KEADAAN begitu mendesak. Jalan Sanggaran -- Kuta yang rusak
parah harus segera diperbaiki. Tamu agung dari beberapa negara
bakal melewati jalan itu -- dalam perjalanan mereka dari
Denpasar (Bali) ke obyek pariwisata Nusa Dua. Gubernur Bali,
Soekarmen, sudah mengeluarkan perintah. Pokoknya jalan harus
sudah rapi, "tidak tahu dari mana datangnya uang."
Bupati Badung, waktu iru Wayan Dhana, tentu jadi repot. Dia
mulai bekerja dengan anggapan untuk mengatasi "keadaan darurat".
Jadi, keadaan serba tergesa-gesa. Bawahannya, Wenten Suteja
(waktu itu menjabat Kasubdit Pembangunan), telah berusaha
mencari pemborong kawakan untuk melaksanakan perintah itu. Tapi
ternyata tak gampang cari pemborong yang mau bekerja atas dasar
"bekerja dulu dibayar kemudian (voorfinanciering)." Pemborong
kuat seperti PT Kresna Karya dan Mahagotra yang beken di Bali
sana, pun menolak kerja semacam itu.
Tidak Sah
Hanya I Made Minarsa, pemilik UD (usaha dagang, tanpa badan
hukum) Minarsa, yang sanggup mengerjakannya. Tak disebutkan,
adakah borongan semacam itu berarti lebih mahal dari biasa Yang
pasti, dengan biaya Rp 24. 032.500 UD Minarsa telah
menyelesaikan pekerjaannya. Dan para peserta KTT ASEAN, 1975
dapat mengunjungi Bali tanpa melalui jalan rusak. Bupati dan
Gubernur lega.
Tapi Minarsa belakangan makan hati. Pemerintah, yang telah
memintanya bekerja tanpa sepeser uang muka, ternyata tak mau
membayar jerih payahnya. Malah, seperti dinyatakan di pengadilan
yang sekarang ini tengah berlangsung, "perbaikan jalan itu tidak
sah." Begitu kata pembela (kuasa) pihak pemerintah, Rai Jaya,
dari Lembaa Bantuan Hukum (LBH) Universitas Udayana. Dalihnya:
Proyek itu tak masuk dalam APBD, surat perintah dari Bupati
Badung maupun berita acara penyerahan proyek ternyata tanpa
nomor surat maupun stempel. Bestek (gambar rencana proyek) pun
tak ada. Jadi, menurut LBH, "gugatan Minarsa salah alamat,
seharusnya ditujukan kepada Wayan Dhana dan Wenten Suteja secara
pribadi saja."
John Kusnadi, dari Kantor Pengacara Adnan Buyung Nasution
(Jakarta), yang membantu Minarsa menuntut pemerintah agar
membayar Rp 23 juta lebih plus bunga 3%/bulan, tentu saja
menolak dalih Rai Jaya. Baik Wayan Dhana, yang menerima perintah
Gubernur, maupun Wenten Suteja, kedua-duanya "adalah penjabat
yang sah bertindak untuk kepentingan negara."
Sidang menJadi ramai, ketika para saksi terutama Wayan Dhana
(sekarang Wakil KeNa Bappeda dan angota MPR utusan daerah) yang
akhir-akhir ini disebut-sebut sebagai calon kuat untuk jadi
Gubernur Bali, hadir di pengadilan. Mereka umumnya membenarkan
tuntutan Minarsa. "Seharusnya pemerintah berterimakasih kepada
Minarsa yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik."
Terimakasih itu juga berarti kewajiban membayar borongan harus
ditunaikan. Dia bersyukur, karena Minarsa telah membantunya
melaksanakan perintah darurat gubernur. Dulu, sebelum Wayan
Dhana digantikan oleh Bupati IDG Oka, bagaimana rencana
pembayarannya kepada Minarsa? Seperti saran gubernur sendiri,
katanya, biaya akan diperoleh dari merubah anggaran belanja
daerah yang sudah ditentukan. "Perubahan dalam APBD itu soal
biasa," katanya.
Hanya, malang bagi Minarsa, sebelum Dhana sempat melaksanakan
perubahan dalam APBD, sudah muncul bupati baru. Tapi menurut
Dhana, bagaimanapun urusan Minarsa "itu 'kan tugas bupati baru"
untuk membereskannya.
Saksi lain, Wenten Suteja, mengakui ada kelemahan administrasi
dari bawahannya dulu sehingga surat-surat penting kepada Minarsa
keluar tanpa nomor surat maupun stempel. Tapi, "proyek itu
memang mendesak." Ke mana besteknya Ada, "siapa bilang tidak
ada?" katanya. Dia melihat sendiri barang itu di kamar kerja
bupati yang sekarang, suatu hari ketika ia masih Kasubdit
Pembangunan dipanggil IDG Oka. Kalau tak percaya, tanya saja
Kasubdit Keuangan yang juga melihatnya.
Syukur Saya Hakim
Saksi Made Artha, sekarang Kepala Pekerjaan Umum DPU Propinsi
Bali, juga membenarkan Minarsa. "Saya sendiri yang membuatnya,"
katanya kepada Hakim Sof Larosa. "Wah, ini penggelapan arsip --
saudara dapat menuntut Bupati Badung ke pengadilan, supaya
tambah ramai," sambut Larosa. Mudah-mudahan hakim Larosa, yang
pernah mengadili koruptor Budiaji, tidak berkelakar -- meskipun
hadirin sidang dibuatnya tertawa.
Dulu, ketika gugatan Minarsa baru saja masuk pengadilan (1977),
ada surat kawat gubernur kepada Bupati Badung. Isinya antara
lain, "pembayaran hutang kepada Minarsa suatu hal yang wajar dan
patut dibijaksanai selambat-lambatnya tahun anggaran 1978/1979."
Lalu apalagi halangan bagi Minarsa untuk memperoleh haknya?
Hakim Larosa geleng kepala. "Ini surat juga tidak tegas, sih."
Seharusnya, katanya, "bilang saja bayar atau tidak, jangan
bijaksana-bijaksanaan." Bagi Larosa perkara begini cukup berabe.
"Kalau saya jadi Bupati Badung dulu, tidak dapat berbuat
apa-apa, kecuali memerintahkan Minarsa untuk melaksanakan
perintah Gubernur. Tapi kalau jadi bupati yang sekarang, saya
juga ragu-ragu untuk membayar suatu proyek, karena surat-surat
tanpa nomor dan stempel." Tapi yang jelas, "kalau saya jadi
gubernur," kata hakim ini lagi, "harus tegas, suruh pemda
membayar, agar tidak malu dituntut, jangan kabur-kaburan." Yang
pasti, "syukur saya tetap jadi hakim." Tok, palu diketuk untuk
sidang berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini