ERA rekayasa genetik sudah tampil. Akhir Juli lalu, salah satu produknya disahkan FDA (Food & Drug Administration) otorita obat dan makanan Amerika Serikat. "Ini adalah saat yang sangat bersejarah," kata Frank E. Young dari FDA pada saat pengesahan itu. Produk yang mendapat kehormatan itu vaksin hepatitis-B, kini sedang disiapkan memasuki pasaran. Januari tahun mendatang, diharapkan sudah beredar dan dapat digunakan menangkal penyakit liver, pemicu kanker hati itu. Vaksin ini sangat diperlukan karena sekali kena hepatitis-B, kemungkinan sembuh 100% sangat kecil -- malah bisa berkembang ke kanker. Maka, vaksin digunakan untuk menutup sama sekali kemungkinan kejangkitan itu. Vaksin yang ditampilkan Juli lalu itu sebenarnya merupakan penyempurnaan dari sebuah proses pembuatan yang cukup panjang. Perusahaan Merck, Sharpe & Dohme (MSD) yang mendapat hak memasarkan vaksin itu, sebelumnya, sudah memproduksi vaksin dari generasi pertama. Tapi, ternyata, vaksin yang mulai dipasarkan tahun 1981 itu tidak bisa dijamin keampuhannya. Dari sebuah penelitian diketahui, di antara 773 orang yang mendapat vaksinasi, 55 masih kejangkitan hepatitis-B. Vaksin hepatitis-B memang bukan barang baru. Perintisan menuju pembuatan vaksin sudah mulai di tahun 1961, ketika Barauch S. Blumberg menemukan zat pada virus penimbul hepatitis-B yang kemudian disebutkan HBsAg. Zat yang ditemukan merupakan bagian dari kulit virus yang tidak menimbulkan penyakit tetapi mampu merangsang produksi antibodi. Inilah bahan baku vaksin. Dalam pembuatan vaksin, HBsAg diambil dari darah penderita hepatitis-B. Untuk memisahkan HBsAg dari bagian-bagian virus yang berbahaya digunakan peralatan zonal ultra centrifuge yang berputar 50.000 rpm, juga proses kimiawi yang menggunakan bahan-bahan pepsin, urea, dan formalin. Walaupun kecil, kemungkinan berbaliknya vaksin menjadi penimbul penyakit tetap ada. Di samping itu, dengan munculnya AIDS yang berjangkit lewat darah, pengambilan HBsAg dari darah penderita hepatitis menimbulkan masalah baru. Pencarian vaksin hepatitis yang aman tidak dihentikan bioteknologi tampil sebagai jalan keluar. Percobaan lewat bioteknologi berlangsung sejak 1978. Dilakukan Dr. Pablo Valenzuela dan Dr. William J. Rutter di California, Amerika Serikat. Tahun 1980 percobaan laboratorium mereka berhasil. Setelah itu kedua ilmuwan itu mendirikan perusahaan Chiron Corporation dan meneruskan penelitian sebagai subkontraktor Merck. Tahun 1983 mereka mendapat izin FDA untuk mencobakan vaksin itu pada manusia. Berbeda dengan vaksin sebelumnya, vaksin Valenzuela dan Rutter tidak bersumber pada darah penderita hepatitis-B. Teknik mereka dikenal sebagai pembuatan rekombinan DNA (rDNA) yaitu, menjahitkan unsur genetik pada jasad renik dan membiarkannya berkembang biak -- dengan begitu produk yang diharapkan didapat. Awalnya, unsur genetik yang bertanggung jawab memproduksi HBsAg diambil dari virus penimbul hepatitis. Caranya, memotong bagian itu dari DNA (deoxyribonucleic acid), untaian asam amino yang mengandung unsur-unsur genetik yang terdapat pada inti sel virus. Potongan inilah yang kemudian dijahitkan pada ragi Saccharomyces, jasad renik bersel satu. Ragi kemudian dipelihara dan dikembangbiakkan. Ternyata, dalam proses multiplikasi, ragi memproduksi pula HBsAg, berdasar Instruksi unsur genetik virus yang dijahitkan pada tubuhnya. Sudah tentu HBsAg yang dihasilkan ragi Saccharomyces, aman karena bebas sama sekali dari unsur-unsur berbahaya penimbul penyakit virusnya. Inilah yang mendapat pengesahan FDA Juli lalu, dengan nama Recombivax HB. Selain aman, vaksin diharapkan juga akan lebih murah dari generasi sebelumnya. Pasalnya, pembuatan vaksin sebelumnya membutuhkan waktu 65 minggu. Dengan bioteknologi proses itu, hanya empat minggu. Jim Supangkat Laporan Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini