Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Deru Diesel Yang Sember

Sejumlah pabrik mesin diesel lokal suram, terpukul produk impor. akibatnya pt wira mustika indah tutup. pt boma bisma indra melakukan restrukturisasi agar bisa bersaing. abi minta proteksi. (eb)

9 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HURA . . . mesin diesel murah. Tapi itu kabar kurang membahagiakan produsen diesel lokal. Mereka menjerit. Sebab, kalau jumlah mesin diesel murah makin banyak memasuki pasar, pabrik bakal berhenti menderu dan ratusan karyawan bisa kehilangan pekerjaan. Soalnya memang cukup serius: diesel murah eks impor seperti Dong Feng bikinan RRC itu bisa didapat dengan harga hanya 40% dari harga diesel rakitan lokal. "Saya yakin diesel bikinan RRC atau yang lainnya itu dijual dengan harga bantingan," tuduh Handoko Soeratmin, Ketua Asosiasi Motor Bakar Indonesia (ABI). Jeritan produsen mesin diesel, pekan lalu, itu seolah menambah ramai suara jeritan sebelumnya, yang sudah diteriakkan pelbagai sektor industri manufaktur lokal. Kalau sudah kalah bersaing dan terpojok melawan barang impor, biasanya, mereka lalu minta proteksi untuk mencegah jatuhnya banyak korban. Dalam kasus diesel kecil, dengan daya 4 PK-30 PK (tenaga kuda), korbannya memang sudah ada. PT Wira Mustika Indah, penghasil mesin diesel lokal di kelas ini, tahun lalu terpaksa menutup usahanya. Sementara itu, kondisi perakit lain, setahun terakhir ini, juga sember. PT Yanmar Diesel Indonesia, penghasil Yanmar, tahun lalu mengaku rugi sampai Rp 1,5 milyar. Tahun ini kerugiannya diproyeksikan masih akan berada di atas angka Rp 1 milyar. Supaya kerugian tidak menggelembung, biaya perlu ditekan, dengan mengurangi jam kerja (jadi setengah hari) dan jumlah hari kerja (jadi empat hari dari lima hari). Cerita suram juga muncul dari Tri Ratna Indonesia, penghasil diesel Mitsubishi, yang sudah merumahkan 40 dari 76 karyawannya, dan memotong hari kerja jadi tinggal dua hari saja. Duel berasap hitam di lapisan pasar diesel kecil, yang memakan korban lumayan itu, memang cukup seru. Bayangkan saja, sebuah diesel Dong Feng 12 PK bisa dibeli dengan harga hanya Rp 520 ribu, atau hanya sekitar 37% dari harga Yanmar yang Rp 1,39 juta. Lalu Dong Feng 24 PK hanya Rp 1,4 juta, atau sekitar 56% dari harga banyak mesin diesel rakitan lokal yang Rp 2,47 juta. Bukan hanya Dong Feng. Taro dan Buffalo bikinan Taiwan juga masuk pasar dengan harga bersaing. Bagi para petani dan nelayan, murahnya mesin diesel RRC itu jelas menggembirakan. Dengan sedikit kredit dari bank, para nelayan di pedalaman kini banyak melekati lambung sampan mereka dengan diesel untuk pergi melaut. Tapi golongan masyarakat ekonomi lemah ini rupanya tidak tampak di mata para pengurus ABI. Buktinya, mereka minta agar pemerintah menghentikan sama sekali impor mesin diesel dalam bentuk utuh (kuota nol persen), agar industri mereka bisa bertahan hidup. Cara itu dianggap efektif, meskipun terancam dengan tindakan pembalasan dari negara yang terkena. Usaha melindungi industri lokal, dengan menaikkan tarif bea masuk atau menambah pungutan pajak impor, sudah tak bisa dilakukan. Bayangkan, kendati diesel built-up itu sudah dihantam bea masuk 30% (tarif maksimum), pajak penjualan impor 10%, dan pajak penghasilan 2,5%, Dong Feng masih bisa masuk dengan harga murah. Daya saingnya jadi makin tinggi, sesudah Juli lalu, mata uang RRC renminbi didevaluasi 15%. Sementara itu, posisi para perakit mesin diesel makin tergencet, sesudah biaya impor berbagai komponen dari Jepang menanjak terus gara-gara yen mengencang nilainya. Karena harga masukan komponen impor naik, harga jual produk akhirnya ikut tertendang naik pula -- apalagi komponen impor itu dikenai bea masuk 30%. "Jelas, kami makin tidak bisa bersaing," ujar H. Sembada, Direktur Produksi Yanmar. Keluhan pengusaha memang layak diperhatikan. Apalagi bila diingat investasi mereka di situ tidak kecil: Yanmar US$ 3,6 juta, Tri Ratna US$ 2 juta, dan Wira Mustika US$ 2 juta. Juga nasib sekitar puluhan subkontraktor yang ikut memasok suku cadang ke para perakit itu. "Tapi konsumen, seperti petani dan nelayan, juga perlu diperhatikan," kata seorang pejabat tinggi Departemen Perindustrian. "Kasihan, dong, mereka kalau impor diesel murah langsung disetop." Ikhtiar membentuk benteng perlindungan, tampaknya, harus dilakukan para perakit sendiri dengan mengurangi pemakaian komponen impor eks Jepang yang dibeli dengan yen. Mungkin mereka perlu memperbanyak usaha pemakaian komponen lokal yang seharusnya dijadwalkan dibuat sepenuhnya di sini mulai 1989 nanti. Atau meminta pemerintah agar impor diesel utuh tidak boleh dikaitkan jadi satu paket dengan mesin lain, hingga importirnya hanya membayar bea masuk rendah. Persoalan yang dihadapi perakit diesel kelas menengah dengan daya 30 PK-500 PK juga sama saja. Tapi, dalam semangat menaikkan daya saing itulah, usaha restrukturisasi teknologi dilakukan pihak Boma Bisma Indra dengan biaya lebih dari US$ 65 juta. Di situ termasuk juga usaha memperbarui dan menambah perlengkapan untuk menghasilkan komponen-komponen diesel merk Deutz (Jerman Barat) dan Cummins (AS). Kapasitas untuk menghasilkan setiap komponen itu dirancang mencapai 9.000 set setahun. Jika pembangunan pabrik pembuatan komponen seperti crank shaft bearing cover, dan crank cases selesai Februari 1988 nanti, maka BBI berarti sudah bisa membuat seluruh komponen diesel yang kelak dihasilkannya. Sekarang, dengan pemakaian komponen lokal baru 40%, daya saing diesel yang dihasilkan memang masih kalah dengan Dong Feng. Soal apakah nanti diesel BBI bisa bersaing atau tidak, "Ujiannya ada di pasar ekspor -- kalau belum berani ekspor jangan macam-macam," kata Didih Widjajakusumah Direktur Utama BBI. Pasar lokal sendiri prospeknya dinilai cukup bagus, meskipun angka-angka ABI menunjukkan produksi mesin diesel kecil cenderung merosot. Karena mungkin pasarnya diambil diesel impor, produksi lokal, yang di tahun 1981 bisa mencapai 71 ribu unit, tahun lalu tinggal 40 ribu. Tapi agen tunggal dua perusahaan mesin diesel Taiwan rupanya punya keyakinan lain, hingga mereka berani memutuskan untuk membangun perakitan di sini. "Lampu hijau sudah dinyalakan pemerintah," kata seorang pejabat." EH Laporan Budi Kusumah (Jakarta) & Choirul Anam (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus