Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Lulus SMA. Dalam Kotak

Sebuah gagasan di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada untuk menerima lulusan SMA dari jurusan IPS. Sementara itu sistem kredit sudah berjalan dengan baik di sekolah-sekolah PPSP di 8 IKIP Negeri. (pdk)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JURUSAN ilmu eksakta di universitas tetap jadi cita-cita sebagian besar murid, begitu ia memasuki sekolah lanjutan. Tiap tahun lebih dari 50% para lulusan SMA menggiring diri ke fakultas teknik atau kedokteran. Dalam pandangan umumnya orang tua juga kedua fakultas itu punya martabat lebih tinggi ketimbang fakultas ilmu sosial. Akibatnya, anak-anak sejak dini banyak yang sudah disiapkan masuk ke jurusan ilmu pasti dan pengetahuan alam. Apalagi dari jurusan ini si anak bisa masuk ke mana saja, termasuk fakultas sastra. Tak heran bila siswa yang ditaruh di jurusan ilmu pengetahuan sosial dan budaya sering dianggap agak gagal. Atau, kurang cerdas. Sudijarto, Kepala Pusat Kurikulum BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan) Departemen Pendidikan & Kebudayaan pekan lalu mengritik kecenderungan yang tetap kuat itu. Menurut dia, dalam usia sekolah lanjutan anak masih "turun-naik". Belum jelas apa sebenarnya kemampuan si anak. "Bisa saja angka matematikanya jelek, padahal bukannya karena kurang cerdas," kata Sudijarto dalam wawancara dengan TEMPO di kantornya. Minat seorang siswa terkadang juga ditentukan oleh pandai atau tidaknya seorang guru membawakan pelajaran tertentu. Pendapat Sudijarto itu menggarisbawahi dasar pemikiran yang dikemukakan Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Prof. Dr. T. Jacob, akhir bulan yang lalu di Yogya. Sewaktu mewisuda 22 dokter baru, Jacob menyatakan fakultasnya di tahun 1980 akan menerima lulusan SMA jurusan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Gagasan itu bagaimana pun tetap menimbulkan persoalan -- meskipun tak baru. Di tahun 1973 dan 1974 Unair (Airlangga) Surabaya misalnya pernah buka pintu buat lulusan SMA IPS. "Waktu itu di luaran ramai dibicarakan kenapa lulusan eksakta bisa masuk fakultas non-eksakta, sedang sebaliknya tak mungkin," kata Prof. dr. Rahmat Santoso, dekan FK Unair kepada TEMPO di Surabaya. Tapi ternyata, dari hasil test masuk tak ada dari IPS yang lulus. Percobaan dua tahun itu kini dihentikan. Di UI, hal yang sama pernah dilakukan. Dekan Fakultas Kedokteran Prof. R. Gandasubrata tidak ingat kapan, tapi ia ingat hasilnya nihil. Para mahasiswa itu, menurut Gandasubrata, "lemah sekali dalam pelajaran matematika, kimia, fisika dan biologi" -- pengetahuan minimal yang seharusnya dikuasai seorang mahasiswa fakultas kedokteran. Gandasubrata juga menegaskan FK UI di masa mendatang tak berniat menerima lulusan IPS lagi. Masalahnya adalah efisiensi. Para lulusan IPS memerlukan latihan khusus di mata pelajaran yang dulu tak mereka dapat selama di SMA (misalnya kimia), dan seperti dikatakan Gandasubrata, itu hanya menambah waktu. Hasilnya belum tentu ada. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Doddy Tisna Amidjaja juga mengatakan: "Sebaiknya, untuk efisiensi, tempat yang ada lebih baik diberikan buat mereka yang memang mampu menyelesaikan kuliah secara lebih cepat." Di Yogya Prof. Jacob punya pendapat lain. Sarjana kedokteran berusia 50 ini, yang juga seorang ahli antropologi-biologis dan semasa mahasiswa dikenal sebagai penulis, antara lain humor, mengatakan bahwa sistem yang selama ini berdasarkan konsep lama. "Saya yakin pada akhir abad ini konsep pendidikan kedokteran pasti akan berubah, secara perlahan-lahan," katanya kepada TEMPO di Yogya. Dalam konsep lama, yang hanya bersifat "biologis-medis," kata Jacob, diterapkanlah segala ilmu pengetahuan alam pada tubuh manusia sebagai makhluk hidup secara "mikro." Pada konsep baru manusia dipandang sebagai bagian dari masyarakat dan "eko-sistem." Perkembangan baru pada pendidikan kedokteran kata Jacob juga menunjuk kenyataan bahwa "pendidikan kedokteran berada di tengah-tengah antara kutub paling eksak dengan kutub paling sosial." Lahir Tanpa Kotak Maka pada kurikulum sejak tahun 70-an di FK UGM segi-segi ilmu sosial sudah mulai merembes. Bahkan Jacob menyebut sudah ada 6 lulusan FK di universitasnya yang berasal dari jurusan IPS. "Sebagian besar dari Jawa Tengah dan ada yang jadi staf di Fakultas Kedokteran," sambungnya -- meskipun ia berkeberatan menyebutkan nama mereka. Orang-orang ini masuk fakultas kedokteran sebelum ada program resmi. Mereka datang melamar dan kemudian diwawancarai. "Hasilnya baik, maka apa salahnya diterima," cerita Jacob pula. Sesungguhnya akan lebih mudah menerima para siswa dari jurusan IPS ke pendidikan kedokteran seandainya yang disebut "sistem kredit" berjalan di Indonesia. Seperti dikatakan Jacob, dengan sistem kredit itu anak yang suka sejarah tapi juga menyukai aljabar bisa terus mempelajari ilmu-ilmu itu. "Toh manusia dilahirkan tidak terkotak hanya untuk suka ilmu pasti atau ilmu sosial saja." Manusia memang dilahirkan begitu, tapi pendidikan di Indonesia rupanya dilahirkan lain. Dengan sistem Belanda jaman kolonial sebagai bapak, sekolah menengah di Indonesia menjelang akhir abad ke-20 ini tetap saja melihat para murid dalam kotak-kotak terpisah. Sudijarto juga mengakui. "Memang sudah sejak semula SMA dipersiapkan mendidik anak-anak yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan supaya lebih terarah, diadakanlah jurusan-jurusan itu." Yang baik, seperti dikatakan Sudijarto juga, memang bila berlaku sistem kredit. Di sekolah-sekolah PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) di 8 IKIP Negeri hal itu sudah dilakukan. Hasilnya menurut penilaiannya "lumayan." Tapi untuk diterapkan ke seluruh SMA di Indonesia, diperlukan pembahasan lebih jauh. Siapa tahu Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional sudah melakukannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus