Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Batik Fashion Fair menginjak tahun keempat pada perhelatan tahun 2019. Bermula dari gagasan menjadikan pameran batik sebagai etalase produk dan fashion batik, lalu merambah ke kain tenun dan aksesoris. Kepentingan pameran pun berkembang menjadi wadah para asosiasi baik desainer maupun pengusaha untuk menyuarakan kepentingannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Batik Fair bukan hanya sekadar pameran milik Debindo Mitratama, namun milik rakyat Jawa Timur dan asosiasi. Bila bersatu, maka industri fashion itu kuat, dan menguntungkan semua pihak,” ujar Direktur Debindo Mediatama, Budiono saat konferensi pers di Hotel Kepi, Surabaya pada Rabu (20/11).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Budiono, pamera-pameran yang diselenggarakan Debindo, telah menjadi rumah bagi asosiasi, “Bahkan kami juga menjadi mediator bila terjadi perselisihan, pasalnya ketika asosiasi pecah maka yang terganggu bukan hanya pameran namun berdampak kepada peserta,” ujar Budiono.
Untuk perhelatan Batik Fashion Fair 2019, Debindo Mitratama bekerja sama dengan pemerintah provinsi Jawa Timur dan asosiasi yang berkaitan dengan batik, tenun, dan aksesoris, “Pameran ini menjadi ruang untuk menampilkan produk, sekaligus memberi edukasi dan memberi gambaran tren fashion pada 2020,” imbuh Budiono.
Seperti lahirnya ide susitanable fashion, hal tersebut merupakan bentuk keprihatinan pelaku industri dan asosiasi, karena tudingan indsutri tekstil dan fashion Indonesia mencemari lingkungan, “Makanya kami menampilkan bahwa indutri fashion nasional itu ramah lingkungan, bahkan sejak zaman nenek moyang dulu,” timpal Budiono.
Direktur Debindo Mediatama, Budiono (tengah) saat Konferensi pers Batik Fashion Fair 2019, memaparkan Batik Fashion Fair 2019 telah menjadi pameran business to business. TEMPO/Ludhy Cahyana
Nantinya, akan ada 200 peserta dengan target pengunjung 30.000 pengunjung. Peserta hanya 200 stand dikarenakan keterbatasan tempat di Grand City Surabaya, “Peserta didominasi peserta lama, mereka bahkan mengikuti pameran batik lainnya yang diselenggarakan Debindo. Bahkan mereka sudah memasan untuk Jatim Fair, tapi kami batasi 12 perusahaan saja,” imbuh Budiono.
Dominannya peserta lama, dari sisi bisnis menunjukkan, pameran ini sangat menguntungkan. Setiap produsen telah memiliki pasar tersendiri. Jadi, menurut Budiono, jangan heran bila ada pengunjung hanya datang ke satu stan lalu pulang.
Selain itu, pameran ini bukan lagi business to consumer, tapi sudah berubah menjadi business to business, “Pengunjung yang datang itu umumnya memborong lalu dijual lagi,” papar Budiono. Bahkan antar desainer saling membeli produk. Misalnya, desainer batik mataraman membeli batik tulis Madura, yang digunakan untuk pembauran bahan desain sebuah produk.
“Tahun lalu, transaksi on the spot tahun lalu mencapai Rp2,5 miliar-3 miliar, kami yakin transaksinya pada 2019 bisa mencapai Rp5 miliar. Ini transaksi yang tercatat, yang tidak tercatat usai pameran lebih besar lagi. Ini menjadi ciri pameran business to business,” ujar Budiono.
Batik Madura mulai dilirik penggiat mode untuk dipadukan dengan bahan atau batik dari kota lain. Dok.Tempo
Tahun lalu, pameran ini dihadiri 200 peserta dan pengunjung mencapai 28.000 lebih. Sementara pengunjung yang hadir tidak ditarik biaya. Selain membeli batik, mereka bisa mengikuti beragam workshop dan seminar.
Selain itu, Budiono menegaskan, Batik Fashion Fair menjangkau konsumen dari menengah atas sampai menengah bawah. Peserta membawa batik seharga jutaan per helai, hingga seratusan ribu, dalam rupa batik tulis ataupun batik cap, “Jadi pameran di Grand City itu tidak selalu mahal, semua kalangan bisa membeli produk berkualitas,” ujarnya.