Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyabot Wewenang Khusus Yudikatif

Judicial review sebagai satu-satunya wewenang khusus MA akan dialihkan ke MPR. Kenapa urusan hukum dikuasai lembaga politik seperti MPR?

25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAMENDEMEN konstitusi (undang-undang dasar) jelas bukan urusan remeh. Dari segi bentuk, isi, ataupun sistematika konstitusi, banyak hal fundamental dan strategis yang harus diperbaiki pada Undang-Undang Dasar 1945. Untuk materi amendemen saja, ada masalah bentuk negara, sosok MPR kelak, pemilihan presiden secara langsung, dan pengurangan kewenangan presiden. Juga ada masalah pemilihan umum dan hak asasi manusia.

Kini, amendemen terhadap pelbagai masalah penting itu sedang dipersiapkan MPR untuk persidangan pada Agustus 2000. Sebelumnya, MPR telah melakukan amendemen gelombang pertama pada November 1999. Waktu itu sebanyak sembilan dari 37 pasal dalam UUD 1945 telah disempurnakan.

Sayangnya, proses amendemen UUD 1945 hanya menjadi kesibukan tersendiri bagi panitia ad hoc di Badan Pekerja MPR. Berbagai unsur masyarakat serta kalangan politik sepertinya lebih terbuai oleh hiruk-pikuk politik saat ini. Entah menyangkut isu kesehatan Presiden Abdurrahman Wahid, reshuffle kabinet, kasus dana Badan Urusan Logistik, ataupun perkara Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin.

Padahal, amendemen UUD akan berpengaruh pada desain utama negara dan masa depan bangsa. Kalau amendemen itu tak dicermati secara serius, tak mustahil aturan pokok kenegaraan itu akan menjadi bom waktu. Apalagi bila amendemen itu diproses MPR secara sepihak dengan terburu-buru, bisa-bisa terjadi kekeliruan yang berakibat fatal.

Salah satu materi amendemen yang bisa menimbulkan kekeliruan adalah masalah judicial review (menguji sesuai-tidaknya undang-undang dengan UUD). Baru-baru ini, Panitia ad hoc II di Badan Pekerja MPR yang diketuai Rambe Kamarulzamman mengusulkan agar wewenang judicial review (hak uji materiil) ada pada MPR.

Sedangkan hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tetap menjadi wewenang Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana diketahui, berdasarkan Ketetapan MPR No. III/1978 dan Undang-Undang MA, hak uji materiil terhadap peraturan di bawah undang-undang memang sudah menjadi milik MA, sementara hak uji materiil terhadap undang-undang hingga sekarang belum diatur.

Boleh jadi, diberikannya judicial review terhadap undang-undang pada MPR berangkat dari argumentasi klasik yang menganggap MA tak mungkin punya wewenang itu. Sebab, menurut Ketetapan MPR Sementara No. XX/1966, kedudukan MA sejajar dengan DPR dan presiden. Jadi, MA tak boleh menguji undang-undang yang dihasilkan oleh DPR beserta presiden. Karena itu, MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang lebih layak untuk melakukan judicial review.

Tentu saja pendapat itu menerbitkan kekecewaan. Sebab, sejak awal Orde Baru, kalangan intelektual, pengacara, dan wartawan yang tak henti-hentinya menuntut kemerdekaan yudikatif berharap agar MA memiliki wewenang judicial review terhadap undang-undang. Dengan begitu, MA bisa menjadi penjaga utama konstitusi sekaligus mengontrol kemungkinan menyimpangnya undang-undang dari UUD.

Sampai kini, aspirasi itu pun masih menguat. Soalnya, banyak undang-undang yang diperkirakan tak sejalan dengan UUD 1945. Di antaranya Undang-Undang Perpajakan, delik penyebar kebencian (haatzaai artikelen) pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Penyiaran. Juga Undang-Undang DPR tentang anggota DPR yang diangkat bukan dari pemilihan umum, serta Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya—bila jadi diteken presiden.

Itu sebabnya dua ahli hukum tata negara di Bandung, Bagir Manan dan Sri Sumantri, tak sependapat dengan Panitia ad hoc II Badan Pekerja MPR. ’’Itu sebuah kerancuan, tidak logis,” ucap Bagir Manan. Kalau judicial review diserahkan kepada MPR, kata Bagir, tentu keputusan bertentangan-tidaknya undang-undang dengan UUD akan lebih bersifat politik ketimbang hukum. Dan sebagai lembaga politik, jelas keputusan di MPR tergantung pada kekuatan politik yang dominan.

Sri Sumantri berharap, MPR tak tergesa-gesa memutuskan masalah judicial review. Sebaiknya pendapat itu didiskusikan lagi dengan masyarakat ataupun ahli hukum. Bila wewenang khusus judicial review tetap dipaksakan ada pada MPR, ’’Hukum akan kembali terpuruk,” ujar Sri Sumantri.

Sementara itu, Slamet Effendy Yusuf dari Panitia ad hoc I Badan Pekerja MPR mengusulkan jalan tengah bagi perbedaan pendapat di atas. Menurut dia, bisa saja judicial review bukan ada pada MPR ataupun MA, melainkan pada mahkamah konstitusi yang dibentuk MPR. Mahkamah demikian juga ada di Jerman dan Prancis. Hal itu tak akan menciutkan peran MA. ’’Justru fungsi utama MA di bidang judicial power (memutus perkara) akan semakin kuat,” kata Slamet.

Happy Sulistyadi, Dewi Rina Cahyani (Jakarta), dan Upiek Supriyatun (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum