ACARA 26 Oktober lalu tidak lancar: Direktur Utama PT Palur
Raya, H. Moenadi, bekas Gubernur Jawa Tengah, memang menerima
berkas serah terima pabrik bumbu masak di Palur (Surakarta) dari
seorang pegawai Kantor PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara)
Cabang Semarang. Dari Balai Desa Ngringo, tempat upacara
berlangsung, Moenadi membawa rombongannya meninjau pabrik yang
belum sempat berproduksi itu.
Tapi apa yang terjadi? Pintu pabrik dikunci. Beberapa
orangpenjaga menghalang jalan. Bagaimanapun Moenadi menjelaskan
duduk soalnya, penjaga tetap bersikeras menyatakan, "tak
seorangpun boleh masuk tanpa izin pimpinan! "
Siapa pimpinan pabrik? Justru saat ini yang sedang
dipersengketakan. Tapi yang pasti pabrik bumbu masak tersebut
dibangun PT Estony Jaya (1971) di Palur di pinggir jalan raya
antara Solo-Madiun (Kabupaten Karanganyar). Dengan bantuan
kredit BNI '46 dan tenaga ahli dari Korea. Tapi sejak 1975
pembangunannya macet. Entah apa pasalnya. Tapi belakangan BNI
'46 menyerahkan urusan piutangnya kepada BUPN (Badan Urusan
Piutang Negara) untuk dibereskan.
BUPN lantas memasang pengumuman lelang. Pelaksanaannya
ditugaskan kepada PUPN Cabang Semarang dan Kantor Lelang Negara
kelas I Yogyakarta. Lelang itu sendiri dilangsungkan 2 Oktober
lalu.
Sebelum lelang sebenarnya sudah mulai terjadi kekeruhan.
Beberapa pejabat minta agar pelelangan pabrik milik pengusaha
pribumi tersebut ditangguhkan. Tak kurang hal itu juga
dimintakan oleh pejabat tinggi Departemen Keuangan di Jakarta.
Soalnya, katanya, usaha penyelamatan pabrik bumbu masak tersebut
sedang diikhtiarkan. Apalagi kemacetan pembangunannya itu
sendiri tidak seluruhnya kesalahan pemiliknya yaitu PT Estony
Jaya. Misalnya: kredit dari BNI sendiri, katanya, tidak lancar -
baru terlaksana 6 dari 12 tahap realisasi pemberian kredit yang
dijanjikan.
Toh pelelangan tetap berlangsung. Palur Raya dinyatakan sebagai
pemenang dengan penawaran tertinggi: Rp 365 juta. Dibayar
kontan. "Kalau tak percaya," kata Moenadi kepada TEMPO, "tanya
saja kepada bank!"
Opstib
Setelah pelelangan, dengan permintaan dan surat peringatan, BUPN
mendesak agar Estony Jaya menyerahkan kunci-kunci pabrik kepada
pemenang lelang. Tapi ir Soenardjo, dari Estony Jaya, menolak.
Dia merasa tidak pernah menjual pabriknya kepada siapapun. Lalu
pelelangan oleh PUPN? Itupun, katanya, tidak semestinya. Dia
bilang pelelangan pabriknya dilakukan ketika Departemen Keuangan
tengah menangani urusannya.
DI samping itu Soenardjo juga mencium hal-hal yang mendorong
pelaksanaan pelelangan pabriknya. Tak dijelaskannya apa, karena
katanya semua akan diadukan ke Opstib. Hanya ia sempat
menyatakan apa-apa yang dilihatnya di balik peranan Moenadi
sebagai Dirut Palur Raya bekas gubernur itu dituduhnya diperalat
seorang pengusaha dari Solo Tan Soe Kim, untuk merebut
satu-satunya dari 4 pabrik bumbu masak milik pribumi. "Saya
sangat sesalkan," kata Soenardjo kepada Antara, "ada bekas
pejabat tinggi yang mau jadi tameng sekedar untuk memperoleh
saham 25%."
Moenadi angkat bahu. Ia tak melayani tuduhan Soenardjo. Melalui
sebuah lelang, yang diselenggarakan oleh aparat negara seperti
PUPN itu, katanya "pembelian pabrik oleh Palur Raya sah menurut
hukum." Ia, katanya, bersusah payah membeli pabrik bumbu masak
tersebut karena merasa mempunyai "kewajiban moril" mulai dari
izin sampai permulaan pembangunannya sebagai gubernur di Jawa
Tengah (1966-1974) dia merasa ikut membantu. Pertimbangannya,
waktu itu, pabrik tersebut akan menyerap banyak tenaga kerja
penduduk setempat.
Apa yang akan dilakukannya kini? Moenadi tak mau berurusan
dengan Estony Jaya. Ia akan menuntut PUPN sebagai penyelenggara
lelang. Dari PUPN Cabang Semarang belum ada keterangan. Tapi
salah seorang pejabatnya menyatakan "Tugas PUPN sebagai
penyelenggara lelang telah selesai dengan munculnya pemenang.
Kalau ada urusan atau protes, silakan ke pusat ....".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini