Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Cap Go Meh di Singkawang, Ada Tatung Manusia Pilihan Dewa

Warga Singkawang menganggap tatung adalah pilihan manusia pilihan dewa. Saat Cap Go Meh, mereka tampil dalam parade tatung yang mistik.

21 Januari 2020 | 12.51 WIB

Seorang Tatung melakukan atraksi saat mengikuti Pawai Perayaan Cap Go Meh 2570/2019 di Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar), Selasa, 19 Februari 2019. Sebanyak 860 Tatung (dukun Tionghoa yang kerasukan arwah leluhur) turut memeriahkan perayaan Cap Go Meh 2019 yang telah menjadi agenda wisata tahunan di Kota Singkawang, Kalbar. ANTARA
Perbesar
Seorang Tatung melakukan atraksi saat mengikuti Pawai Perayaan Cap Go Meh 2570/2019 di Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar), Selasa, 19 Februari 2019. Sebanyak 860 Tatung (dukun Tionghoa yang kerasukan arwah leluhur) turut memeriahkan perayaan Cap Go Meh 2019 yang telah menjadi agenda wisata tahunan di Kota Singkawang, Kalbar. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pagi pada hari Cap Go Meh – hari ke-15 setelah Imlek – seantero penjuru Singkawang menjadi riuh. Gendang yang ditabuh bertalu-talu bersahutan dengan bunyi sambal. Aroma mistik terasa kuat karena udara beraroma hio tercium di mana-mana. Singkawang kota kecil yang oadat dengan ruko-ruko tua menjadi meriah menyambut Cap Go Meh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cap Go Meh pada 2020 jatuh pada 8 Februari. Pada masa lalu, keramaian parade tatung berpusat di Gelanggang Olahraga (GOR) Krisdayana Singkawang. Tapi kini sudah beranjak ke keramaian jalanan. Parade Tatung, Sin Khiau, dan budaya multi etnis pada 8 Februari 2020 nanti bermula di Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat menuju Jalan Budi Utomo, Jalan Setia Budi, Jalan Sejahtera, Jalan Niaga dan berakhir di Jalan Stasiun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Selama Imlek 15 hari, seluruh perayaan di Kotamadya Singkawang didanai miliaran rupiah, dengan puncak acara parade tatung.  Istilah tatung diberikan kepada dukun pemanggil roh. Warga setempat meyakini, mereka manusia pilihan dewa: roh-roh kayangan berkenan bersemayam di dalam diri mereka, lengkap dengan sejumlah kekuatan khusus, termasuk kekebalan tubuh.

Warga kota bahakan yang sudah berdiaspora pun, tumpah ruah di pinggir jalan menyaksikan 700 wakil dewa. Singkawang memang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, dalam memperingati Cap Go Meh. Bahkan, mungkin di seluruh dunia, tatung hanya ada di Singkawang, begitu klaim para tokoh masyarakat di sana.

 Seorang Tatung melakukan atraksi usai memohon doa restu di Vihara Budi Dharma, Singkawang, Kalimantan Barat, Senin, 18 Februari 2019. Para tatung mendatangi vihara guna memohon doa restu kepada para dewa sebelum melakukan atraksi di jalanan Kota Singkawang saat perayaan Cap Go Meh pada Selasa, 19 Februari 2019. ANTARA/Reza Novriandi

Parade pasukan tatung berpakaian sebagai dewa, jenderal, panglima perang Cina. Warna kostumnya ada yang hitam, kuning, merah atau hijau. Pelindung tubuh dan pedang yang mereka bawa berkilau-kilau oleh sepuhan emas dan perak. Mereka mengusung bendera segitiga yang memuat nama-nama tatung. Sebagian memikul tandu sembari menyipratkan ait penolak bala. Tatung yang berjalan kaki dan yang bertandu, menunjukkan status sosial mereka di kalangan masyarakat.

Di luar parade, tatung adalah paranormal yang konon mampu menebak takdir dan mengobati penyakit. Jadi, bila klien mereka banyak, tentu banyak sumbangan yang salah satunya bisa berwujud tandu megah itu.

Siapakah mereka sebenarnya? Tatung dipercaya sebagaimana manusia pilihan dewa. Warga Singkawang meyakini mereka membantu manusia mencapai kedamaian, menjaga agar tidak diganggu makhluk lain, juga memberi pengobatan. Agar bisa membantu orang lain, mereka membiarkan badannya dirasuki roh.

Saat kerasukan, jarum-jarum besi sepanjang 50 cm menembus pipi dan bibir tanpa setetes darah pun, "Mereka harus menjadi vegetarian tiga hari agar menjadi bersih dan kuat untuk ditusuk," ujar Chin Miau Fuk, salah satu tokoh masyarakat.

Saat berpawai mereka berjalan kaki dan adapula yang duduk santai  di atas tandu, beralaskan jejeran pedang tajam atau ratusan paku. Di tengah-tengah pawai, mereka memamerkan atraksi maut. Misalnya menekan perut dan kaki dengan parang, atau memakan pecahan kaca dari lampu neon. Beberapa orang bahkan menggorok leher atau mengiris lidah dengan pisau atau mandau, senjata khas suku Dayak.

Seorang Tatung (dukun Tionghoa yang kerasukan arwah leluhur) melakukan atraksi saat mengikuti Pawai Perayaan Cap Go Meh 2018 di Singkawang, Kalbar, 2 Maret 2018. Sebanyak 1038 Tatung turut memeriahkan perayaan Cap Go Meh 2018. ANTARA/Jessica Helena Wuysang

Adapula yang bertingkah lucu, meminum air dengan dot, sembari mulutnya komat-kamit. Bahkan ada yang sengaja membakar puluhan petasan yang dililitkan pada tubuh. Aksi mereka membuat aparat keamanan lintang pukang karena panik.

Warga Singkawang di perantauan, kerap secara khusus pulang kampung hanya untuk melihat acara ini. Seusai pawai, pengunjung memburu persembahan yang telah diberkati, mulai dari daging babi, jeruk bali, pisang, minuman keras, patung dewa dan naga hingga motor. Kadang barang-barag itu digunakan sendiri, sebagian yang tahu memanfaatkannya sebagai komoditas, melelangnya. Jeruk bali yang biasanya puluhan ribu untuk dua buah, bisa mencapai puluhan juta setelah parade tatung.

Kehadiran tatung di Singkawang bisa ditelusuri sejak abad ke-19. Ketika itu terjadi gelombang migrasi suku Tionghoa Hakka dari Yunan dan Hopo, Cina Selatan ke Kalimantan. Sebagian dipekerjakan di pertambangan emas di Monterado, sekitar 39 kilometer dari Singkawang. Tidak ada tenaga medis pada masa itu, para penambang mengandalkan tatung sebagai tabib. Ada yang dibawa dari tanah leluhur, adapula yang kerasukan roh di perkampungan. Di Monterado pula perayaan Cap Go Meh bermula 200 tahun lalu.

Asal usul budaya tatung dan Cap Go Meh berawal di Monterado, bermula dari pelarian lima panglima besar yang memberontak pada kaisar. Salah satunya Jenderal Ng Kang Sen yang kabur ke Monterado. Ia menemukan banyak penambang kesurupan, ia pun dengan ilmu gaibnya menyembuhkan mereka. Ng Kang Seng lalu meminta setiap tahun harus ada acara pembersihan roh, agar manusia tidak kesurupan.

Ia menjadikan babi sebagai media untuk dimasuki roh jahat. Saat babi menjerit meronta-ronta menjemput ajal, roh-roh jahat pun merasukinya. Setelah itu babi dipotong lalu dagingnya dimakan bersama. Setelah itu, tak ada penambang yang kerasukan lagi.

Peserta seni Tatung beratraksi dalam perayaan Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat, 5 Maret 2015. (Robertus Pudyanto/Getty Images)

Menurut kepercayaan warga Tionghoa penganut Konghucu, Tao, dan Buddha, roh-roh berasal dari kayangan. Uniknya walaupun rata-rata masyarakat Singkawang berbahasa Hakka, namun roh yang merasuki mereka berbahasa Mandarin. Para tatung memanggil roh di dalam tubuhnya dengan sebutan sifu atau suhu. Roh-roh itu diyakini sebagai dewa-dewa dalam mitologi Cina, namun adapula roh atau suhu yang tak berbahasa Mandarin, yang dianggap sebagai datuk -- makhluk kepercayaan suku Dayak.

Para warga yang menjadi tatung mengaku, pada tubuh mereka terdapat roh dengan berbagai kasta, dari jenderal hingga sarjana. Anak turun mereka juga bakal menjadi tatung, karena warisan keturunan. Mereka dihormati warga Singkawang, karena memiliki kemampuan paranormal dalam kehidupan sehari-hari.

Catatan redaksi: Dinukil dari rubrik Intermezo, Majalah TEMPO, edisi 5 maret 2012.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus