PADA mulanya mutu macam-macam barang keperluan konsumen
diteliti. Kecap, saus tomat, susu dan seterusnya sampai mengetes
karet kondom. Tapi belakangan Yayasan Lembaga Konsumen (YLK)
mulai maju selangkah. Mewakili seorang konsumen, akhir bulan
lalu, YLK menggugat PT Asuransi Jiwasraya ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Perusahaan ini dituduh telah menolak membayar
uang pertanggungan jiwa seorang penerima faedah asuransi.
Pokok sengketa sederhana saja. Semasa hidupnya, mendiang Sanusi
Tirtadiredja, pegawai PT Famatex di Bandung, terbujuk untuk
mengasuransikan diri pada Jiwasraya dengan jumlah pertanggungan
sebesar US$ 2.000. Kontrak diteken Juli 1977, menurut YLK
sejenis asuransi dwiguna tanpa pemeriksaan dokter. Belum setahun
kemudian, Maret 1978, ternyata Sanusi meninggal dunia karena
serangan kanker.
Beda penafsiran
Isteri almarhum, Nyonya Djudju Djuangsih, mengajukan klaim
pembayaran uang pertanggungan yang diharapkan akan keluar 2000
dollar. Tapi ternyata Jiwasraya hanya membayarnya 90 dollar.
Oleh desakan kebutuhan, kata nyonya ini "dengan terpaksa dan di
bawah protes" menerima pembayaran yang jauh dari harapan.
Belakangan Djudju memakai jasa LYK untuk tetap menuntut
Jiwasraya. Tapi dengan berbagai cara -- seperti mengadu ke
instansi pemerintah yang mengawasi perusahaan-perusahaan
asuransi -- ikhtiar YLK tak membawa hasil. "Jangankan mengambil
langkah-langkah penyelesaian," seperti kata Az. Nasution SH dari
YLK yang menandatangani surat gugatan, instansi pemerintah
tempat mereka mengadu "rupanya tersentuhpun tidak untuk
memperhatikannya. "
Gagal berdamai YLK membawa urusan ke pengadilan. Di samping
menuntut pembayaran yang 2000 dollar (potong 90 yang sudah
diterimakan lebih dulu) YLK juga menuntut Rp 200 ribu sebagai
ganti ongkos yang sudah dikeluarkan "kliennya" selama ini --
bolak-balik dari rumahnya di Bandung ke Jakarta.
Pihak PT Asuransi Jiwasraya tak banyak bicara. "Biarlah kami
menjawab gugatan tersebut di pengadilan," kata Kamsin Hadori,
Kepala Humas Jiwasraya. Menurut Nasrul SH, Ka Biro Hukum
Jiwasraya, sengketanya dengan YLK hanya soal "perbedaan
menafsirkan peraturan asuransi semata." Misalnya, jika calon
pemegang polis tidak memberikan keterangan yang sebenarnya dalam
kontrak, "akibatnya tentu membatalkan kontrak" seperti kata
Nasrul.
Menurut Az. Nasution, pengurus YLK yang pernah juga berdinas di
Jiwasraya selama 19 tahun, perusahaan asuransi memang menganggap
kontraknya dengan Almarhum Sanusi batal. Yaitu tidak pernah
memberi tahu perihal penyakitnya sebelum teken kontrak, walaupun
sebenarnya ia sudah beberapa kali keluar masuk rumahsakit.
Alasan demikian dibantah oleh YLK. Sebab, seperti kata Nasution,
kontrak asuransi dwiguna diteken oleh Sanusi dengan pengertian
tanpa syarat pemeriksaan dokter.
Baiklah, persengketaan tersebut akan diurus pengadilan. Yang
menarik adalah turun tangannya YLK mengurus kepentingan konsumen
sampai ke meja pengadilan. Perlukah itu? "Justru itu fungsi YLK
yang terpenting," ujar Nasution, Wakil Ketua YLK yang merangkap
sebagai advokat. Setelah berurusan dengan Jiwasraya, katanya,
YLK masih akan mengajukan beberapa gugatan atas nama konsumen --
entah dalam kasus apa tak dijelaskannya.
Jadi semacam lembaga bantuan hukum bagi konsumen -- padahal
sudah ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang dipimpin oleh Adnan
Buyung Nasution SH. Antara LBH dengan YLK memang ada kesepakatan
tidak tertulis: bila ada hal yang perlu berurusan dengan
pengadilan, YLK akan menyalurkan konsumen ke LBH. Tapi untuk
beberapa kasus seperti diakui Buyung, LBH menolak permintaan
YLK. Soalnya LBH, mau tak mau, tentu mempersoalkan siapa
konsumen yang harus dibela "Bagaimana mungkin seorang kon-sumen
mobil yang dirugikan minta dibela LBH," kata Buyung. Atau,
bukankah konsumen toko-serba-ada yang "cerewet" itu bukan rakyat
miskin yang harus dibela LBH?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini