga untuk mengapur rumah, kadang-kadang. Di sore hari ia berjualan koran Sinar Harapan dan Pos Sore. Ketika ia mendengar bahwa kedua koran itu dilarang terbit, ia merasa injakan hidupnya terancam. Ia tergerak untuk mengadu. Ia mengajak tiga orang temannya ke gedung DPR. Siapa tahu ada wakil rakyat nun di sana yang mau mendengar nasibnya. Hari itu Senin 23 Januari 1978. Setelah naik bis dari daerah Selamba jam 8.30 pagi ke daerah Senayan, empat pemuda itu mungkin merupakan delegasi pertama yang datang ke parlemen untuk membicarakan masalah pers nasional setelah dilarangnya 7 koran terbit. Tentu saja mereka datang dengan ditunggangi "kepentingan tertentu": supaya periuk nasi mereka tak terguncang. Mereka diterima oleh wakil Fraksi PPP dan Fraksi Karya. Lalu hari keburu siang, jam 12.30, dan mereka memutuskan pulang. Mereka memang cuma 4 orang, kata Urip, karena kalau membawa kawan-kawannya kebanyakan anak-anak kecil - bisa dianggap demonstrasi. "Nanti malah ditangkap," kata Urip. "Yang kami khawatirkan ialah kalau lama-kelamaan modal kami habis hanya buat makan saja." "Tunggulah .... " Para wakil dari Fraksi PPP dan Karya tentulah mengangguk-angguk mendengar permintaan anak-anak dari tepi jalan ini. Dan Urip dkk - yang tidak insyaf betul lika-likunya pekerjaan para anggota parlemen - pun menunggu: siapa tahu hari Selasa esoknya suara mereka sudah didengar dan barang dagangan mereka diijinkan beredar kembali. Tentu saja tidak. Hari Rabu, agak cemas agak kecewa dan sekaligus agak nekad dalam berharap, mereka mencoba mengadu ke Kaskopkamtib Sudomo. Seorang petugas di Kopkamtib, menurut Urip, menasihatinya supaya tenteram. "Tunggulah," katanya, "pembreidelan ini tidak lama, hanya sementara." Patuh, Urip dan kawan-kawannya pulang lagi - mengurungkan niat mereka buat menemui Menteri Penerangan. Urip merasa punya alasan kuat untuk resah. Ia, yang selama jadi pengecer koran sore bisa memperoleh penghasilan Rp 700 sehari, adalah anak kedua dari sebuah keluarga miskin yang punya anak 10 - setelah dua di antaranya mati. Bapaknya sopir oplet yang kini suka sakit-sakitan. Ibunya "bisanya ya membantu masak kalau tetangga lagi ada perkawinan atau sunatan." Karirnya sebagai pengecer barangkali tak teramat istimewa bagi seorang pemuda yang dibesarkan dalarn rumah tangga yang seret penghasilannya. Ia tinggal di Paseban Timur, tak jauh dari Universitas Indonesia. Di daerah ini lebih dari 100 anak tanggung dan remaja bekerja menjajakan koran. Ada yang masih meneruskan sekolah, yang cuma bisa jadi pengecer untuk koran sore. Ada yang dari pagi hingga senja bekerja di bidang ini. Urip sendiri sudah sejak masih di kelas VI SD jadi pengecer. Gengsi Sejak kecil itu ia berjalan dari Salemba ke Senen, terus ke Pejambon dan ke Lapangan Banteng pulang-pergi, hampir tiap hari. Dan ini berlanjut terus sampai ia menginjak SMP Begitu ia sampai ke tingkat SMA, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang barangkali bisa disebut gengsi. Ia malu untuk jadi pengecer koran terus. Tapi keluarganya? Ongkos sekolahnya? Pembayaran buku pelajarannya'? "Pulang ke rumah kalau masih ada nasi saja sudah sukur," kata Urip mengenangkan masa itu. "Belum lagi kalau saya melihat adik-adik saya di rumah. Saya jadi merasa serba salah." Akhirnya ia mengambil keputusan: ia tak bisa bersekolah lagi. "Sejak tahun 1974 itulah saya kembali lagi jual koran sampai sekarang." Itu pun dengan setengah hati. Ia tak mau berjualan koran di pagi hari. Ia memilih jadi pengecer sore, dengan koran sore. "Habis saya malu ketemu kawan-kawan. Kalau pagi berjualan rasanya seperti penganggur saja." Bagi Urip nampaknya definisi bekerja bukanlah menjadi pengecer. Agaknya itu juga disebabkan karena ia melihat bahwa kaca-kaca mobil kadang mendadak ditutupkan -- seperti takut ditodong - bila pengecer koran mendekat ke kendaraan mengkilap yang berhenti di perampatan. Atau barangkali karena ia juga melihat: polisi sering mengejar-ngejar para pengecer. Beberapa waktu yang lalu memang pernah ada diumumkan, bahwa para pengecer koran dilarang berdagang di sekitar lampu lalu-lintas--mungkin untuk menjaga kelancaran mobil-mobil. Dan polisi pun sering bertindak melaksanakan larangan itu. Kata Urip: "Yang tertangkap satu kali disekap sehari di kantor polisi. Yang tertangkap dua kali disekap tiga hari. Dan kalau sampai tertangkap untuk ketiga kalinya, akan ditransmigrasikan." Urip tidak pernah ditangkap, tapi ia takut ditransmigrasikan--meskipun ancaman "transmigrasi" itu mungkin cuma main-main dan belakangan ini polisi toh sudah jarang mengejar-ngejar pengecer. "Saya masih bisa bekerja di sini," kata Urip. Tentu saja dengan harapan, bahwa barang dagangannya -- yang tak lain adalah hasil karya jurnalistik Indonesia yang "merdeka dan bertanggungjawab" -- akan bisa lancar beredar. Biasanya tiap hari ia membawa 20 sampai 50 lembar koran, yang dibawanya keliling di sekitar Salemba. Untuk Sinar Harapan ia bisa mendapat keunturlgan Rp 20 sampai Rp 50 per lembar. Untuk Pos Sore untungnya Rp 10. "Sekarang ini saya sedang merasakan bagaimana sedihnya jadi penganggur," kata Urip. MUHIDIN, pengecer koran umur 14 tahun, agaknya calon manusia Indonesia yang bisa bersyukur. Anak ini merasa berbahagia dengan hasil pekerjaannya setahun ini. Ketika ia datang dari Pekalongan - setelah membolos dari ujian madrasah terakhir -- ia cuma punya pakaian satu stel. Kini sudah 5 stel, dan "bagus-bagus," katanya. Sebagai orang yang bersyukur, ia tak pernah mengeluh. Juga bila hujan turun dan koran tak laku. "Kalau hujan ya berteduh," kata Muhidin. "Semua tergantung nasib," tambahnya. Bagi Muhidin semuanya pun tergantung nasib ketika beberapa koran yang dijualnya ternyata dilarang terbit. Ia mengaku tak merasa sedih atas pembreidelan itu. Baginya keuntungan yang diperolehnya setiap hari sudah membahagiakan. Memang ia terpukul, tapi tak teramat dirasakannya. "Kalau biasanya saya pulang sampai jam 10 malam, sekarang jam 6 sore sudah bisa pulang." Tiap pagi, kecuali hari Minggu, dari jam 7 ia sudah mengambil jatah koran di Dukuh Atas, dari rumah seorang agen. Setumpuk koran (sekitar 50 sampai 75 lembar) dari pelbagai penerbitan dibawanya ke arah perempatan Cik Di Tiro dengan Jalan Diponegoro. Jarak ini tak terlalu jauh, sekitar 4 kilo. Jarak yang rutin. "Cukong" Ia masih punya ayah, ibu dan seorang adik yang masih bersekolah di SD kelas II - hanya mereka jauh ditinggalkannya di Pekalongan. Setahun yang lalu Muhidin datang ke Jakarta, dengan maksud mau mencoba nasib di sini selama tiga bulan. Rupanya ia senang. "Saya senang di Jakarta, kumpul sama teman-teman dan pegang duit," katanya. Padahal mulanya ia merasa ngeri tinggal di kota seramai ini - takut dilanggar kendaraan. Dan ia meman peMah mengalami sekali: ketubruk sepeda ... "Di Jakarta malah ketubruk sepeda," katanya sendiri sambil ketawa. Ia tinggal di sebuah rumah di daerah Jalan Setiabudi, berkumpul bersama 10 temannya. Mereka satu serikat. Yang menyediakan tempat adalah seorang "cukong", yang rupanya punya ide beramal secara diam-diam memberi anak-anak itu sebuah sumber penghasilan. Muhidin misalnya, mendapat uang Rp 1000 dari padanya, untuk beli koran, dan sore hari uang itu dapat dipulangkan setelah koran laku. Tiap hari ia mengatakan bisa menabung sampai Rp 500. Setiap bulan uang itu dibawanya pulang ke Pekalongan untuk diserahkan pada orang tuanya. Ia bangga dengan hasil kerjanya itu. Meskipun kadang ia merasa iri bila ketemu adiknya yang masih bersekolah atau bila melihat temannya yang menyandang buku. "Saya pingin sekolah lagi," kata Muhidin, "tapi ya tidak mampu." "Bapak saya tidak bekerja. Ia hanya seorang buruh tani. Emak saya berjualan. Tapi keluarga saya miskin makanya saya disuruh berhenti sekolah dan disuruh cari duit." Di hari pertama di Jakarta ia mulai berjualan permen, karena bantuan seorang kawan sekampung. Kemudian, setelah mengetahui bahwa berjualan sinar Harapan bisa lebih menguntungkan, ia ganti usaha. Permulaan selalu tidak mudah. Misalnya, ia harus tahu bagaimana mendapatkan tempat berjualan yang strategis, tanpa perkelahian. Sebab sekali ia kena pukul para pengecer lain, hingga anak 14 tahun yang pemalu ini pun menyingkir begitu saja, karena "saya tak berani berkelahi." Sebenarnya bekas murid madrasah yang putus belajar ini kepingin jadi seorang kiyai. Sampai sekarang pun Muhidin tetap mengaji di rumah. Cuma ia tidak bersembahyang selama waktunya disita oleh kesibukan berjualan. Juga di hari Jum'at ia tak pernah sempat ke mesjid. Tentang ini, dengan mukanya yang mengkilap dan sudah mulai ditumbuhi jerawat kecil, Muhidin rupanya merasa malu. Tapi ia tak mampu berbuat lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus