Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Empat Tahun buat Putra Jenderal

Letnan Dua Agus Isrok dihukum empat tahun penjara dan dipecat dari TNI. Peradilan kasus narkotik akan konsisten bersikap tegas?

25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERADILAN militer kini menunjukkan gigi. Kamis pekan lalu, Mahkamah Militer Jakarta memvonis Letnan Dua Infanteri Agus Isrok Mi’roj dengan hukuman empat tahun penjara dalam kasus narkotik. Agus, 24 tahun, putra sulung mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, juga dipecat dari keanggotaan TNI. Sebab, ”Perbuatannya telah menggoyahkan sendi-sendi dan tata tertib kehidupan prajurit TNI,” kata ketua majelis hakim militer, Kolonel Sarman Mulyana.

Setelah berkonsultasi dengan tim kuasa hukumnya yang dipimpin Kolonel A.B. Setiawan, Agus yang Wakil Komandan Unit Khusus Detasemen 441 Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu langsung berdiri tegap. ”Siap. Saya menolak putusan dan menyatakan banding,” ujar Agus dengan suara tegas. Dalam vonis itu, Agus juga dihukum denda Rp 10 juta subsider enam bulan kurungan.

Dalam putusan yang dibacakan selama lima jam tanpa berhenti secara bergantian oleh tiga hakim itu, Agus dianggap bersalah karena memiliki empat kantong plastik berisi shabu-shabu dan daun ganja kering. Keempat kantong plastik yang disimpan dalam kotak korek api itu, yang jatuh dari tubuh terdakwa sewaktu digerebek polisi, menurut majelis hakim, terbukti milik terdakwa.

Vonis Agus lebih tinggi dari tuntutan tim oditur militer yang dipimpin Mayor Laut P. Simorangkir. Sebelumnya, oditur menuntut agar mahkamah memvonis Agus dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 5 juta. Agus juga dituntut agar dipecat dari TNI.

Dengan diketuknya hukuman Agus yang tak ringan itu, sepertinya mahkamah militer hendak membuktikan bahwa peradilan untuk personel TNI dan polisi itu bersikap tegas terhadap anggotanya yang terlibat kasus narkotik.

Benar-tidaknya ekspektasi itu, memang masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Soalnya, selama ini peradilan militer dituding acap melindungi anggota TNI dan polisi dengan hukuman rendah dan kualifikasi delik yang dinyatakan hanya menyalahi prosedur. Hal itu bisa ditilik pada beberapa kasus sebelumnya, entah perkara beberapa polisi yang diadili dalam kasus Trisakti ataupun perkara para anggota Kopassus dalam perkara penculikan mahasiswa dan penggiat demokrasi.

Apalagi, Undang-Undang Peradilan Militer memuat ketentuan tentang lembaga atasan yang berhak menghukum (ankum) dan perwira penyerah perkara. ”Seorang prajurit TNI bisa dihukum karena ankumnya marah. Kalau tidak, perkaranya bisa dipetieskan,” kata Irianto Subiakto dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Yang pasti, sementara ini, hukuman Agus cukup menjawab isu selama ini, yang mengkhawatirkan bakal menguapnya perkara putra Jenderal Subagyo itu. Meskipun demikian, majelis hakim tak lupa mempertimbangkan hal yang meringankan hukuman Agus, antara lain ia dianggap bersikap sopan selama persidangan, masih muda, dan belum pernah dihukum.

Namun, ketua tim kuasa hukum Agus, Kolonel A.B. Setiawan, tetap menyatakan keberatan atas vonis tersebut. Alasan utamanya, menurut Setiawan, seharusnya perkara Agus tak disidangkan di peradilan militer, melainkan di peradilan umum secara koneksitas. Sebab, Agus ditangkap polisi di Kamar 408 Hotel Travel, Jakarta Barat, pada 8 Agustus 1999, bersama Donny Hendrian yang orang sipil. Apalagi perkaranya lebih menyangkut kepentingan sipil, bukan militer.

Setiawan juga bersikukuh bahwa barang bukti ganja dan shabu-shabu itu bukan milik Agus. ”Dengan keterangan di bawah sumpah, Donny mengaku bahwa barang itu miliknya,” ujar Setiawan, yang akan mengajukan banding pada pekan ini. Tapi, ketika polisi menggeledah seisi kamar dan tubuh Agus, Donny melemparkan benda tersebut ke arah Agus.

Demikian pula soal tas hitam berisi 1,6 kilogram shabu-shabu, 25 strip valium, 27,6 gram putauw, dan 6.218 butir ekstasi. Tas itu ditemukan polisi di lemari kamar, bukan di badan Agus. Karena itu, yang bertanggung jawab terhadap tas itu adalah penyewa kamar tersebut, yang tak lain Donny.

Sayangnya, siapa pemilik tas itu, yang isinya mendebarkan jantung bandar narkotik sekalipun, juga tak diusut tuntas, baik dalam perkara Agus maupun Donny, yang lebih dulu divonis 9 tahun 6 bulan penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kalau begitu, perang terhadap narkotik yang selalu dicanangkan pemerintah masih sebatas retorika politik?

Happy Sulistyadi, Erwin Prima P.Z.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus