Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Wabah, Bah Dan Orang Nias

Gunung Sitoli, ibukota kabupaten Nias dilanda wabah muntaber. Diduga asalnya dari pabrik es yang tidak memasak airnya lebih dulu. Bencana air bah, ombak & banjir besar membawa derita penduduk. (ksh)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEBRUARI yang lalu Pulau Simeulue diserang wabah muntah-berak. Baru untuk pertama kali itu pulau di pantai barat Aceh tersebut kena serangan penyakit muntah-berak. Penyakit itu diduga datang dari Nias, lewat sayur-mayur yang dibawa pedagang ke Sibolga. Sebab sebulan sebelumnya Kepulauan Nias memang kena serangan. Bulan April yang baru lalu pulau Nias yang jadi tempat tujuan wisatawan itu kena serangan lagi. Dari Kisaran di pantai timur, Koresponden TEMPO Amran Nasution bertolak lewat darat dan menyeberangi laut mengunjungi Nias di barat daratan Sumatera itu. Laporannya: Sepanjang Maret sampai April 1977 sebanyak 83 penduduk kepulauan Nias di Sumatera Utara meninggal karena serangan diare (muntah-berak). Pada bulan yang sama tahun ini, penyakit itu kembali menyerang dan membuat korban lebih banyak lagi: 112 meninggal dari 1059 penderita. Malapetaka itu kelihatannya memang sudah rutin, saban tahun menyerang kepulauan yang berpenduduk 415.000 jiwa, dipisahkan oleh sebuah selat dari daratan Sumatera. Tahun ini para pejabat kesehatan dengan dibantu masyarakat sudah bersiap-siap menampik serangan penyakit tersebut. Penyuluhan mengenai hidup sehat disebarluaskan ke daerah yang paling sering jadi pusat penyebaran penyakit, yaitu kecamatan Gomo, Alasa, Lahusa dan Mandrehe. Kotoran manusia menjadi bahan pembicaraan dalam rangka persiapan mencegah penyakit. Membuang hajat besar secara sembarangan dianjurkan supaya dihentikan, karena kotoran itu bisa menjadi sumber penyakit. Petuah itu memang didengarkan penduduk meskipun mereka menerima dengan sedikit berat hati. Sebab gerakan buang hajat di tempat yang benar ini mengurang nafkah babi sebagai binatang piaraan mereka yang utama. Selain kampanye kesehatan ke berbagai desa tadi, untuk anak-anak sekolah seorang perawat dan anggota DPRD Kabupaten Nias, Nona Sit Zega, menciptakan sebuah lagu yang liriknya menunjukkan bagaimana cara hidup sehat terhindar dari muntah berak. Lagu itu menjadi lagu wajib di seluruh sekolah di Kabupaten Nias. Cepat populer di kalangan anak-anak dan orang tua pun ikut pula mendendangkannya. Malang sekali, persiapan yang nampaknya sudah matang ternyata gagal juga. Perhitungan meleset. Sebab ledakan penyakit sekali ini bukan seperti yang diperkirakan, dari kecamatan Gomo, Alasa, Lahusa dan Mandrehe, tapi justru dari kota Gunung Sitoli, ibukota kabupaten Nias. Tak ada yang menduga penyakit muntah berak bisa lebih dulu menyerang kota kabupaten itu. Para pejabat kebingungan. "Pengetahuan kesehatan penduduk kota itu jauh lebih baik lari daerah lain. Saya nggak tahu apa sebab penyakit itu justru pertama kali meledak di Gunung Sitoli," kata dr M. Batubara, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nias. Musibah muntah-berak itu mulai menyerang 21 Maret. Persis pada hari pasaran di kota Gunung Sitoli. Penduduk dari desa sekitar numplek ke pasar. Hari yang baik dan pada kesempatan yang baik itu para pedagang es tidak menyia-nyiakan cari keuntungan. Saking laris dagangannya, mereka tak sempat lagi merebus air sampai masak. Jangankan direbus, kadang-kadang ada yang hanya menampung air di pancuran, dicelup gula dan diberi es lantas disantap para tamu. Ini sinyalemen para petugas kesehatan di kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Nias. Menurut Kepala Rumahsakit Umum Gunung Sitoli, dr DC Simanjuntak kuman muntah berak itu jadi menyebar bukan hanya jadi kesalahan para pedagang es yang bermodal kecil, tapi juga gara-gara pabrik es yang tidak memasak air sebelum diproses jadi es batangan. Liana Zebua (perempuan) dan Haugomano Waruwu (laki-laki) anak belasan tahun yang mula-mula kena serangan penyakit. Tak lama setelah menyantap es di Pasar Inpres Gunung Sitoli, mereka muntah-muntah dan berak-berak. Sampai di Madho Lauli, kampung tempat mereka tinggal, kuman muntah berak itu mencemari penduduk lain Mungkin lewat air di mana kotoran mereka terbawa, mungkin juga lewat lalat. Cuma pihak dinas kesehatan menduga penyakit itu jadi menyebar lewat selamatan yang diselenggarakan untuk melepas kedua anak tadi. "Maksimum di rumah orang yang meninggal karena muntah berak akan membantu penyebaran penyakit," kata Kepala Dinas Kesehatan, dr. M Batubara. Dan ia Sangat menyesalkan pihak keluarga yang tidak melaporkan kematian tersebut kepada dinas. Perhubungan Sulit Menghadapi ledakan penyakit yang tak terduga itu, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Nias, Dalimend segera bertindak. Ia memerintahkan sebuah pabrik es di Gunung Sitoli ditutup. "Biar, saya dituntut pemilik pabrik es itu. Lebih baik daripada saya dituntut karena rakyat saya pada mati," katanya. Posko (pos komando) penanggulangan muntah berak segera dibentuk dan berkantor di RS Gunung Sitoli. Bupali Delimend bertindak sebagai komandan. Selain itu dibentuk pula semacam pasukan gerak-cepat terdiri dari 145 murid dari Sekolah Perawat Gunung Sitoli. Mereka bersebar untuk membantu penduduk di berbagai tempat. Pihak Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara di Medan, mengirimkan 4000 botol cairan infus berikut dr Munte seorang ahli penanggulangan penyakit menular. Bantuan yang datang dari Medan itu ternyata tak cukup. Petugas kesehatan di berbagai puskesmas dan balai pengobatan di sana memang kurang banyak untuk menanggulangi seribu lebih korban. Perhubungan begitu sulit untuk mencapai korban. Inilah persoalan yang paling berat. 80% dari desa-desa di Nias tak bisa dihubungi dengan kendaraan roda dua sekalipun. Pasien dari desa pedalaman dibawa dengan tandu, melintasi sungai, bukit dan sampai di lembah puluhan kilometer jauhnya. Di kecamatan Lahusa ada pasien yang harus menderita terus sepanjang jalan 40 km. "Sebelum sampai ke rumahsakit atau pos kesehatan pasien itu sudah meninggal," keluh dr Simanjuntak, Kepala RS Gunung Sitoli. Menurut catatan, dari 112 orang yang meninggal, hanya dua orang yang menghembuskan nafas terakhir di pos kesehatan. Selebihnya meninggal di rumah atau di atas tandu dalam perjalanan. Dari 13 kecamatan di kabupaten kepulauan itu, 8 di antaranya jadi tuan rumah penyakit. Kecamatan Gunung Sitoli, Gido, Idane Gawo, Tuhemberua Mandrehe, Lahusa, Telok Dalam dan Lolowau. Telok Dalam dalam serangan kuman muntah-berak ini punya kedudukan yang agak lain. Dia adalah sumber penghasilan bagi Nias. Sebagai pusat wisata dia merupakan tempat tujuan para turis asing yang datang dengan kapal pesiar Prinsendam maupun yang berkunjung lewat darat. Tapi para turis itu tampak santai saja meluncur di atas ski air berkejar-kejaran dengan ombak di pantai Lagundi atau melihat-lihat rumah adat di Hilisimaetano dan Bawomataluo. Penderitaan orang Nias yang berkulit kuninglangsat itu rupanya tak berhenti sampai pada serangan muntah berak tadi. Tanggal 21 Mei menjelang dinihari, air bah menerjang dari gunung dan ombak laut membanting. Gunung Sitoli karam. Air naik ke jalanan sampai 1,5 meter. Untung tak ada korban jiwa. Puluhan ton beras busuk terendam, gula jadi cair. "Saya rugi Rp 200.000, 5 goni beras busuk," kata Atinia Zendrate. Wanita pedagang beras itu hampir saja menangis menceritakan penderitaannya. Nasib yang lebih malang menimpa 25 orang penduduk miskin di Km 2 Jalan Tohiya. Rumah mereka diseret ombak. 200 rumah penduduk lainnya diancam longsor. Di Km 3,5 yang menghubungkan Gunung Sitoli -- Tuhemberua jalan putus dihantam ombak. Akhir Mei jalan itu masih belum diperbaiki. Banjir besar yang menyapu kota dan rumah penduduk itu, menurut kepercayaan di sana merupakan pertanda kemarahan nenek moyang orang Nias, Sirao "Sekarang banyak terjadi pelanggaran terhadap adat," cetus Umar Zebua seorang penduduk Gunung Sitoli. Tari perang (Maina Baluse) tanpa persyaratan memotong babi dan memanggil Raja Adat (Balugu) senaknya dan gampang saja dipertontonkan kepada turis dan para pejabat yang datang. "Sirao jadi marah. Lantas datanglah muntah berak disusul banjir sebagai hukuman," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus