PEBRUARI yang lalu Pulau Simeulue diserang wabah muntah-berak.
Baru untuk pertama kali itu pulau di pantai barat Aceh tersebut
kena serangan penyakit muntah-berak. Penyakit itu diduga datang
dari Nias, lewat sayur-mayur yang dibawa pedagang ke Sibolga.
Sebab sebulan sebelumnya Kepulauan Nias memang kena serangan.
Bulan April yang baru lalu pulau Nias yang jadi tempat tujuan
wisatawan itu kena serangan lagi.
Dari Kisaran di pantai timur, Koresponden TEMPO Amran Nasution
bertolak lewat darat dan menyeberangi laut mengunjungi Nias di
barat daratan Sumatera itu. Laporannya:
Sepanjang Maret sampai April 1977 sebanyak 83 penduduk kepulauan
Nias di Sumatera Utara meninggal karena serangan diare
(muntah-berak). Pada bulan yang sama tahun ini, penyakit itu
kembali menyerang dan membuat korban lebih banyak lagi: 112
meninggal dari 1059 penderita.
Malapetaka itu kelihatannya memang sudah rutin, saban tahun
menyerang kepulauan yang berpenduduk 415.000 jiwa, dipisahkan
oleh sebuah selat dari daratan Sumatera. Tahun ini para pejabat
kesehatan dengan dibantu masyarakat sudah bersiap-siap menampik
serangan penyakit tersebut. Penyuluhan mengenai hidup sehat
disebarluaskan ke daerah yang paling sering jadi pusat
penyebaran penyakit, yaitu kecamatan Gomo, Alasa, Lahusa dan
Mandrehe.
Kotoran manusia menjadi bahan pembicaraan dalam rangka persiapan
mencegah penyakit. Membuang hajat besar secara sembarangan
dianjurkan supaya dihentikan, karena kotoran itu bisa menjadi
sumber penyakit. Petuah itu memang didengarkan penduduk meskipun
mereka menerima dengan sedikit berat hati. Sebab gerakan buang
hajat di tempat yang benar ini mengurang nafkah babi sebagai
binatang piaraan mereka yang utama.
Selain kampanye kesehatan ke berbagai desa tadi, untuk anak-anak
sekolah seorang perawat dan anggota DPRD Kabupaten Nias, Nona
Sit Zega, menciptakan sebuah lagu yang liriknya menunjukkan
bagaimana cara hidup sehat terhindar dari muntah berak. Lagu itu
menjadi lagu wajib di seluruh sekolah di Kabupaten Nias. Cepat
populer di kalangan anak-anak dan orang tua pun ikut pula
mendendangkannya.
Malang sekali, persiapan yang nampaknya sudah matang ternyata
gagal juga. Perhitungan meleset. Sebab ledakan penyakit sekali
ini bukan seperti yang diperkirakan, dari kecamatan Gomo, Alasa,
Lahusa dan Mandrehe, tapi justru dari kota Gunung Sitoli,
ibukota kabupaten Nias. Tak ada yang menduga penyakit muntah
berak bisa lebih dulu menyerang kota kabupaten itu. Para pejabat
kebingungan. "Pengetahuan kesehatan penduduk kota itu jauh lebih
baik lari daerah lain. Saya nggak tahu apa sebab penyakit itu
justru pertama kali meledak di Gunung Sitoli," kata dr M.
Batubara, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nias.
Musibah muntah-berak itu mulai menyerang 21 Maret. Persis pada
hari pasaran di kota Gunung Sitoli. Penduduk dari desa sekitar
numplek ke pasar. Hari yang baik dan pada kesempatan yang baik
itu para pedagang es tidak menyia-nyiakan cari keuntungan.
Saking laris dagangannya, mereka tak sempat lagi merebus air
sampai masak. Jangankan direbus, kadang-kadang ada yang hanya
menampung air di pancuran, dicelup gula dan diberi es lantas
disantap para tamu. Ini sinyalemen para petugas kesehatan di
kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Nias.
Menurut Kepala Rumahsakit Umum Gunung Sitoli, dr DC Simanjuntak
kuman muntah berak itu jadi menyebar bukan hanya jadi kesalahan
para pedagang es yang bermodal kecil, tapi juga gara-gara pabrik
es yang tidak memasak air sebelum diproses jadi es batangan.
Liana Zebua (perempuan) dan Haugomano Waruwu (laki-laki) anak
belasan tahun yang mula-mula kena serangan penyakit. Tak lama
setelah menyantap es di Pasar Inpres Gunung Sitoli, mereka
muntah-muntah dan berak-berak.
Sampai di Madho Lauli, kampung tempat mereka tinggal, kuman
muntah berak itu mencemari penduduk lain Mungkin lewat air di
mana kotoran mereka terbawa, mungkin juga lewat lalat. Cuma
pihak dinas kesehatan menduga penyakit itu jadi menyebar lewat
selamatan yang diselenggarakan untuk melepas kedua anak tadi.
"Maksimum di rumah orang yang meninggal karena muntah berak akan
membantu penyebaran penyakit," kata Kepala Dinas Kesehatan, dr.
M Batubara. Dan ia Sangat menyesalkan pihak keluarga yang tidak
melaporkan kematian tersebut kepada dinas.
Perhubungan Sulit
Menghadapi ledakan penyakit yang tak terduga itu, Bupati Kepala
Daerah Tingkat II Nias, Dalimend segera bertindak. Ia
memerintahkan sebuah pabrik es di Gunung Sitoli ditutup. "Biar,
saya dituntut pemilik pabrik es itu. Lebih baik daripada saya
dituntut karena rakyat saya pada mati," katanya.
Posko (pos komando) penanggulangan muntah berak segera dibentuk
dan berkantor di RS Gunung Sitoli. Bupali Delimend bertindak
sebagai komandan. Selain itu dibentuk pula semacam pasukan
gerak-cepat terdiri dari 145 murid dari Sekolah Perawat Gunung
Sitoli. Mereka bersebar untuk membantu penduduk di berbagai
tempat. Pihak Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara di Medan,
mengirimkan 4000 botol cairan infus berikut dr Munte seorang
ahli penanggulangan penyakit menular.
Bantuan yang datang dari Medan itu ternyata tak cukup. Petugas
kesehatan di berbagai puskesmas dan balai pengobatan di sana
memang kurang banyak untuk menanggulangi seribu lebih korban.
Perhubungan begitu sulit untuk mencapai korban. Inilah
persoalan yang paling berat. 80% dari desa-desa di Nias tak
bisa dihubungi dengan kendaraan roda dua sekalipun.
Pasien dari desa pedalaman dibawa dengan tandu, melintasi
sungai, bukit dan sampai di lembah puluhan kilometer jauhnya. Di
kecamatan Lahusa ada pasien yang harus menderita terus sepanjang
jalan 40 km. "Sebelum sampai ke rumahsakit atau pos kesehatan
pasien itu sudah meninggal," keluh dr Simanjuntak, Kepala RS
Gunung Sitoli. Menurut catatan, dari 112 orang yang meninggal,
hanya dua orang yang menghembuskan nafas terakhir di pos
kesehatan. Selebihnya meninggal di rumah atau di atas tandu
dalam perjalanan.
Dari 13 kecamatan di kabupaten kepulauan itu, 8 di antaranya
jadi tuan rumah penyakit. Kecamatan Gunung Sitoli, Gido, Idane
Gawo, Tuhemberua Mandrehe, Lahusa, Telok Dalam dan Lolowau.
Telok Dalam dalam serangan kuman muntah-berak ini punya
kedudukan yang agak lain. Dia adalah sumber penghasilan bagi
Nias. Sebagai pusat wisata dia merupakan tempat tujuan para
turis asing yang datang dengan kapal pesiar Prinsendam maupun
yang berkunjung lewat darat. Tapi para turis itu tampak santai
saja meluncur di atas ski air berkejar-kejaran dengan ombak di
pantai Lagundi atau melihat-lihat rumah adat di Hilisimaetano
dan Bawomataluo.
Penderitaan orang Nias yang berkulit kuninglangsat itu rupanya
tak berhenti sampai pada serangan muntah berak tadi. Tanggal 21
Mei menjelang dinihari, air bah menerjang dari gunung dan ombak
laut membanting. Gunung Sitoli karam. Air naik ke jalanan sampai
1,5 meter. Untung tak ada korban jiwa. Puluhan ton beras busuk
terendam, gula jadi cair. "Saya rugi Rp 200.000, 5 goni beras
busuk," kata Atinia Zendrate. Wanita pedagang beras itu hampir
saja menangis menceritakan penderitaannya.
Nasib yang lebih malang menimpa 25 orang penduduk miskin di Km 2
Jalan Tohiya. Rumah mereka diseret ombak. 200 rumah penduduk
lainnya diancam longsor. Di Km 3,5 yang menghubungkan Gunung
Sitoli -- Tuhemberua jalan putus dihantam ombak. Akhir Mei jalan
itu masih belum diperbaiki.
Banjir besar yang menyapu kota dan rumah penduduk itu, menurut
kepercayaan di sana merupakan pertanda kemarahan nenek moyang
orang Nias, Sirao "Sekarang banyak terjadi pelanggaran terhadap
adat," cetus Umar Zebua seorang penduduk Gunung Sitoli. Tari
perang (Maina Baluse) tanpa persyaratan memotong babi dan
memanggil Raja Adat (Balugu) senaknya dan gampang saja
dipertontonkan kepada turis dan para pejabat yang datang.
"Sirao jadi marah. Lantas datanglah muntah berak disusul banjir
sebagai hukuman," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini