PERINGATAN kepada para lulusan SLTA yang akan masuk perguruan
tinggi swasta (PTS) akhir-akhir ini semakin keras. "Awas,
jangan salah pilih, " kata drs Sardjono, Sekretaris Kopertis
Wilayah IV, Yogyakarta. Maksud Sardjono, sebaiknya PTS yang
dipilih itu diteliti dulu apakah sudah memiliki status
terdaftar, disamakan atau diakui. Sebab banyaknya muncul PTS-PTS
yang tidak memiliki status minimal terdaftar pada setiap musim
pendaftaran mahasiswa baru seperti sekarang ini, menurut drs
Wuryanto, Ketua Kopertis Wilayah V, Jawa Tengah, sering
merugikan mahasiswa. "PTS serupa itu hendaknya sedapat mungkin
dijauhi," katanya.
Peringatan yang bermaksud baik itu tentu saja punya bukti.
Misalnya seperti yang diceritakan IB Alit SH, Sekretaris
Kopertis Wilayah VI, Jawa Timur, awal bulan ini kepada TEMPO.
Katanya, pada 1975 lalu pernah datang orang dari Jakarta yang
minta rekomendasi untuk mendirikan Akademi Pariwisata dan
Perhotelan di Surabaya. Sekalipun Kopertis tidak memberikannya,
orang dari Jakarta itu tetap melaksanakan penerimaan mahasiswa.
Ketika berhasil manggaet 50 mahasiswa dan kuliah baru berjalan
tiga bulan, akademinya dibubarkan sendiri dan orangnya kabur ke
Jakarta.
Banyak PTS yang berkeberatan dengan peringatan Kopertis itu.
"Kami tidak mencetak penganggur. Lulusan akademi kami bukan
orang yang mundar-mandir cari pekerjaan, tapi orang yang
menciptakan pekerjaan," kata drh Soeprapto, Direktur Akademi
Peternakan Brahmanaputera, Yogyakarta. Pimpinan akademi yang
belum memiliki status apa pun karena tidak punya gedung itu
menunjuk biaya sekolah setahun yang jumlahnya hanya Rp 42.500 --
sudah termasuk uang praktikum. "Murah dan sama sekali tidak
bermaksud komersial," katanya. Bahkan dijelaskan adanya rencana
pengusaha terkenal Probosutedjo untuk memberikan 10 Ha tanah di
Godean, lengkap untuk praktek peternakan, akademinya yang
sekarang meminjam tempat di SMEA Koperasi memiliki masa depan
yang cerah.
Ujian Dagelan
Tapi selain banyak PTS yang berusaha memiliki status, ternyata
ada juga yang tidak memperdulikannya. Akademi Kepariwisataan
Indonesia (AKI) Yogyakarta, misalnya, bahkan menuduh Pemerintah
sendiri tidak punya standar kurikulum kepariwisataan. Karena
itu, menurut drs Soekirdjo, Direkturnya, AKI merasa tak perlu
mengikuti ujian negara. Kalaupun ada mahasiswanya yang ingin
memiliki ijazah negara, mereka disalurkan menempuh ujian lewat
kerjasama dengan fakultas sastra dari Universitas Udayana,
Denpasar. "Tapi itu ujian dagelan, karena tidak sesuai dengan
ilmu yang dituntut," kata drs Soekirdjo. Sejak lahir pada 1971
AKI telah menghasilkan 64 sarjana muda lokal. Begitu juga
dengan Universitas Sawerigading di Ujungpandang yang tidak
mendaftarkan diri. "Karena universitas kami lahir lebih dulu
dibanding dengan UU Perguruan Tinggi yang mengatur PTS," kata
Nyonya Nurudin Syahadat, yang mewakili suaminya rektor
universitas itu.
Bagi Pemerintah sendiri peringatan yang dilakukan Kopertis pada
musim pendaftaran mahasiswa baru sekarang ini memang tidak
dimaksudkan untuk memojokkan PTS. "Di antara mereka ada juga
yang sungguh-sunguh. Bahkan menurut saya jumlahnya lebih
banyak," kata Prof. Soekisno Hadikoemoro, Direktur Perguruan
Tinggi Swasta, Departemen P&K. Sehingga kalaupun sejak tahun
1977, lewat Dirjen Perguruan Tinggi diturunkan SK yang berisi
belum dibukanya kemungkinan mendirikan PTS baru, selain untuk
mencegah PTS petualang, juga guna memperkuat yang sudah ada yang
jumlahnya memang sudah lebih dari tigaratus buah itu.
Itu sebabnya Kopertis Wilayah VII, Indonesia Timur, pada musim
penerimaan mahasiswa baru sekarang ini mengadakan ujian saringan
bersama. Dengan begini, menurut Prof. Ahmad Amiruddin, Ketua
Kopertis, bisa ketahuan mana PTS yang banyak diminati. Yang
kurang peminat dievaluasi dan kalau perlu ditutup. "Buat apa
dibiarkan hidup kalau tak dibutuhkan masyarakat," kata
Amiruddin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini