Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lembaga konsumen, kini ke pengadilan

Yayasan lembaga konsumen mewakili konsumen ke pengadilan. pt. asuransi jiwasraya digugat membayar uang pertanggungan sanusi tirtadiredja, pegawai pt. famatex yang meninggal 8 bln setelah diasuransikan.(hk)

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya mutu macam-macam barang keperluan konsumen diteliti. Kecap, saus tomat, susu dan seterusnya sampai mengetes karet kondom. Tapi belakangan Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) mulai maju selangkah. Mewakili seorang konsumen, akhir bulan lalu, YLK menggugat PT Asuransi Jiwasraya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perusahaan ini dituduh telah menolak membayar uang pertanggungan jiwa seorang penerima faedah asuransi. Pokok sengketa sederhana saja. Semasa hidupnya, mendiang Sanusi Tirtadiredja, pegawai PT Famatex di Bandung, terbujuk untuk mengasuransikan diri pada Jiwasraya dengan jumlah pertanggungan sebesar US$ 2.000. Kontrak diteken Juli 1977, menurut YLK sejenis asuransi dwiguna tanpa pemeriksaan dokter. Belum setahun kemudian, Maret 1978, ternyata Sanusi meninggal dunia karena serangan kanker. Beda penafsiran Isteri almarhum, Nyonya Djudju Djuangsih, mengajukan klaim pembayaran uang pertanggungan yang diharapkan akan keluar 2000 dollar. Tapi ternyata Jiwasraya hanya membayarnya 90 dollar. Oleh desakan kebutuhan, kata nyonya ini "dengan terpaksa dan di bawah protes" menerima pembayaran yang jauh dari harapan. Belakangan Djudju memakai jasa LYK untuk tetap menuntut Jiwasraya. Tapi dengan berbagai cara -- seperti mengadu ke instansi pemerintah yang mengawasi perusahaan-perusahaan asuransi -- ikhtiar YLK tak membawa hasil. "Jangankan mengambil langkah-langkah penyelesaian," seperti kata Az. Nasution SH dari YLK yang menandatangani surat gugatan, instansi pemerintah tempat mereka mengadu "rupanya tersentuhpun tidak untuk memperhatikannya. " Gagal berdamai YLK membawa urusan ke pengadilan. Di samping menuntut pembayaran yang 2000 dollar (potong 90 yang sudah diterimakan lebih dulu) YLK juga menuntut Rp 200 ribu sebagai ganti ongkos yang sudah dikeluarkan "kliennya" selama ini -- bolak-balik dari rumahnya di Bandung ke Jakarta. Pihak PT Asuransi Jiwasraya tak banyak bicara. "Biarlah kami menjawab gugatan tersebut di pengadilan," kata Kamsin Hadori, Kepala Humas Jiwasraya. Menurut Nasrul SH, Ka Biro Hukum Jiwasraya, sengketanya dengan YLK hanya soal "perbedaan menafsirkan peraturan asuransi semata." Misalnya, jika calon pemegang polis tidak memberikan keterangan yang sebenarnya dalam kontrak, "akibatnya tentu membatalkan kontrak" seperti kata Nasrul. Menurut Az. Nasution, pengurus YLK yang pernah juga berdinas di Jiwasraya selama 19 tahun, perusahaan asuransi memang menganggap kontraknya dengan Almarhum Sanusi batal. Yaitu tidak pernah memberi tahu perihal penyakitnya sebelum teken kontrak, walaupun sebenarnya ia sudah beberapa kali keluar masuk rumahsakit. Alasan demikian dibantah oleh YLK. Sebab, seperti kata Nasution, kontrak asuransi dwiguna diteken oleh Sanusi dengan pengertian tanpa syarat pemeriksaan dokter. Baiklah, persengketaan tersebut akan diurus pengadilan. Yang menarik adalah turun tangannya YLK mengurus kepentingan konsumen sampai ke meja pengadilan. Perlukah itu? "Justru itu fungsi YLK yang terpenting," ujar Nasution, Wakil Ketua YLK yang merangkap sebagai advokat. Setelah berurusan dengan Jiwasraya, katanya, YLK masih akan mengajukan beberapa gugatan atas nama konsumen -- entah dalam kasus apa tak dijelaskannya. Jadi semacam lembaga bantuan hukum bagi konsumen -- padahal sudah ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution SH. Antara LBH dengan YLK memang ada kesepakatan tidak tertulis: bila ada hal yang perlu berurusan dengan pengadilan, YLK akan menyalurkan konsumen ke LBH. Tapi untuk beberapa kasus seperti diakui Buyung, LBH menolak permintaan YLK. Soalnya LBH, mau tak mau, tentu mempersoalkan siapa konsumen yang harus dibela "Bagaimana mungkin seorang kon-sumen mobil yang dirugikan minta dibela LBH," kata Buyung. Atau, bukankah konsumen toko-serba-ada yang "cerewet" itu bukan rakyat miskin yang harus dibela LBH?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus