MANTAN Menteri Koperasi/Kepala Bulog Bustanil Arifin, Selasa siang dua pekan lalu, gontai melangkah menuju ruang Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta. Kepada sejumlah wartawan yang menunggunya, begitu keluar dari ruang pemeriksaan, Bustanil mengatakan, "Saya dianggap ahli dalam koperasi. Saya ditanyai mengenai prosedur-prosedur koperasi."
Ini soal keahlian atau soal penyelewengan? Memang, banyak yang tidak transparan dari kedatangan Bustanil ke Polda Metro Jaya ini. Ia sudah bolak-balik menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung berkaitan dengan perkara korupsi yayasan-yayasan yang dipimpin Soeharto. Rupanya, sekarang Pak Bus mesti berurusan dengan aparat penegak hukum yang lain, jajaran reserse Polda Metro Jaya.
Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Anton Bachrul Alam, memastikan Bustanil memang diperiksa. Namun, ia tidak menjelaskan secara terbuka dalam kasus apa Bustanil diperiksa. "Tidak ada kasus besar. Ia hanya dimintai keterangan. Kasusnya kecil, soal korupsi di yayasan swasta," kata Anton Bachrul Alam.
Kabarnya, Bustanil yang dikenal sebagai salah satu kroni Soeharto itu diperiksa berkaitan dengan dugaan korupsi Rp 10 miliar melalui sebuah yayasan milik Departemen Koperasi. Adakah polisi kini tengah berbagi perkara dengan kejaksaan dengan niat positif untuk mempercepat penyelesaian kasus korupsi atau ada persaingan tersembunyi berebut "lahan basah"? Entahlah. Sebab, sesuai dengan perundangan, polisi memang berhak juga mengusut kasus korupsi.
Keterangan lebih gamblang diberikan Komisaris Besar Adang Rochjana, Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya. Dia menolak jika disebut polisi diam-diam menyidik Bustanil Arifin. "Kami terus menyidik. Dan kasus ini tertutup oleh kasus-kasus besar yang ditangani oleh Polda Metro Jaya, yaitu kasus Tommy Soeharto dan kasus peledakan bom," kata Adang.
Pemeriksaan itu berkaitan dengan korupsi yang terjadi ketika Bustanil, yang juga Wakil Ketua II Yayasan Dharmais—salah satu "mesin kekayaan" Soeharto—menjabat Menteri Koperasi/Kepala Bulog. Pada 1994, pemerintah melalui Menteri Koperasi/Kepala Bulog memberikan sebidang tanah berlokasi di Kuningan, Jakarta Selatan, kepada yayasan tersebut. Di atas tanah itu rencananya dibangun pertokoan, tapi ternyata tidak pernah terwujud. Akhir Desember 2000, tanah bantuan itu diduga dijual oleh beberapa pengurus yayasan kepada pihak swasta senilai Rp 10 miliar.
Uang hasil penjualan tanah itu lantas dibagi-bagikan di antara para pengurus berdasarkan lama kerja dan pengabdian di yayasan. Akibatnya, sejumlah anggota koperasi dan yayasan mengadukan "bancakan" tersebut ke pihak yang berwajib. Atas laporan itu, jajaran Direktorat Reserse Polda Metro Jaya melakukan penyidikan. Terhitung sejak satu bulan lalu, beberapa anggota dan karyawan yayasan telah diperiksa petugas reserse.
Selama ini, Kejaksaan Agunglah yang proaktif menangani perkara korupsi. Pemeriksaan secara serius oleh polisi merupakan "hal baru" dalam proses penanganan korupsi. Namun, sejatinya keduanya bisa melakukan tugas penyidikan.
Hal itu juga dijelaskan Muljohardjo, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung. Jaksa dan polisi boleh melakukan tugas penyidikan atas kasus korupsi. Pemilahan lembaga penyidik kasus korupsi itu terjadi berdasarkan masuknya laporan. "Untuk kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kejaksaanlah yang menyidik karena laporannya memang masuk ke kejaksaan. Laporan kasus korupsi yang disidik di Kejaksaan Agung umumnya datang dari inspektorat jenderal dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bila langsung ke kejaksaan, penanganannya lebih cepat tuntas," kata Muljohardjo lagi.
Namun, kata Adang Rochjana, "Polisilah aparat penyidik yang sebenarnya, termasuk dalam perkara korupsi." Lebih jauh Adang menjelaskan, polisi juga memiliki direktorat korupsi seperti halnya Kejaksaan Agung memiliki Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. "Karena kami sama-sama aparat penegak hukum, ya, kami berbagi," katanya.
Pasal 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi. Ditegaskan lagi oleh Pasal 5 KUHAP bahwa wewenang penyelidik mencakup menerima laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti, hingga membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. Kewenangan jaksa sebagai penyidik ada dalam Pasal 284 KUHP.
Memang banyak jalan menjala sang tikus koruptor. Jika saja polisi sama gesitnya dengan kejaksaan dalam mengusut kasus korupsi, barangkali pemerintahan yang bersih lebih cepat terwujud. Asal jangan polisi dan kejaksaan berebut mengusut kasus-kasus besar yang ujungnya melakukan "pemerasan".
Dwi Arjanto, Tomi Lebang, Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini