Virus hepatitis B dan E menyerang 1.800 lebih penduduk Sintang, Kalimantan Barat. Di antaranya 16 orang telah meninggal. SEORANG dokter dan tiga paramedis di Kecamatan Kayan Hilir kewalahan menangani kedatangan penduduk. Kondisi mereka yang ramai-ramai ke puskesmas itu mengenaskan. Tubuh lunglai, demam, dan kuku, kulit, dan matanya, menguning. Tak pelak, sejak dua pekan lalu puskesmas di Kabupaten Sintang itu dibuat repot. Hingga pekan silam sudah 44 dusun dari 13 desa di Kecamatan Kayan Hilir dirambah virus hepatitis. Akibatnya, 1.800 lebih penduduk di daerah yang jaraknya sekitar 450 km dari Pontianak, ibu kota provinsi Kalimantan Barat, diserang virus yang menggerogoti organ hati itu. Virus ini telah merenggut 16 njawa penduduk. Bila musim kering, kecamatan yang berpenduduk sekitar 19.500 itu agaknya menjadi langganan virus hepatitis. "Ketika musim kering empat tahun lalu wabah hepatitis lebih parah," kata Dokter Karneni, Kepala Kanwil Depkes Kalimantan Barat. Ketika itu, di delapan kecamatan pada dua kabupaten, penderitanya 4.500 dan 76 orang yang meninggal. Maraknya demam kuning mungkin tak terjadi seandainya air sungai yang dijadikan andalan itu tidak susut. Namun, gara-gara kemarau panjang, arus sungai malas bergerak. Padahal, Sungai Ingar dan Kayan, misalnya, yang alurnya melingkari beberapa desa, selama ini oleh penduduk dijadikan MCK (mandi, cuci, kakus). "Karena tidak ada pilihan, walaupun air sungai itu sudah tercemar, ya, terpaksa dipakai juga," kata Bruno Udin, Camat Kayan Hilir. Maka, wabah hepatitis mudah menyerang penduduk. Ia mengakui bahwa penanganan serbuan hepatitis itu lamban. Perahu, yang dijadikan andalan, macet karena sungainya kering. Bila lewat darat, perjalanan harus ditempuh dengan jalan kaki sembilan jam. Karena penanganan terbatas, virus hepatitis menyerang cepat. Kecamatan Kayan Hulu, tetangga Kayan Hilir, mulai pula dirambah virus. Ada 40 penduduk Kayan Hulu kini terkena virus hepatitis. Virus yang menyerang penduduk Kalimantan Barat kali ini bukan seperti empat tahun lalu, yaitu hepatitis A. Berdasarkan pemeriksaan terhadap 50 sampel darah para penderita yang dibawa ke Balitbang Departemen Kesehatan di Jakarta, 25% positif kena hepatitis B, dan 75% kena virus hepatitis Non-A Non-B (NANB). Menurut Dokter Suriadi Gunawan, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, virus hepatitis jenis NANB ada dua macam. Kalau tidak hepatitis C, kemungkinan hepatitis E. "Berdasar cara penularannya, kemungkinan besar hepatitis E," katanya. Selain alat untuk memastikan jenis virus itu belum ada, obat untuk membasminya hingga kini juga belum ada. Bahkan, vaksinasi untuk benteng tubuh belum pula tersedia. Yang bisa dilakukan, kata Suriadi, supaya masyarakat hidup bersih dan makan yang bergizi. Virus hepatitis E, menurut Dokter Adnan S. Wiharta, lebih berbahaya dibandingkan dengan hepatitis A. Terutama bagi ibu hamil. Risiko kematiannya besar karena penderita akan mengalami kerusakan hebat pada jaringan hati. "Apalagi hepatitis E punya sifat sporadis," kata Kepala Subbag Hepatologi Anak FK Universitas Indonesia itu. Gejala penderita hepatitis E mirip dengan hepatitis A. Awalnya penderita diserang demam, lalu mual. Kemudian kulit kuku, dan matanya jadi lebih kuning. Air kencingnya lama-kelamaan seperti air teh pekat. Pengobatan yang bisa dilakukan, sementara ini, mereka harus banyak istirahat dan makan makanan bergizi. Namun, resep tersebut tampaknya sulit dilakukan penduduk Sintang yang mengandalkan hidupnya dari ladang dan menoreh getah. Gatot Triyanto (Jakarta) dan Djunaini K.S. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini