DUNIA kedokteran mengarahkan perhatiannya ke Berlin sejak Senin pekan silam. Di kota bersejarah ini diselenggarakan Konferensi AIDS Internasional ke-9 yang dibuka oleh Presiden Republik Federal Jerman, Richard von Weizsaecker. Seperti konferensi AIDS tahun 1992 di Amsterdam, konferensi yang di Berlin juga tak luput dari unjuk rasa para homoseksual, lesbian, dan penderita AIDS. Mereka menuntut agar lebih banyak lagi dana yang disalurkan bagi pengobatan para pengidap HIV (Human Immune Deficiency Virus). Malang bagi umat manusia, vaksin penangkal dan juga obat AIDS sampai kini belum ditemukan. Penelitian terus dilakukan, tetapi umat manusia seakan-akan menghadapi monster penyakit yang sangat tak jelas sosoknya. Penisilin sebagai antibiotik untuk melumpuhkan penyakit sifilis bisa ditemukan pada saat obat itu sangat diperlukan, tapi untuk AIDS tak ada tanda-tanda ke arah itu. Kendati tak ada kemajuan, pertemuan tahunan para dokter, partisipan, dan penderita AIDS di Berlin tetap saja penting. Wajar bila sampai 12.000 orang yang hadir dari 166 negara. Mereka memadati ruang International Congress Centrum yang berkapasitas 10.000 orang. Selama lima hari konferensi tersebut menampilkan 800 pakar yang memaparkan makalah dengan berbagai jurus menggempur penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Padahal, gempuran yang kian keras itu tak mempan untuk menangkal penjalaran wabah AIDS. Bahkan harus diakui, kasus penularan virus HIV tampak kian mencemaskan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, dewasa ini ada 14 juta orang yang ketularan HIV satu juta di antaranya adalah anak-anak. Dan 2,5 juta penderitanya telah meninggal. Penderita AIDS paling banyak tak kurang dari 8 juta orang bermukim di Afrika Tengah dan Afrika Selatan. WHO memperkirakan ada 1,5 juta penduduk Asia Selatan dan Tenggara yang positif terinfeksi HIV. Menjelang akhir abad ini jumlahnya akan bertambah menjadi 4 juta penderita. Ahli imunologi Australia, Dokter John Dwyer, mengatakan bahwa saat ini sepertiga dari orang Asia yang terinfeksi HIV terdapat di Thailand. Di Negeri Gajah Putih itu yang berperilaku seksual lebih bebas ketimbang penduduk negara ASEAN lainnya setiap hari tercatat 1.200 kasus baru. Sekalipun demikian, Dwyer mengimbau agar wabah AIDS di India juga diwaspadai. Kepala Masyarakat AIDS Asia dan Pasifik itu memperkirakan, di sana sudah satu juta orang lebih yang terjangkit HIV. Ia menduga, di Bombay saja 60% dari 100 ribu pelacurnya sudah terserang HIV. Peta AIDS di Amerika Serikat lain lagi. Menurut Dokter Antonio Novello, dalam makalahnya yang dibacakan pada konferensi itu, AIDS menjadi pembunuh nomor tiga untuk lapisan penduduk berusia antara 15 tahun dan 44 tahun. Akhir tahun lalu tercatat satu juta orang yang ketularan HIV 170 ribu orang di antaranya meninggal dunia. Hampir 20% warga Amerika yang menderita AIDS adalah penduduk berusia antara 20 tahun dan 30 tahun. Ini menunjukkan bahwa infeksi HIV terjadi ketika mereka masih remaja. Tahun depan diperkirakan ada 7.500 anak-anak di AS yang menderita AIDS. Bocah-bocah yang tak berdosa itu umumnya tertular virus AIDS dari ibu mereka yang mengidap HIV. Dan penularan terjadi lewat proses kelahiran maupun ASI (air susu ibu). Menurut para ahli AIDS yang menghadiri konferensi di Berlin, tanpa penanganan yang lebih serius, diperkirakan pada tahun 2.000 nanti jumlah pengidap HIV sedunia akan mencapai 3040 juta jiwa orang. Dan 80% dari jumlah itu berada di negara-negara berkembang. Michel Merson, Direktur Program AIDS WHO, menyatakan bahwa penyebaran AIDS tidak mengenal batas. Tapi jumlah terinfeksi tampaknya mulai bergeser. Sepuluh tahun lalu pria merupakan dua pertiga dari jumlah yang terkena HIV, kini jumlah penderita wanita lebih cepat bertambah. Hal itu bisa terjadi karena virus AIDS sudah pula memasuki kehidupan heteroseksual, yakni kehidupan seks pria-wanita. Toh di Eropa, Amerika Utara, dan sebagian negara Amerika Selatan, penderita AIDS yang homoseksual tetap paling dominan. Untuk program pemberantasan AIDS, tiap tahun WHO mengucurkan dana sebesar 1,5-2,9 miliar dolar. Hanya saja program itu tak bisa terlalu efektif dilaksanakan karena baik vaksin maupun obat AIDS belum ditemukan. Untuk sementara ini, Dokter Peter Lamtey, Direktur Proyek Penyuluhan AIDS dari Amerika Serikat, berpendapat, program intervensi penyuluhan cukup ampuh juga untuk menekan kasus infeksi baru. Bagaimana di Indonesia? Tampaknya kita semakin sulit menghindar dari kepungan virus AIDS. Soalnya, sumber infeksi HIV makin meluas. Tahun 1987, ketika pertama kali AIDS ditemukan di sini, hanya ada dua kasus AIDS dan empat yang positif mengidap HIV. Tapi sekarang ada 31 penderita AIDS dan 121 pengidap HIV. Diperkirakan, dua tahun lagi (1995) setengah juta penduduk Indonesia sudah tertular virus HIV. ''Kalau tidak cepat ditangani, kita bisa seperti di Thailand,'' kata Dokter Djumhana S., M.P.H., Kepala Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung Departemen Kesehatan. Untuk mengantisipasi kemungkinan buruk itu, Departemen Kesehatan tahun ini menganggarkan Rp 2 miliar khusus untuk memerangi AIDS. Gatot Triyanto (Jakarta) dan Asbari N. Khrisna (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini