JURUSAN ilmu eksakta di universitas tetap jadi cita-cita
sebagian besar murid, begitu ia memasuki sekolah lanjutan. Tiap
tahun lebih dari 50% para lulusan SMA menggiring diri ke
fakultas teknik atau kedokteran. Dalam pandangan umumnya orang
tua juga kedua fakultas itu punya martabat lebih tinggi
ketimbang fakultas ilmu sosial.
Akibatnya, anak-anak sejak dini banyak yang sudah disiapkan
masuk ke jurusan ilmu pasti dan pengetahuan alam. Apalagi dari
jurusan ini si anak bisa masuk ke mana saja, termasuk fakultas
sastra. Tak heran bila siswa yang ditaruh di jurusan ilmu
pengetahuan sosial dan budaya sering dianggap agak gagal. Atau,
kurang cerdas.
Sudijarto, Kepala Pusat Kurikulum BP3K (Badan Penelitian dan
Pengembangan) Departemen Pendidikan & Kebudayaan pekan lalu
mengritik kecenderungan yang tetap kuat itu. Menurut dia, dalam
usia sekolah lanjutan anak masih "turun-naik". Belum jelas apa
sebenarnya kemampuan si anak. "Bisa saja angka matematikanya
jelek, padahal bukannya karena kurang cerdas," kata Sudijarto
dalam wawancara dengan TEMPO di kantornya. Minat seorang siswa
terkadang juga ditentukan oleh pandai atau tidaknya seorang guru
membawakan pelajaran tertentu.
Pendapat Sudijarto itu menggarisbawahi dasar pemikiran yang
dikemukakan Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Prof. Dr. T. Jacob,
akhir bulan yang lalu di Yogya. Sewaktu mewisuda 22 dokter baru,
Jacob menyatakan fakultasnya di tahun 1980 akan menerima lulusan
SMA jurusan ilmu pengetahuan sosial (IPS).
Gagasan itu bagaimana pun tetap menimbulkan persoalan --
meskipun tak baru. Di tahun 1973 dan 1974 Unair (Airlangga)
Surabaya misalnya pernah buka pintu buat lulusan SMA IPS. "Waktu
itu di luaran ramai dibicarakan kenapa lulusan eksakta bisa
masuk fakultas non-eksakta, sedang sebaliknya tak mungkin," kata
Prof. dr. Rahmat Santoso, dekan FK Unair kepada TEMPO di
Surabaya. Tapi ternyata, dari hasil test masuk tak ada dari IPS
yang lulus. Percobaan dua tahun itu kini dihentikan.
Di UI, hal yang sama pernah dilakukan. Dekan Fakultas Kedokteran
Prof. R. Gandasubrata tidak ingat kapan, tapi ia ingat hasilnya
nihil. Para mahasiswa itu, menurut Gandasubrata, "lemah sekali
dalam pelajaran matematika, kimia, fisika dan biologi" --
pengetahuan minimal yang seharusnya dikuasai seorang mahasiswa
fakultas kedokteran. Gandasubrata juga menegaskan FK UI di masa
mendatang tak berniat menerima lulusan IPS lagi.
Masalahnya adalah efisiensi. Para lulusan IPS memerlukan latihan
khusus di mata pelajaran yang dulu tak mereka dapat selama di
SMA (misalnya kimia), dan seperti dikatakan Gandasubrata, itu
hanya menambah waktu. Hasilnya belum tentu ada. Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Doddy Tisna Amidjaja juga mengatakan:
"Sebaiknya, untuk efisiensi, tempat yang ada lebih baik
diberikan buat mereka yang memang mampu menyelesaikan kuliah
secara lebih cepat."
Di Yogya Prof. Jacob punya pendapat lain. Sarjana kedokteran
berusia 50 ini, yang juga seorang ahli antropologi-biologis dan
semasa mahasiswa dikenal sebagai penulis, antara lain humor,
mengatakan bahwa sistem yang selama ini berdasarkan konsep lama.
"Saya yakin pada akhir abad ini konsep pendidikan kedokteran
pasti akan berubah, secara perlahan-lahan," katanya kepada TEMPO
di Yogya.
Dalam konsep lama, yang hanya bersifat "biologis-medis," kata
Jacob, diterapkanlah segala ilmu pengetahuan alam pada tubuh
manusia sebagai makhluk hidup secara "mikro." Pada konsep baru
manusia dipandang sebagai bagian dari masyarakat dan
"eko-sistem." Perkembangan baru pada pendidikan kedokteran kata
Jacob juga menunjuk kenyataan bahwa "pendidikan kedokteran
berada di tengah-tengah antara kutub paling eksak dengan kutub
paling sosial."
Lahir Tanpa Kotak
Maka pada kurikulum sejak tahun 70-an di FK UGM segi-segi ilmu
sosial sudah mulai merembes. Bahkan Jacob menyebut sudah ada 6
lulusan FK di universitasnya yang berasal dari jurusan IPS.
"Sebagian besar dari Jawa Tengah dan ada yang jadi staf di
Fakultas Kedokteran," sambungnya -- meskipun ia berkeberatan
menyebutkan nama mereka. Orang-orang ini masuk fakultas
kedokteran sebelum ada program resmi. Mereka datang melamar dan
kemudian diwawancarai. "Hasilnya baik, maka apa salahnya
diterima," cerita Jacob pula.
Sesungguhnya akan lebih mudah menerima para siswa dari jurusan
IPS ke pendidikan kedokteran seandainya yang disebut "sistem
kredit" berjalan di Indonesia. Seperti dikatakan Jacob, dengan
sistem kredit itu anak yang suka sejarah tapi juga menyukai
aljabar bisa terus mempelajari ilmu-ilmu itu. "Toh manusia
dilahirkan tidak terkotak hanya untuk suka ilmu pasti atau ilmu
sosial saja."
Manusia memang dilahirkan begitu, tapi pendidikan di Indonesia
rupanya dilahirkan lain. Dengan sistem Belanda jaman kolonial
sebagai bapak, sekolah menengah di Indonesia menjelang akhir
abad ke-20 ini tetap saja melihat para murid dalam kotak-kotak
terpisah. Sudijarto juga mengakui. "Memang sudah sejak semula
SMA dipersiapkan mendidik anak-anak yang akan melanjutkan ke
perguruan tinggi. Dan supaya lebih terarah, diadakanlah
jurusan-jurusan itu."
Yang baik, seperti dikatakan Sudijarto juga, memang bila berlaku
sistem kredit. Di sekolah-sekolah PPSP (Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan) di 8 IKIP Negeri hal itu sudah dilakukan. Hasilnya
menurut penilaiannya "lumayan." Tapi untuk diterapkan ke seluruh
SMA di Indonesia, diperlukan pembahasan lebih jauh. Siapa tahu
Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional sudah melakukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini