LARANGAN berdagang bagi anggota ABRI hanya terbatas pada para
perwira. Para bawahan masih beruntung bisa menambah
penghasilannya yang memang rata-rata kecil. Tetapi meskipun
larangan baru saja disampaikan, ada yang sudah dapat peringatan
sejak lama karena kegiatan itu rupanya mengganggu tugas.
Tersebutlah Bintara Soelardi BSc (39 tahun) yang hingga sekarang
masih bekerja di Top Dam (Tofografi Kodam) Yogyakarta. Pada 1972
ia masih bekerja di Komando Konstruksi Rayon 072 sebagai
bendaharawan. Sambil melaksanakan tugas ia iseng-iseng berusaha
membuat tas. Mula-mula pembantunya hanya 2 orang. Kemudian
meningkat jadi 7. "Meskipun membuka usaha saya tidak pernah
mencuri jam dinas," ujarnya.
Darah Dagang
Di hari-hari libur Soelardi ke luar kota. Membawa tasnya ke
Magelang, Temanggung, Wonosobo, Sragen bahkan sampai ke Madiun
Jawa Timur. Pada suatu hari Minggu di 1973 ia sedang berada di
Madiun. Tiba-tiba kesatuan nya butuh uang. Seorang utusan datang
menjemput uang dari bendaharawan itu. Tentu saja tidak berhasil
karena Soelardi sedang ke luar kota. Esok harinya Soelardi
dipanggil menghadap komandan. Ia didesak untuk memilih, terus
jadi militer atau melanjutkan usaha dagang Dengan tegas bulat
bendaharawan itu kemudian memilih tugas. Meskipun berat melepas
ke 7 orang pekerjanya.
Tetapi dasar memiliki darah dagang, pada 1974 Soelardi mencoba
lagi. Ia membeli mesin obras dan krol sum. Usaha ini maju.
Sehari ia bisa mengantongi keuntungan Rp 2.000 tanpa harus ke
luar kota. Usaha itu dibereskan oleh isteri dan anaknya.
Sebenarnya gaji yang diterima Soelardi sekarang (Rp 53 ribu)
terhitung cukup. "Namun saya kan ingin sekolah anak saya maju
serta ingin memiliki rumah, mebel dan lain-lainnya," ujarnya.
Saat ini ia sudah mampu membeli tanah seluas 180 meter di Kota
Gede. Ke 4 anaknya ia latih untuk berwiraswasta, agar mereka
bisa menjalankan usaha itu seandainya orang tuanya sedang repot
atau mengikuti kegiatan lain. Selain obras kini Soelardi juga
punya usaha sebagai penyalur minyak tanah, menyewakan pengeras
suara, sekaligus menjadi operatornya. Tatkala ditanya apakah ia
tidak gentar oleh larangan dari Menhankam M. Jusuf, langsung
dikatakannya bahwa ia hanya bintara. Lebih lagi, ia mengaku
usahanya hanya kecil.
Syarifuddin (43 tahun) adalah juga bintara kelahiran Aceh yang
sukses berdagang tanpa meninggalkan tugas. Pembantu Letnan Satu
Polisi ini bertugas di bagian personil Kodak X Jawa Timur. Sejak
1968 ia sudah pindah dari asrama polisi, karena mampu membangun
rumah sendiri. "Umpama saya tidak sambilan berdagang, hingga
sekarang pasti saya masih tinggal di asrama," ujar lelaki itu
mengenang masa lalunya. Ia memiliki dua orang anak. Gajinya Rp
60 ribu.
Lewat Telepon Saja
Menurut pengakuannya, dunia dagang dimasukinya karena didorong
keinginan menolong orang. "Hati saya sedih melihat orang-orang
miskin yang tidak dapat pekerjaan," ujarnya. Di tahun 1961 ia
berhasil memiliki sebuah CV yang bergerak dalam bidang bangunan
dan leveransir. "Tapi CV itu macet ke tika saya tinggalkan ke
Kalimantan waktu Dwikora," katanya.
Pada 1965, setelah kembali ke Surabaya, ia pinjam modal dari
orang-orang Aceh yang ada di kota buaya itu. Didiri kannya
sebuah toko grosir rokok. Tak lama kemudian berkembang biak
menjadi 3 toko. Inilah yang kemudian menelorkan sebuah rumah
tinggal. Usaha tersebut makin berkembang lagi, setelah
Syarifuddin mencoba mendirikan rumah makan. Tahun 1973 ia
mendirikan rumah makan "Minang Ria" di dekat Pelabuhan Tanjung
Perak. Menyusul rumah makan "Andalas". Disusul lagi rumah makan
"Kuala Delly". Omset rumah makan itu setiap hari. adalah Rp 500
ribu. Keuntungannya sekitar 20%. Sementara omset toko rokoknya
Rp 70 ribu per-hari.
Syarifuddin menghidupi sekitar 100 orang karyawan. Di depan
rumahnya menunggu sebuah VW dan Fiat. Kalau ditanya, apakah
tugasnya sebagai polisi tidak terganggu. Lelaki yang tegap
dengan 6 buah tanda jasa ini menggeleng. "Urusan dagang saya
selesaikan di luar dinas dan cukup lewat telepon saja," ujarnya.
Isterinya sendiri tidak ikut campur. "Isteri cukup jadi ibu
rumah tangga saja," kata bintara itu lebih lanjut. Sejauh ini ia
mengaku tidak pernah ditegur oleh atasannya dalam soal bisnis.
"Hanya dinasehatkan supaya tidak ada keributan di rumah makan.
Itu saja," kata lelaki yang sukses itu.
Seorang sersan satu dari kesatuan Korps Marinir AL di Jakarta
-- tak mau disebut namanya -- juga berhasil membeli sebuah
rumah di atas tanah seluas 120 mÿFD. Sebuah rumah yang layak
untuk ditempati bersama 4 orang anak dan isteri. Berbeda sekali
dengan keadaannya pada 1965, ketika ia pertama kali menginjak
Jakarta dan mengontrak rumah petak berukuran 3 x 9 meter di
daerah Kalibata. Waktu itu karena gaji mencekik isterinya
membuat sebuah warung kecil-kecilan.
Dengan modal sekitar Rp 5 ribu, isterinya mulai berjualan sayur
mayur serta kebutuhan dapur lainnya. Rumah petak yang sudah
sempit itu dimanfaatkan bagian depannya, dari pagi sampai pukul
6 sore. Pagi hari pukul 3 sersan ini sudah harus bangun untuk
pergi ke pasar membeli sayuran di Manggarai. Kalau lagi malas,
isterinya yang pergi. Usaha ini tidak seberapa maju."Paling
hanya untuk bisa tambah beli lauk," ujar sersan itu.
Sayur & Penjaga Kampus
Pada tahun 1967 Jakarta diserang demam judi buntut. Sersan kita
inipun tergoda. Ia selalu pasang antara Rp 200 sampai Rp 300.
Pada suatu hari ia dapat firasat bagus, ketemu nomor yang
mantap. Akhirnya tak tanggung-tanggung ia pasang Rp 1.500.
Alhamdulillah, tepat. Ia dapat kemenangan 70 kali. Dengan uang
kemenangan itu ia membeli rumah petak tersebut. Perdagangan
sayurpun makin menanjak. Uang masuk setiap hari bisa mencapai Rp
10 ribu sampai Rp 15 ribu. Keuntungan ditabungnya untuk membeli
material rumah. Bahkan ke 3 anaknya sudah diasuransikan untuk
jangka waktu 15 tahun. Untuk dapat menunjang sekolah mereka di
masa depan.
Sayang sekali karirnya sebagai pedagang kemudian mulai mendatar.
Ini gara-gara saingan banyak muncul. Dalam radius 50 meter kirii
sudah ada 4 warung lain. Omset yang tadinya Rp 15 ribu melorot
jadi Rp 5 ribu. Keuntungan hanya bisa masuk sekitar Rp 1.000
sampai Rp 1.500. Karena itu sersan ini kemudian melirik sumber
lain. Sebagai penunjang hidupnya, selain berdagang sayur,
sekarang ia jadi penjaga kampus UKI di jalan Diponegoro. Apakah
perdagangan sayur ada kemungkinan untuk ditinggalkan, Sersan itu
menjawab "Tidak. Biarlah untuk kesibukan isteri saya. Lagi kan
ada sejarahnya," katanya sambil tertawa.
Nyonya Sugito (34 tahun) isteri Sersan Sugito yang jadi bintara
pembina desa (Babinsa) di Desa Karangpawitan, Karawang juga
menjual sayur-sayuran. Sejak suaminya berpangkat kopral, 8 tahun
yang lalu, ia sudah berdagang. Tapi hidup keluarganya tetap saja
sulit sampai sekarang. Mereka sekeluarga juga masih tetap
tinggal menumpang di rumah orang tua Nyonya Sugito.
Gaji sang suami sekarang Rp 40 ribu. "Jadi kalau hanya mengharap
gaji suami, anak-anak tak bisa sekolah," kata Nyonya Sugito yang
memiliki 4 orang anak. Belum lagi tanggungan 3 orang adik. Ia
menyebutkan bahwa suaminya tak ikut campur dalam perdagangan
sayur. Ia sendiri enggan melepaskan usaha yang sejak lama
dirintisnya itu. "Kalau berhenti berdagang anak-anak berhenti
sekolah," katanya.
N. Junaedi (35 tahun) sudah 12 tahun jadi kopral marinir.
Gajinya cuma Rp 47 ribu. Ketika ia mendapat tugas di Biak --
Irja --selama 3 tahun, tumbuh nafsu wiraswastanya. Ia melihat
peluang untuk mendapat tambahan penghasilan. Di sana isterinya
membuka kantin. Pada 1973 ketika ia kembali ke Jawa kesibukan
dagang itu diteruskan.
Tidak mampu menagih
Isterinya kebetulan bukan jenis yang suka berpangku-tangan.
Dengan modal Rp 100 ribu, si nyonya menawarkan sandal plastik
dan kain ke rumah teman dan kenalan. Untungnya sekitar 5%.
"Hasilnya tidak banyak tapi cukup untuk jajan dan beli pakaian
anak-anak," kata Junaedi. Niatnya untuk mengganti pesawat tv
sampai sekarang belum kesampaian. Jadi usaha bisnis tersebut
memang benar-benar tidak terlalu besar, meskipun menolong.
Malahan akhir-akhir ini seret.
Tapi setelah putar otak isteri kopral ini kemudian mengalihkan
usaha. Ia jadikan rumahnya sebagai basis menjual kacang bungkus
plastik. Dikirim ke toko atau warung mana saja yang sudi
menerima. Sayang inipun gagal, karena anaknya yang bungsu keburu
opname di rumah sakit. Uang tabungan larut dimakan biaya
pengobatan. Mungkin di waktuwaktu yang akan datang ia akan
menyambung usaha di bidang lain.
Yang kapok berdagang adalah Agus Sutarjo (36 tahun) Serma Polisi
di Surabaya. Ia mengalami bangkrut beberapa kali. Pada 1972
ketika dinas di Lombok, bersama isterinya ia menjual ikan asin.
Tak berhasil, meskipun dapat dukungan modal dari rekannya di
BRI. "Tak bakatlah biangnya," kata Agus.
Kemudian Agus mencoba berjualan telur. Tapi baru tiga setengah
bulan macet juga. Mula-mula memang ada titik terang. Telur yang
sudah dipak dalam keranjang, selamat sampai ke tempat tujuan.
Persoalan yang pelik kemudian adalah soal penagihan. Isterinya
belum pernah belajar teknik menagih. Nyatanya ada seninya
sendiri dan tidak gampang. "Apalagi isteri saya bukan orang yang
tega. Makanya lantas tak sampai hati menagih orang
terus-terusan," ucap Agus.
Agus yang bekerja sebagi intel ini harus menanggung 3 orang
anak. Kebutuhan makin mendesak, tidak dapat diimbangi oleh
pendapatan sampingan yang kelihatannya belum juga mencapai form
itu. Sementara masa pensiunnya sudah membayang -- meskipun
tinggal 10 tahun lagi. Akhirnya ia memutuskan pasrah pada gaji.
Apalagi kebetulan ada uang warisan yang kemudian
didepositokannya. Dagang ditinggalkan. "Sudah kapok," kata Agus.
Sebagai gantinya, setiap pulang kerja, ia kursus Bahasa
Inggeris. "Persiapan saya menjelang pensiun nanti, saya akan
membuka kursus di kampung di Surabaya ini," tuturnya singkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini