RADIO Republik Indonesia bisa juga berpacu. Penembakan Presiden
Korea Selatan, Park Chung-hee, disiarkannya selang 45 menit
sesudah BBC London, mengudara. Pada 27 Oktober pukul 07.00 WIB
itu -- ketika banyak koran ibukota tak memuat peristiwa berdarah
di Seoul -- RRI mencatat sebuah kemenangan kecil.
Berita yang mengejutkan dunia tadi -- meskipun tidak dari tangan
pertama -- diperoleh RRI dengan bantuan Radio Recetver pesawat
penerima) tua, peninggalan Belanda yang berusia lebih 40 tahun.
Dalam sebuah ruang lantai 8 di gedung RRI Jakarta yang mewah
dari luar itu, sejumlah orang tua sudah memonitor siaran radio
luar negeri, sebelum warta berita pertama jam 05.00 tampil.
Kemenangan kecil di atas adalah hasil perubahan yang dilakukan
RRI Stasiun Pusat Jakarta. Sejak 11 September, RRI ini
meningkatkan jumlah jam siaran, dan mengudara sejak pukul 05.00
sampai dengan 24.00. Dan warta beritanya terdengar pada setiap
jam siaran.
Dengan demikian, para petugas pemberitaan, penyiar dan tenaga
teknis, harus masuk lebih awal, jauh sebelum kebanyakan pegawai
negeri lain bangun. Sekitar pukul 04.00 misalnya, di ruang
pemberitaan lantai 6, 3 anggota redaksi sudah sibuk mengedit
berita yang masuk lewat telex Kantor Berita Antara. Perubahan
materi, terutama berita luar negeri, biasanya terjadi pada subuh
hari itu. "Kalau toh materi beritanya hampir sama dengan siaran
terakhir jam 23.00, kami hanya perlu mengubah cara penyajiannya
saja, dengan menuliskannya kembali," kata drs H. Ramly
Suradimaja, Wakil Kepala Sub. Direktorat Pemberitaan.
Tapi biasanya, harus diakui pemberitaan RRI, terutama tentang
kejadian di dalam negeri kita sendiri, seringkali ketinggalan
dengan surat kabar yang memiliki jaringan koresponden. Di
Jakarta saja, dengan 50 wartawan tetap dan honorer, RRI sudah
merasa kewalahan untuk meliput banyak peristiwa. "Kami sedang
mengusahakan menambah tenaga wartawan," kata Sudjarwo, Kepala
Sub. Direktorat Pemberitaan. "Terutama untuk meningkatkan
kualitas, minimal mereka kelak berpendidikan Sarjana Muda dan
aktif berbahasa Inggeris."
Untuk menutupi kekurangan itu, sejak September RRI berlangganan
dan memperoleh berita Antara, dengan telex supaya lebih cepat.
Semula berita Antara diperolehnya lewat kurir yang bersepeda
motor. Monitoring terhadap 13 setasiun radio luar negeri juga
ditingkatkannya. Setiap saat pula lewat Single Side Band,
Stasiun Jakarta menerima laporan dari para wartawan RRI di
daerah.
Dengan cara itu, berita hangat luar dan dalam negeri semestinya
bisa lebih cepat disampaikannya kepada para pendengar. Hanya
dalam penyajian berita hangat dalam negeri, RRI seringkali kalah
cepat ketimbang siaran radio luar negeri, maupun koran. Tentang
peristiwa kelaparan di Timor Timur, misalnya, ternyata Radio
Australia, meskipun tidak dari tangan pertama, lebih dulu
menyiarkannya. (Pihak resmi membantah berita itu -- red.).
Kenapa? "Berita radio harus menjamin kepercayaan masyarakat,"
kata Sudjarwo. "Karena itu kita berprinsip security first,
artinya kepastian berita, baru kita udarakan."
Pengalaman pahit telah mengajar RRI. Suatu ketika BBC
memberitakan kematian Kolonel Zulkifli Lubis, bekas wakil KSAD.
Karena tidak mau ketinggalan, RRI langsung pula menyiarkannya,
tanpa sempat melakukan pengecekan. Ternyata yang bersangkutan
masih sehat walafiat. Berita itu sudah diralat memang. "Tapi
mereka yang mendengar warta berita pagi, tidak mendengar ralat
pada siang harinya?" kata seorang petugas monitoring. "Ralat di
koran lebih mudah, ketimbang ralat di radio." Karena itu pula
rupanya redaksi RRI cenderung berhati-hati. Apalagi menyangkut
kejadian dalam negeri yang sangat peka sifatnya, ia sangat
membatasi diri.
Sarana Kurang
Tapi peningkatan jumlah jam siaran, menurut pihak RRI, belum
banyak menolong. "Dibanding radio swasta niaga, sistem
perencanaan kita masih primitif," kata Anwar Siregar, Kepala
Stasiun RRI Jakarta. Diakuinya program public service dari
radio swasta niaga itu banyak menarik perhatian para pendengar.
Antara lain memperingatkan jam masuk kantor, jalan-jalan yang
macet, memperpanjang Kartu Tanda Penduduk, berjaga ronda malam
-- semua itu diselenggarakannya dengan bahasa yang akrab. RRI
belum mempunyai pendekatan seperti itu, kecuali misalnya pada
mata acara obrolan tukang sado.
Ternyata niat baik untuk memperbaiki mutu siaran RRI itu tidak
ditunjang fasilitas dan dana yang cukup. Misalnya untuk naskah
musik atau kebudayaan dari luar, RRI hanya mampu memberikan Rp
500-Rp 1.250 per halaman folio, jauh rendah dibanding honor dari
koran. Dari lima pesawat penerima hanya 2 yang baik dan baru.
Kesuiitan timbul bila pada suatu saat bersamaan petugas harus
memonitor sekaligus misalnya 5 siaran luar negeri. Sesudah
sarananya kurang tenaganya yang berkualitas pun kurang. "Karena
kami kekurangan tenaga yang menguasai bahasa asing, terpaksa
kami umumnya memonitor siaran yang berbahasa Indonesia saja,"
keluh drs Ramly.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini