ADA seekor kuda ajaib. Jika penunggangnya mengucapkan
'Alhamdulillah', kuda itu berlari kencang. Untuk
menghentikannya cukup diucapkan 'amien'. Nah, suatu hari, kuda
di negeri Arab itu dipacu cepat sekali dan dari mulut si
penunggang menghambur kata 'alhamdulillah'. Saking asyiknya, si
penunggang lupa bagaimana menghentikan kuda itu. Ia panik. Tapi
untunglah pada saat kritis, ketika kuda itu selangkah lagi akan
masuk jurang, sipenunggang ingat mantranya. Segera disebutnya
'amien'. Kuda pun serentak berhenti. Merasa lega karena
terhindar dari bencana, si penunggang itu pun mengucapkan
'alhamdulillah'. Dan . . . kuda melompat -- mereka masuk jurang.
Grrr.
Humor itu dibacakan Dono, salah seorang anggota 'Warung Kopi
Prambors', di depan penonton yang berjubel di Teater Arena TIM
ketika berlangsung acara pembacaan humor 15 - 16 Juli. Acara
yang baru pertama kali dilakukan itu diselenggarakan Lembaga
Humor Indonesia (LHI) dan Dewan Kesenian Jakarta. Menampilkan
Mang Cepot, Kris Biantoro, Dono, Kasino, Chaerul Umam, T.
Aryono, Baron Achmadi dan Ed Zoelverdi serta beberapa penonton
yang diperbolehkan ambil bagian.
"Seni membaca puisi dan prosa sudah ada. Kenapa seni membaca
humor tak dicoba?" kata Arwah Setiawan, Ketua LHI menjelaskan.
Sebelumnya ia sudah bilang kepada TEMPO "Anggaplah LHI tengah
mengapungkan balon percobaan. Bagaimana hasilnya, nanti kita
lihat."
Yang ingin dilihatnya ialah, apakah orang tertawa karena materi
humornya, atau karena cara membacakannya. Betapapun, hasil
sementara ternyata cukup menggembirakan. "Di luar dugaan,"
komentar Kris Biantoro, sambil menunjuk penonton yang berjubel
sampai-sampai menelan daerah arena. "Ini bisa kita kembangkan
terus," sambungnya gembira.
Tapi toh tak cukup hanya di situ. Untuk acara ini, ternyata baru
Arwah sendirian yang mengumpulkan bahan humor, sementara para
pembaca tinggal lenggang kangkung membawakannya -- dan
memperoleh keplok. Kecuali Baron Achmadi dan Ed Zoelverdi yang
juga mencari bahan sendiri. "Saya cari bahan yang belum banyak
diketahui orang," kata Baron, yang malam itu tampil dengan
kostum a la Pak Sakerah jagoan Madura. "Kalau pun bahan itu
sudah banyak dikenal, saya berusaha merubahnya," tambahnya.
Arwah sendiri mencari lelucon itu dari buku-buku asing tahun
'60-an, antara lain kumpulan humor Bennett Cerf G. Leman dan
Mararet Gosset. "Saya pilih yang kira-kira gampang dicerna dan
bisa dicocok-cocokkan dengan situasi sini," ujarnya. "Tapi yang
jelas, saya tak memilih humor sex maupun politik. Saya ingin
buktikan bahwa humor jenis lain pun bisa lucu."
Namun kenyataan bicara lain. Di malam pertama, lelucon sex
banyak juga dilontarkan Kris dengan goyang-goyan pinggulnya.
Peserta lain, khususnya yang 'tak diundang" seperti kartunis
Tris Sakeh, kelompok Tiga T (juara lomba lawak nasional tahun
lalu) serta Krisna dan Pepeng (juga juara lomba lawak) muncul
dengan humor politik dan juga sex. Dan menghasilkan grrr lebih
banyak.
Jika Arwah ingin melihat apakah grrr diundang oleh materi
ataukah oleh cara membawakan, maka bagi publik yang lebih
penting agaknya materi itu -- meskipun, memang, ada humor yang
cukup lucu tapi tak menghasilkan tawa karena si pembawa kurang
pandai bercerita. Dan jika humor sex dan politik dilarang,
mungkin juga acara "kurang sukses". Itulah repotnya.
Bintang Arena
Namun ternyata tak semua yang tampil melulu membaca naskah. Yang
lebih banyak mengundang tawa ialah lelucon yang dibawakan dengan
gaya sebagaimana biasa dilakukan para pelawak. "Soalnya ada
kesalahan ketika pembagian bahan. Saya cuma kebagian sedikit
sekali. Karena itu, untuk menguasai publik saya mesti
berimprovisasi. Kalau tidak begitu, dengan pemunculan sebentar
sekali, orang tidak mungkin bisa tertawa," ujar Kris Biantoro,
yang porsi berceritanya memang lebih besar daripada pembacaan
naskah. Karena itulah, didukung pengalaman bertahun-tahun di
bidang lawak, ia berhasil jadi bintang arena di malam pertama.
Ia tampil dengan sangat bebas dan memukau, dan selalu berhasil
menggelitik.
Pada penampilan Chaerul Umam yang membacakan 'Tajuk Bencana'
sebuah nomor majalah Astaga, tentang dilarangnya film Rin Tin
Tin oleh TVRI -- sebuah cerita yang agak panjang dan dibacakan
secara Jawa -- grrr yang muncul tampaknya lebih disebabkan oleh
lucunya materi. Padahal cara membacakannya yang bagus tentu saja
sangat menolong mengantarkan materi itu. Cara dia menyudahi
bacaan misalnya dengan mempercepatnya, menyebabkan klimaks
cerita itu berhasil mengejutkan dan penuh grrr. Ia sukses, meski
tak begitu merangsang. Toh nomor ini merupakan contoh yang baik
dari acara yang sebenarnya memang bermaksud menampilkan
pembacaan cerita, dan bukan lawakan itu sendiri.
Betapapun ternyata kita punya banyak kemungkinan. Kapan
diperlombakan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini