MEMANG merisaukan: dana cukup, tapi banyak proyek pemerintah tidak selancar seperti direncanakan di atas kertas. Akibatnya, tak hanya sasaran pembangunan meleset. Tapi, dengan belum ditariknya pinjaman dari lembaga multilateral (seperti Bank Dunia) itu mengakibatkan pemerintah juga harus membayar commitment fee 0,75% setahun. Itu sebabnya Presiden Soeharto perlu memanggil secara berturut-turut para menteri lengkap dengan dirjen mereka untuk mendiskusikan soal itu. Dan untuk menolong usaha memperlancar pemakaian dana itu, pekan lalu, dengan Keppres No. 32 Kepala Negara membentuk Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-Proyek Pembangunan dengan Dana Luar Negeri (P4DLN), yang diketuai Menteri Negara PAN Dr. Saleh Afiff. Masih harus dilihat apakah, sesudah pembentukan tim itu, proyek tetap sulit mencari konsultan dan tanah, serta menemui hambatan birokrasi. Bagi tim sendiri, jelas tidak mudah untuk mengawasi dan mendorong-dorong agar 5.000 proyek besar yang tersebar di pelbagai pelosok itu bisa mulus terwujud hanya dalam sekali pencet. Menteri Pertanian Achmad Affandi, misalnya, punya banyak cerita mengenai sulitnya mewujudkan proyek perikanan dan perkebunan di lingkungannya. Sebuah proyek perikanan di Sumatera -- Sumatera Fisheries Development Project bisa tak lancar memakai dana valuta asing itu gara-gara sulit mencari konsultan, dan kondisi tanah di lapangan dianggap kurang cocok. Konsultan yang seharusnya sudah diperoleh April 1981 lalu, nyatanya, baru didapat hampir satu setengah tahun kemudian. Akibatnya, dana dari proyek yang dijadwalkan selesai Desember tahun ini baru terpakai 6,4% dari yang dialokasikan -- US$ 14 juta Bank Dunia dan US$ 11,8 juta APBN. Di lingkungan Ditjen Perikanan itu tercatat empat proyek besar, yang pembangunannya sebagian dibiayai valuta asing sebesar hampir US$ 132 juta, yang dinilai lambat. Pembiayaan rupiah dari APBN untuk keempat proyek itu senilai sekitar USS 77 juta. Menurut Dirjen Perikanan, Soeprapto, keempat proyek itu sebenarnya tidak bisa digolongkan lambat semuanya. Proyek Pengembangan Perikanan Irian Jaya Kedua yang dimulai sejak 1982 dan baru menyerap 0,9% kredit US$ 34 juta, misalnya, dianggap belum lambat, "Karena jatuh waktunya baru tahun 1988 nanti," katanya. Tidak lambat, tapi mungkin bisa disebut lamban. Di lingkungan Ditjen Perkebunan, menurut Dirjen Perkebunan Rachmat Soebiapradja, kelambanan sering muncul akibat proyek sulit mendapat lahan. Toh, kadang terjadi juga kelambanan muncul hanya gara-gara persyaratan administrasi penunjang yang diperlukan untuk menarik dana belum beres -- sekalipun persyaratan fisik berupa penyediaan lahan sudah rampung. Tentang kapasitas pimpinan proyek, Dirjen Rachmat menilai, "Mereka tak sejelek seperti yang digambarkan, sebab mereka bukan baru satu tahun menangani proyek besar semacam itu." Di sektor perkebunan ini, yang mengalami kelambatan umumnya proyek-proyek yang berkaitan dengan pengembangan taraf hidup petani kecil, penanam karet, kelapa, cokelat, maupun kelapa sawit -- dalam proyek Nucleus Estate Smallholder (NES). Volume pinjaman dari Bank Dunia untuk pelbagai proyek itu hampir US$ 956 juta. Tapi, karena pelbagai alasan, US$ 128 juta di antaranya dibatalkan. Sedang dari Asian Development Bank (ADB) US$ 171 juta, US$ 7 juta di antaranya dibatalkan. "Pembatalan dana-dana yang berlebih itu menghemat biaya pembayaran commtment fee sebesar US$ 1,7 juta," ujar Dirjen Rachmat kepada TEMPO. Sayangnya, dari jumlah persetujuan pinjaman valuta asing sebesar itu, belum separuhnya yang dipakai. Pinjaman dari Bank Dunia saja yang dimanfaatkan baru US$ 327 juta. Akibatnya, sisa anggaran pembangunan APBN jadi menggelembung. Alokasi dana kemudian jadi seperti menyusut, sesudah tahun 1983, pemerintah mendevaluasikan rupiah menyusul terancamnya penciutan pendapatan migas. Revisi anggaran proyek kemudian perlu diadakan. "Kalau dulu ada proyek yang 60% dibiayai Bank Dunia, kemudian diusulkan agar menjadi 70% atau 80%," ujar Dirjen Rachmat. Usaha menanggulangi kelambatan pekerjaan proyek-proyek itu, sesungguhnya, sudah dimulai sejak dua tahun lalu, dengan membentuk panitia penyelesaian soal tanah dan pengawasan proyek-proyek -- juga diketuai Menteri PAN Saleh Afiff. Hasilnya menurut pengamatan Bank Dunia, penarikan dana-dana dari lembaga Bank Dunia naik 15 %. Tapi kenaikan penarikan dana itu dianggap masih rendah dan dianggap tidak tepat untuk mengukur penampilan pelaksanaan proyek. "Kualitas pelaksanaan, misalnya, tidak tertangkap dengan ukuran itu," kata Bank Dunia. "Yang tetap memprihatinkan terutama kualitas pelaksanaan proyek transmigrasi dan subsektor tanaman keras." Kritik memang perlu dikemukakan mengingat penarikan persetujuan pinjaman dari Bank Dunia lewat IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dipandang masih kelewat rendah. Dari persetujuan US$ 7,5 milyar, sampai akhir 1985 lalu, yang ditarik baru kurang US$ 3,4 milyar atau sekitar 45%. Sementara itu, dari badan Bank Dunia yang lain, yaitu IDA (International Development Association), relatif baik: dari persetujuan US$ 886 juta yang sudah dipakai US$ 844 juta lebih. Tapi pemakaian dana IFAD (International Fund Agricultural Development), di pihak lain, ternyata jelek. Dari persetujuan kredit hampir US$ 80 juta, yang dipakai baru US$ 20 juta, atau hanya 25%-nya. Tapi Dirjen Peternakan, Daman Danuwidjaja punya angka berbeda dengan laporan Bank Dunia itu. Katanya, dana IFAD I untuk periode 1981-1987, sebesar US$20,8 juta, sudah terpakai 85%. "Masih cukup waktu untuk menariknya, karena batas waktu pinjaman itu habisnya sampai Oktober tahun depan," katanya. Mudah-mudahan transmigran peserta KB, yang menerima sapi dengan dana IFAD I di Kalimantan itu, cukup puas. Dan, karena mungkin Bank Dunia menilai program itu lumayan berhasil, maka dana US$ 44 juta lagi disediakan untuk IFAD II periode 1986-1992. "Dana itu akan digunakan untuk proyek pengembangan peternak kecil," kata Dirjen Daman. Kendati proyek-proyeknya cukup mulus, Dirjen Daman masih merasa menemukan hambatan dalam mencari konsultan. Karena itu, Dirjen Daman meminta agar dosen yang berperanan sebagai konsultan proyek pemerintah diberi kelonggaran memperoleh cut dalam jangka waktu tertentu seperti dilakukan di luar negeri. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini