Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Balon meletus. grrr

Pembacaan humor di tim, jakarta diselenggarakan lembaga humor indonesia dan dewan kesenian jakarta. banyak dikunjungi penonton. humor sex dan politik tetap muncul dan disambut riuh. (hb)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Balon meletus. grrr
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ADA seekor kuda ajaib. Jika penunggangnya mengucapkan 'Alhamdulillah', kuda itu berlari kencang. Untuk menghentikannya cukup diucapkan 'amien'. Nah, suatu hari, kuda di negeri Arab itu dipacu cepat sekali dan dari mulut si penunggang menghambur kata 'alhamdulillah'. Saking asyiknya, si penunggang lupa bagaimana menghentikan kuda itu. Ia panik. Tapi untunglah pada saat kritis, ketika kuda itu selangkah lagi akan masuk jurang, sipenunggang ingat mantranya. Segera disebutnya 'amien'. Kuda pun serentak berhenti. Merasa lega karena terhindar dari bencana, si penunggang itu pun mengucapkan 'alhamdulillah'. Dan . . . kuda melompat -- mereka masuk jurang. Grrr. Humor itu dibacakan Dono, salah seorang anggota 'Warung Kopi Prambors', di depan penonton yang berjubel di Teater Arena TIM ketika berlangsung acara pembacaan humor 15 - 16 Juli. Acara yang baru pertama kali dilakukan itu diselenggarakan Lembaga Humor Indonesia (LHI) dan Dewan Kesenian Jakarta. Menampilkan Mang Cepot, Kris Biantoro, Dono, Kasino, Chaerul Umam, T. Aryono, Baron Achmadi dan Ed Zoelverdi serta beberapa penonton yang diperbolehkan ambil bagian. "Seni membaca puisi dan prosa sudah ada. Kenapa seni membaca humor tak dicoba?" kata Arwah Setiawan, Ketua LHI menjelaskan. Sebelumnya ia sudah bilang kepada TEMPO "Anggaplah LHI tengah mengapungkan balon percobaan. Bagaimana hasilnya, nanti kita lihat." Yang ingin dilihatnya ialah, apakah orang tertawa karena materi humornya, atau karena cara membacakannya. Betapapun, hasil sementara ternyata cukup menggembirakan. "Di luar dugaan," komentar Kris Biantoro, sambil menunjuk penonton yang berjubel sampai-sampai menelan daerah arena. "Ini bisa kita kembangkan terus," sambungnya gembira. Tapi toh tak cukup hanya di situ. Untuk acara ini, ternyata baru Arwah sendirian yang mengumpulkan bahan humor, sementara para pembaca tinggal lenggang kangkung membawakannya -- dan memperoleh keplok. Kecuali Baron Achmadi dan Ed Zoelverdi yang juga mencari bahan sendiri. "Saya cari bahan yang belum banyak diketahui orang," kata Baron, yang malam itu tampil dengan kostum a la Pak Sakerah jagoan Madura. "Kalau pun bahan itu sudah banyak dikenal, saya berusaha merubahnya," tambahnya. Arwah sendiri mencari lelucon itu dari buku-buku asing tahun '60-an, antara lain kumpulan humor Bennett Cerf G. Leman dan Mararet Gosset. "Saya pilih yang kira-kira gampang dicerna dan bisa dicocok-cocokkan dengan situasi sini," ujarnya. "Tapi yang jelas, saya tak memilih humor sex maupun politik. Saya ingin buktikan bahwa humor jenis lain pun bisa lucu." Namun kenyataan bicara lain. Di malam pertama, lelucon sex banyak juga dilontarkan Kris dengan goyang-goyan pinggulnya. Peserta lain, khususnya yang 'tak diundang" seperti kartunis Tris Sakeh, kelompok Tiga T (juara lomba lawak nasional tahun lalu) serta Krisna dan Pepeng (juga juara lomba lawak) muncul dengan humor politik dan juga sex. Dan menghasilkan grrr lebih banyak. Jika Arwah ingin melihat apakah grrr diundang oleh materi ataukah oleh cara membawakan, maka bagi publik yang lebih penting agaknya materi itu -- meskipun, memang, ada humor yang cukup lucu tapi tak menghasilkan tawa karena si pembawa kurang pandai bercerita. Dan jika humor sex dan politik dilarang, mungkin juga acara "kurang sukses". Itulah repotnya. Bintang Arena Namun ternyata tak semua yang tampil melulu membaca naskah. Yang lebih banyak mengundang tawa ialah lelucon yang dibawakan dengan gaya sebagaimana biasa dilakukan para pelawak. "Soalnya ada kesalahan ketika pembagian bahan. Saya cuma kebagian sedikit sekali. Karena itu, untuk menguasai publik saya mesti berimprovisasi. Kalau tidak begitu, dengan pemunculan sebentar sekali, orang tidak mungkin bisa tertawa," ujar Kris Biantoro, yang porsi berceritanya memang lebih besar daripada pembacaan naskah. Karena itulah, didukung pengalaman bertahun-tahun di bidang lawak, ia berhasil jadi bintang arena di malam pertama. Ia tampil dengan sangat bebas dan memukau, dan selalu berhasil menggelitik. Pada penampilan Chaerul Umam yang membacakan 'Tajuk Bencana' sebuah nomor majalah Astaga, tentang dilarangnya film Rin Tin Tin oleh TVRI -- sebuah cerita yang agak panjang dan dibacakan secara Jawa -- grrr yang muncul tampaknya lebih disebabkan oleh lucunya materi. Padahal cara membacakannya yang bagus tentu saja sangat menolong mengantarkan materi itu. Cara dia menyudahi bacaan misalnya dengan mempercepatnya, menyebabkan klimaks cerita itu berhasil mengejutkan dan penuh grrr. Ia sukses, meski tak begitu merangsang. Toh nomor ini merupakan contoh yang baik dari acara yang sebenarnya memang bermaksud menampilkan pembacaan cerita, dan bukan lawakan itu sendiri. Betapapun ternyata kita punya banyak kemungkinan. Kapan diperlombakan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus