Terdakwa pembajakan buku mengaku diintimidasi dari luar pengadilan. Menko Polkam turun tangan. PENGADILAN Negeri Jakarta Timur berubah menjadi gelanggang olahraga. Di ruang sidang, yang dipadati mahasiswa Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK IKIP) itu, berkali-kali terdengar tepuk tangan, bahkan caci maki. Ketika itu pengadilan sedang menggelar sidang kasus pembajakan buku olahraga karangan dosen FPOK IKIP Jakarta, Aip Syarifuddin. Terdakwa Direktur CV Baru, Mardiono, menilai sikap mahasiswa IKIP itu sebagai tindakan intimidasi dari pihak luar. Maka Mardiono mengirim surat kepada Menko Polkan Sudomo dan minta perlindungan hukum. Sudomo pun terpaksa mengirim surat ke Departemen Kehakiman mengingatkan agar persidangan tidak dicampuri pihak luar. Menurut Mardiono, setiap ada pertanyaan hakim yang memberatkan saksi pelapor Aip Syarifuddin, mahasiswa-mahasiswa IKIP melontarkan ejekan. "Mereka berteriak-teriak selama persidangan. Bahkan, mereka juga mengancam akan membunuh saya," kata Mardiono. Teror yang diterimanya, tutur Mardiono, tak hanya di ruang sidang. Katanya, di luar persidangan ia sempat dicegat beberapa orang tak dikenalnya. Baik Aip maupun Sekretaris Senat FPOK IKIP, Fransiskus, membantah tuduhan itu. Menurut mereka, mahasiswa IKIP yang hadir di persidangan jumlahnya tak lebih dari 50 orang. "Justru mereka yang mengancam akan membunuh kami. Saya punya bukti tertulis," ujar Aip. Pada 1976, Aip mengadakan kontrak kerja sama dengan CV Baru untuk menerbitkan buku olahraga untuk SD, SLTP, dan SLTA. Meskipun bukunya tersebar di semua daerah, penghasilan yang diterima dari penjualan buku itu tak juga besar. Padahal, dalam kontrak Aip akan menerima bagian 20% dari hasil penjualan. Baru kemudian, pada Juli 1987, seorang pegawai CV Baru melaporkan kecurangan Mardiono. "Tapi waktu itu saya masa bodoh saja. Jadi, saya nggak ngusut," kata Aip. Selain uang yang diterima Aip tidak sesuai dengan jumlah buku yang dijual, Mardiono juga mulai menunggak pembayarannya. Akibatnya, Maret 1989 Aip memutuskan kontrak dengan CV Baru. Namun, tiga bulan kemudian Mardiono menerbitkan buku dengan judul Pendidikan Jasmani (Penjas) karangan Aip untuk kelas 2 dan 3 SMP. Buku tersebut, kata Aip, isinya tak jauh berbeda dengan buku karangannya yang berjudul Olah Raga dan Kesehatan (Orkes). Masih pada bulan yang sama, Mardiono juga menerbitkan buku yang sama untuk kelas 1 SMP. Tak ada jalan lain bagi Aip kecuali mengadukan perbuatan Mardiono itu ke polisi. Mardiono dibawa Jaksa Bonar Gultom ke pengadilan dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Hak Cipta. Ia didakwa tanpa hak telah memperbanyak buku olahraga ciptaan orang lain. Mardiono, yang didampingi pengacara R.O. Tambunan, membantah membajak buku karangan Aip. "Kontrak antara saya dan Aip kan tidak terbatas waktunya," kata Mardiono. Bahkan, Mardiono menuduh Aip telah melakukan pemutusan kontrak secara diam-diam. Penggantian judul, menurut Mardiono, dilakukannya berdasarkan SK Menteri P & K, 1987, yang mengharuskan istilah-istilah Orkes diganti dengan Penjas. Persoalan jadi menarik setelah urusan persidangan hak cipta itu sampai pula ke Menkopolkam. Kendati Sudomo, lewat Aspolgadri Mayjen. Rosadi Brataadisuria, telah mengimbau pihak luar agar tidak ikut campur dalam kasus pembajakan buku, teror tak juga mereda. Sebelum sidang Sabtu pekan lalu, menurut Mardiono, ia masih menerima telepon dari seseorang, yang mengancam akan mengganggu jalannya persidangan. "Mereka mengancam akan mengirim 500 orang ke persidangan," kata Mardiono. Terlepas dari soal teror, surat Sudomo yang disampaikan ke Dirjen Hukum dan Perundang-undangan (Kumdang), rupanya salah alamat. "Kumdang tak boleh mencampuri urusan persidangan," ujar Dirjen Kumdang, Saleh Baharis. Menurut Saleh, seharusnya Menko Polkam mengirimkan surat tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung. Katanya, Kehakiman hanya mengurusi masalah administrasi pengadilan. Hakim yang memimpin persidangan itu, Riyanto, mengaku sidangnya dicampuri pihak luar. Ia juga mengaku menerima sejumlah surat dari instansi lainnya. Namun, katanya, ia tak peduli. "Pokoknya, saya tidak merasa dipengaruhi siapa pun," katanya. Bambang Aji, Reza Rohadian, dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini