Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bagaimana Memilih PTS

Banyaknya perguruan tinggi swasta yang muncul pada tiap musim pendaftaran sering merugikan mahasiswa. Tapi beberapa PTS yang telah berdiri merasa keberatan dengan peringatan kopertis tersebut. (pdk)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERINGATAN kepada para lulusan SLTA yang akan masuk perguruan tinggi swasta (PTS) akhir-akhir ini semakin keras. "Awas, jangan salah pilih, " kata drs Sardjono, Sekretaris Kopertis Wilayah IV, Yogyakarta. Maksud Sardjono, sebaiknya PTS yang dipilih itu diteliti dulu apakah sudah memiliki status terdaftar, disamakan atau diakui. Sebab banyaknya muncul PTS-PTS yang tidak memiliki status minimal terdaftar pada setiap musim pendaftaran mahasiswa baru seperti sekarang ini, menurut drs Wuryanto, Ketua Kopertis Wilayah V, Jawa Tengah, sering merugikan mahasiswa. "PTS serupa itu hendaknya sedapat mungkin dijauhi," katanya. Peringatan yang bermaksud baik itu tentu saja punya bukti. Misalnya seperti yang diceritakan IB Alit SH, Sekretaris Kopertis Wilayah VI, Jawa Timur, awal bulan ini kepada TEMPO. Katanya, pada 1975 lalu pernah datang orang dari Jakarta yang minta rekomendasi untuk mendirikan Akademi Pariwisata dan Perhotelan di Surabaya. Sekalipun Kopertis tidak memberikannya, orang dari Jakarta itu tetap melaksanakan penerimaan mahasiswa. Ketika berhasil manggaet 50 mahasiswa dan kuliah baru berjalan tiga bulan, akademinya dibubarkan sendiri dan orangnya kabur ke Jakarta. Banyak PTS yang berkeberatan dengan peringatan Kopertis itu. "Kami tidak mencetak penganggur. Lulusan akademi kami bukan orang yang mundar-mandir cari pekerjaan, tapi orang yang menciptakan pekerjaan," kata drh Soeprapto, Direktur Akademi Peternakan Brahmanaputera, Yogyakarta. Pimpinan akademi yang belum memiliki status apa pun karena tidak punya gedung itu menunjuk biaya sekolah setahun yang jumlahnya hanya Rp 42.500 -- sudah termasuk uang praktikum. "Murah dan sama sekali tidak bermaksud komersial," katanya. Bahkan dijelaskan adanya rencana pengusaha terkenal Probosutedjo untuk memberikan 10 Ha tanah di Godean, lengkap untuk praktek peternakan, akademinya yang sekarang meminjam tempat di SMEA Koperasi memiliki masa depan yang cerah. Ujian Dagelan Tapi selain banyak PTS yang berusaha memiliki status, ternyata ada juga yang tidak memperdulikannya. Akademi Kepariwisataan Indonesia (AKI) Yogyakarta, misalnya, bahkan menuduh Pemerintah sendiri tidak punya standar kurikulum kepariwisataan. Karena itu, menurut drs Soekirdjo, Direkturnya, AKI merasa tak perlu mengikuti ujian negara. Kalaupun ada mahasiswanya yang ingin memiliki ijazah negara, mereka disalurkan menempuh ujian lewat kerjasama dengan fakultas sastra dari Universitas Udayana, Denpasar. "Tapi itu ujian dagelan, karena tidak sesuai dengan ilmu yang dituntut," kata drs Soekirdjo. Sejak lahir pada 1971 AKI telah menghasilkan 64 sarjana muda lokal. Begitu juga dengan Universitas Sawerigading di Ujungpandang yang tidak mendaftarkan diri. "Karena universitas kami lahir lebih dulu dibanding dengan UU Perguruan Tinggi yang mengatur PTS," kata Nyonya Nurudin Syahadat, yang mewakili suaminya rektor universitas itu. Bagi Pemerintah sendiri peringatan yang dilakukan Kopertis pada musim pendaftaran mahasiswa baru sekarang ini memang tidak dimaksudkan untuk memojokkan PTS. "Di antara mereka ada juga yang sungguh-sunguh. Bahkan menurut saya jumlahnya lebih banyak," kata Prof. Soekisno Hadikoemoro, Direktur Perguruan Tinggi Swasta, Departemen P&K. Sehingga kalaupun sejak tahun 1977, lewat Dirjen Perguruan Tinggi diturunkan SK yang berisi belum dibukanya kemungkinan mendirikan PTS baru, selain untuk mencegah PTS petualang, juga guna memperkuat yang sudah ada yang jumlahnya memang sudah lebih dari tigaratus buah itu. Itu sebabnya Kopertis Wilayah VII, Indonesia Timur, pada musim penerimaan mahasiswa baru sekarang ini mengadakan ujian saringan bersama. Dengan begini, menurut Prof. Ahmad Amiruddin, Ketua Kopertis, bisa ketahuan mana PTS yang banyak diminati. Yang kurang peminat dievaluasi dan kalau perlu ditutup. "Buat apa dibiarkan hidup kalau tak dibutuhkan masyarakat," kata Amiruddin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus