Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis sesuai dengan patokan

Ma menolak kasasi vonis narkotik yan munar & singkek effendi meski perkara mereka cacat. peradilan mulai bersikap keras terhadap narkotik. buronan yono menjadi terpidana mati di indonesia. (hk)

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUH, bisa juga 'kan peradilan di Indonesia menjatuhkan hukuman berat untuk perkara narkotik? Majelis Hakim Agung yang diketuai Nyonya Martina Notowidagdo, belum lami ini, menolak permohonan kasasi seorang terhukum seumur hidup, Yan Abdul Munar, dan terhukum 15 tahun penjara, Singkek Effendi, dengan alasan memori kasasi mereka terlambat diajukan ke Mahkamah Agung. Dengan vonis itu pula, secara tidak langsung, Mahkamah Agung menghapuskan kemungkinan vonis mati terhadap Husni alias Yono bin Rebo -- tertuduh utama dalam perkara itu -- diperbaiki lagi di tingkat kasasi. Sebab, sejak vonis matinya diperkuat peradilan banding, November lalu, Yono malah sama sekali tidak berkesempatan mengajukan kasasi. Dengan demikian, walau tidak pernah diumumkan, Yono bin Rebo sudah bisa dipastikan sebagai orang pertama yang berstatus hukuman mati -- berkekuatan tetap -- di Indonesia. "Setahu saya, itu vonis berat pertama dari Mahkamah Agung dalam kasus narkotik," ujar seorang pejabat kejaksaan. Hanya saja, eksekusi tidak bisa dilaksanakan terhadap Yono, yang sejak bobolnya Rumah Tahanan Salemba, Mei 1985, dinyatakan buron. Yang menarik dari vonis peradilan tertinggi itu, tertanggal 28 April 1986, adalah karena keterlambatan memori kasasi sampai ke Mahkamah Agung. Sebab, selama ini, keterlambatan administrasi untuk perkara-perkara pidana umum semacam itu tidak pernah dijadikan alasan Mahkamah Agung untuk menolak permohonan kasasi. "Tapi dalam kasus narkotik alasan demikian dipakai Mahkamah Agung untuk tidak mempertimbangkan lagi kasus itu," ujar sebuah sumber TEMPO. Sebenarnya keterlambatan itu tidak pula sepenuhnya kesalahan terhukum. Sebab berdasarkan vonis peradilan banding, 7 Maret 1985, sebenarnya Yan Munar, Singkek, dan Yono sudah mengajukan permohonan kasasi. Hanya saja, menurut pemeriksaan kasasi, pihak peradilan banding alpa menyebutkan tuduhan dan tuntutan -- syarat sahnya sebuah vonis -- dalam putusannya. Sebab itu, Mahkamah Agung, Agustus lalu, memerintahkan Pengadilan Tinggi Jakarta memperbaiki vonisnya. Setelah Pengadilan Tinggi meralat vonisnya, ternyata, semua terhukum diperintahkan membuat memori kasasi baru. Tentu saja memori kasasi yang baru itu terlambat sampai ke Mahkamah Agung -- melewati batas waktu 14 hari, sejak vonis diterima terhukum, seperti disyaratkan undang-undang. Bahkan, Yono, yang keburu lari, tidak bisa lagi membuat memori kasasinya. "Tapi masa kesalahan peradilan banding ditimpakan kepada terhukum?" ujar pengacara Yan Munar, M.D. Sakty Hasibuan, yang pekan ini berniat mengajukan permintaan peninjauan kembali, herziening, atas vonis itu. Yan Munar, yang kini berstatus narapidana penjara seumur hidup, tidak berkomentar banyak atas vonis peradilan tertinggi itu. "Sekarang tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Saya hanya berserah diri kepada Tuhan. Semuanya sudah diatur Tuhan," kata Yan Munar, yang konon rajin beribadat, di LP Bogor. Bagaimanapun cacatnya proses perkara itu, yang jelas, vonis Mahkamah Agung menggambarkan semakin tidak komprominya badan peradilan dalam menangani kasus-kasus narkotik. Sabtu pekan lalu, misalnya, Pengadilan Negeri Medan juga mencatat sejarah: pertama kali menjatuhkan vonis penjara seumur hidup, kepada Eddy Suwanto, terdakwa perkara narkotik, yang dinyatakan terbukti mencoba menyelundupkan 350 gram heroin dan 450 gram inti morfin dari Medan ke Jakarta melalui perusahaan angkutan Jon Express Air Cargo. Sikap keras lembaga peradilan dalam menangani kasus narkotik itu, dimulai sejak dua awak kapal Taiwan, Chang Sow Ven dan Lah Wah Ceng, divonis mati Pengadilan Negeri Langsa, 1983. Kedua awak kapal MV An Hsing itu tertangkap di pelabuhan Langsa, Aceh, dengan 9 1/2 kg heroin yang disembunyikan di dalam kapal. Setelah itu, vonis-vonis berat terhadap perkara narkotik mulai berjatuhan. Salah satu di antaranya adalah kasus Yono, Yan Munar, dan Singkek, yang diadili Majelis Hakim Soeharto, 1984. Dalam sidang itu, majelis berkeyakinan bahwa ketiga orang tadi terbukti memperdagangkan 700 gram narkotik di Putri Duyung Cottage, Ancol. Kecenderungan baru lembaga peradilan itu dikukuhkan dalam rapat kerja Mahkamah Agung di Yogyakarta, Maret 1985, yang dikenal dengan "patokan hukuman". Dalam rapat itu disepakati, untuk kejahatan khusus, di antaranya perkara narkotik, peradilan akan menjatuhkan hukuman maksimal. "Sebab, selama ini, para hakim cenderung memberikan hukuman ringan kepada penjahat narkotik," kata Ketua Muda Mahkamah Agung, Adi Andojo Sutjipto, ketika itu (TEMPO, 1 Juni 1985). Sebelumnya vonis perkara narkotik memang sering mengecewakan pihak kepolisian atau kejaksaan. Hampir tidak pernah hakim menghukum penjahat narkotik di atas 10 tahun penjara. "Bahkan ada pejual 1 kg obat bius yang dihukum denda Rp 150," ujar seorang perwira polisi (TEMPO, 27 November 1971). Hanya Hakim Bismar Siregar yang pernah tercatat, 1975, menjatuhkan vonis berat, 20 tahun penjara, terhadap Nyonya Tya Ah Moi, warga negara Singapura, karena menyelundupkan 13 kg candu dan 1 kg heroin. Bahkan, setelah hukuman dipatok Mahkamah Agung, pengadilan masih saja berani membebaskan perkara narkotik atau memberikan hukuman ringan. Pengadilan Negeri Jakarta Barat, misalnya, Juli 1985 membebaskan terdakwa Asuk, yang semula dituntut jaksa 20 tahun penjara karena memperdagangkan 35 gram heroin. Sementara itu, pada waktu yang sama, pengadilan di Bali hanya menghukum warga negara Swiss, Richard Edmund Tattor Shall, dengan hukuman 10 tahun penjara. Padahal, sebelumnya, Shall dituntut hukuman mati. Adakah sikap Mahkamah Agung dalam perkara Yono dan kawan-kawan akan turun ke bawah, masih perlu waktu dan kasus untuk dilihat. Karni Ilyas, Laporan Biro Jakarta & Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus