Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AL JARREAU kembali ke Jakarta. Di Plenary Hall Jakarta Convention Center, Senayan, Selasa malam pekan lalu, ia memamerkan kemampuan yang akan selalu dirindukan setiap pencinta jazz: vokal yang sempurna, kemampuan melagukan lirik dalam tempo, irama, dan intonasi berubah-ubah tanpa kehilangan harmoni. Ia mendesah, mengoarkan suara-suara sengau, "meracau"-kan bap-bap-bap la-la-la-la dalam nada yang tiba-tiba "menukik" dan "menjulang". Ia berhasil membuat sekitar 2000-an penonton tercengang, sebelum memberikan aplaus membahana untuk Puddit, sebuah nomor pembukaan yang memikat.
Malam itu, sepanjang dua jam, maestro jazz kelahiran Milwaukee, Wisconsin, AS, ini mengunci mata dan kuping penonton di panggung pertunjukan. Kendati tak secemerlang penampilan perdananya di Jakarta pada 1987, pergelaran malam itu masih mengukuhkan Al Jarreau sebagai penyanyi kelas dunia dengan lima Grammy (penghargaan musik tertinggi di Amerika) di tangan. Dan seakan ingin menebus penampilan keduanya di Indonesia yang "jeblok" pada 1995, kali ini Al Jarreau mempersembahkan 13 repertoar dalam kondisi yang terjaga hingga akhir pementasan.
Dalam usia 60 tahun, penyanyi baya ini tidak kehabisan napas hingga bait terakhir lagu penutup. Ia bahkan masih menghadiahkan beberapa encore setelah penonton menjerit-jerit histeris memintanya kembali ke panggung setelah ia menyanyikan Spainyang menutup pertunjukannya. Dalam show ini, Al Jarreau menyanyikan sejumlah lagu lama dan baru: Puddit, It's How You Say It, Favorite Things, Just to be - I will be, So Good, Since I Feel, High Crime, Aqua Mass, Take Five-Roof. Juga Tomorrow Todaymenjadi judul album terbarunyayang sudah beredar di Amerika sejak Maret 2000.
Namun, Al Jarreau justru paling berhasil menyita penonton dalam dua nomor lama: After All dan We're in. Tidak semua penonton beruntung menikmati penampilan sang maestro dari dekat. Harga tiket yang bergerak dari kelas festival (Rp 75 ribu) hingga platinum (Rp 500 ribu) menentukan jarak tempat duduk dengan panggung. Tapi desain panggung yang menyertakan sebuah layar monitor membuat para penonton di barisan belakang bisa leluasa pula menikmati pertunjukkan itu, termasuk saat ia berduet dengan vokalis jazz Indonesia yang tengah naik daun, Syaharani.
Mengenakan celana panjang dan kamisol hitam beraksen bordiran warna-warni, Syaharani terlihat menawan. Lebih dari itu, ia mampu mengimbangi vokal, irama, tempo, ataupun intonasi Al Jarreau yang "sulit". Suara keduanya bersahut-sahutan, menghangatkan hati dan membubung di atas langit malam Ibu Kota: In my music, la-la-la , keeps me happy , flowin' on , in my music, la-la-la . You'll be the one thing that won't ever let me down.
Daya tarik Al Jarreau tidak hanya pada vokal yang istimewa, tapi juga gerak tubuh yang luwes dan lentur. Tangannya terampil menirukan orang bermain musik. "Luar biasa. Ini sungguh pertunjukan yang mengesankan," ujar Ade, 28 tahun. Ditemani sembilan kawannya, gadis mungil ini menikmati musik dan vokal Al Jarreau, yang telah dikenalnya selama bertahun-tahun. Sukses malam itu tak bisa dilepaskan dari kerja sama harmonis penyanyi latar: Deborah Davis-Vacher. Juga musisi pengiring: Ross Bolton (gitar), Chris Walker (bas), Freddie Ravel (keyboard), Jota Morelli (drum), Arno Lucas (perkusi), dan Joseph Turano (saksofon). Namun, bintang panggung malam itu tetap saja Al Jarreau. Ia memainkan rupa-rupa aksi untuk memikat hati penggemarnya, dari meneriakkan kata-kata "I love you" hingga "I can smell your perfume". Melangkah ke pinggir panggung, ia duduk berjuntai, lalu menyodorkan pengeras suara ke seorang penonton: "You want to try? Come on!" Selingan singkat itu mendatangkan aplaus meriah berkali-kali.
Apa sesungguhnya keistimewaan Al Jarreau? Para kritikus musik mencatat keunikan suara dan teknik menyanyinya sebagai sebuah art. Master bidang psikologi ini seolah dilahirkan untuk menyanyi. Bakatnya sudah muncul sejak usia empat tahun. Di masa kanak-kanak, bersama sejumlah saudara lelakinya ia berlatih vokal secara serius. Sesekali mereka manggung di klub-klub jazz lokal di Milwaukee. Hingga usia 20 tahun, ia masih serius di bidang akademi ketimbang musik. Setelah meraih master bidang rehabilitasi sosial di Universitas Iowa, ia bekerja di San Francisco sebagai konselor. Namun, panggung jazz terus memanggil-manggil "anak kampung" dari Wisconsin ini. Ia lalu manggung di beberapa klub lokalsebuah langkah yang mempertemukannya dengan raja jazz, George Duke.
Pertemuan ini, antara lain, membuat Al Jarreau kian pasti menetapkan jalan hidupnya: menjadi penyanyi. Pada akhir 1960-an ia pindah ke Los Angeles, lalu hijrah ke New York. Di sana ia bergabung dengan sejumlah musisi yang sudah punya nama: Jhonny Carlson, Merv Griffoin, David Frost, Mike Douglas, dan gitaris Julio Martinez. Mereka membuat program jazz di televisi lokal, yang menjadi embrio popularitas Al Jarreau.
Pada 1975, saat menyanyi di Bla Bla Café, Los Angeles, Dewi Fortuna akhinya memberinya restu. Seorang awak perusahaan rekaman Warner Bross menyaksikan penampilan anak muda ini. Ia terpikat. Dan kontrak diteken. Lalu, lahirlah We Got Byalbum pertama yang mengantarkan Grammy Jerman untuk kategori solois internasional baru terbaik. Tahun berikutnya, 1976, album Glow memberinya penghargaan serupa.
Setahun kemudian, Al Jarreau menggelar tur dunianya yang pertama. Safari ini menghasilkan double live album berjudul Look to the Rainbow. Dan ia memenangi Grammy Award di Amerika pada 1978, melalui album All Fly Home, sebagai vokalis jazz terbaik. Dua tahun berikutnya, Jarreau kembali mengejutkan industri musik Amerika: ia menambah koleksi dua Grammy dari album Breakin Away. Alhasil, Al Jarreau mendapat penghargaan musik tertinggi untuk jenis pop, jazz, dan R&B.
Sepanjang karirnya, ia juga beruntung sempat berkolaborasi dengan raksasa jazz, George Duke. Kerja sama mereka tertuang dalam Best of Al Jarreau. Sebanyak 14 hit dalam album ini dirilis untuk memperingati 20 tahun karirnya di dunia musik.
Kini, setelah tiga dasawarsa lebih menjadi artis penyanyi, ia bersafari ke beberapa negara Asia dan Eropa bersama Tomorrow Todaysembari tak lupa menyanyikan sejumlah lagu lama. Spain adalah lagu lamanya yang dia persembahkan sebagai nomor pamungkas pada show di Jakarta, pekan lalu. Sebuah nomor yang menurut Rizaseorang penonton yang mengaku sebagai pencinta sejati Al Jarreaumembuat "malam Al Jarreau" berakhir dengan antiklimaks karena warnanya yang apresiatif. Lagu ini memang tak seperti Boggie Down, yang bisa membuat penonton mudah berjingkrakan.
Tapi, boleh jadi Spain secara tak langsung mencerminkan penampilan sang maestro yang juga "antiklimaks". Dengan segala kecemerlangannya, ia tetap belum berhasil mengembalikan nostalgia yang akan selalu dirindukan setiap pencinta jazz: Al Jarreau dalam puncak keindahannya di hadapan publik Jakarta, 23 tahun silam.
Hermien Y. Kleden, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo