Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Danau Retba, Laut Mati Senegal yang Eksotis

Danau Retba, laut mati Senegal yang keras. Apabila UNESCO memasukkannya dalam situs warisan dunia, mungkin wisatawan bakal mampir.

24 September 2019 | 22.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemandangan Danau Retba dari ketinggian, tenang sekaligus keras, itulah kehidupan di Danau Retba. Foto: George Steimentz

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Di suatu siang yang terik di Danau Retba yang berair merah muda bak milkshake stroberi, Boubacar Keita, pemuda berotot liat memukulkan tongkotnya ke dalam air beberapa kali. Lalu, ia menyelam ke dalam danau, dan muncul dengan tubuh penuh Kristal garam, berkilauan di bawah sinar matahari Danau Retba yang liar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebanyak 11 ons mineral terkandung dalam seperempat galon air di Lac Retba, alias Lac Rose atau Danau Retba — laguna di tepi Semenanjung Cap Vert, sekitar 22 mil di timur laut ibukota Senegal, Dakar. Danau ini memiliki kandungan garam 10 kali lipat dibanding Samudra Atlantik di dekatnya – sekitar 300 meter jauhnya. Kandungan garamnya setara dengan Great Salt Lake, Danau Spencer Australia, bahkan sepupu Timur Tengah Danau Retba yang terkenal, Laut Merah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warna pink didapat Danau retba dari sejenis alga bernama dunaliella salina yang tumbuh subur di lingkungan ekstrim ini. Tanaman itu memproduksi pigmen beta-karoten, untuk memaksimalkan jumlah cahaya yang dapat diserapnya. Metabolisme alga ini menciptakan salah satu pemandangan alam paling mempesona. 

"Di sini sangat tenang, dan indah," kata Boubacar Keita, seorang penambang garam berusia 25 tahun dari Mali. Tapi bekerja menambang garam sangat melelahkan. “Saya di anak tangga terbawah di sini," ujar Keita kepada Atlas Obscura.  

Pada puncak musim kemarau, dari Januari hingga Maret, ketika matahari tengah hari berkobar-kobar tak tertahankan dan angin kencang bertiup dari Atlantik, Danau Retba tampak paling berwarna: serbat merah muda yang menakjubkan. Ketika pola cuaca dan waktu berubah, spektrum warna yang indah muncul — dari milkshake stroberi dan Pepto-Bismol ke terumbu karang, fuchsia, dan kecoklatan.

Danau Retba memikat pekerja dari seluruh Afrika Barat, untuk menambang mineral yang membentuk dasar danau. Sejak tahun 1970-an, ketika kesengsaraan ekonomi memicu pencarian aliran pendapatan baru, garam di Danau Retba dipanen sepanjang tahun. Setiap tahun danau itu — panjangnya 5 km, selebar 1,5 km, dan kedalaman 10 kaki (50 persen di antaranya adalah kerak garam yang terendam) —menampung sekitar 3.000 buruh tambang garam.

Sebagian besar bekerja untuk diri mereka sendiri. Margin laba tipis dan hasil garam rendah memang tak membuat para buruh makmur. Namun setiap tahun, danau itu menghasilkan 60.000 ton garam setiap tahun.

Para pria berotot liat menambang garam di dasar danau. Foto: David Degner

Keita, 25 tahun dari Mali, ada di antara mereka. Setiap pagi dia dan rekan-rekannya mengambil perahu kayu ke perairan merah muda untuk mencari garam. Mereka menggosok badannya dengan shea butter — yang berasal dari kacang-kacangan pohon lokal — ke kulit mereka untuk melindunginya dari efek korosif dari garam, yang dapat menyebabkan luka dan lecet.

Minyak itu cukup melindungi mereka dari panas tropis yang menghukum, yang dapat mencapai hingga 40 derajat celcius. Mereka juga menggunakan lem kuat untuk menutup luka, yang mereka peroleh sehari sebelumnya. 

Keita harus membelah danau garam asin sebelum dia bisa menyekop tumpukan garam ke perahu kayunya. Mineral itu bisa berwarna keabu-abuan ketika pertama kali diekstraksi, karena tanah liat yang terkandung di dalam garam, dan harus disaring melalui saringan raksasa. Dia biasanya mengumpulkan garam lima kapal sehari. Tapi penghasilannya sedikit. Sekitar US$ 35 yang dibayarkan untuk setiap ton garam yang dikumpulkan — pekerjaan selama seminggu.

Garam yang terkumpul menghasilkan lanskap fiksi ilmiah, dengan gundukan seperti wilayah karst Cina yang melapisi laguna dangkal. Para wanita, membantu menumpuk atau memindahkan garam dari perahu ke daratan. Mereka membawa satu ember seberat 25 kg sekaligus. Hasil kerja para wanita di daratan itu tumbuh cukup besar untuk dipanjat, menawarkan titik pandang yang bagus untuk mengamati sekeliling.

Harga garam beryodium telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir — perkembangan positif setidaknya untuk beberapa alasan. Salah satunya berkaitan dengan kesehatan: jutaan bayi di seluruh dunia, terutama di Afrika, dilahirkan setiap tahun dengan risiko kerusakan otak. Mereka kekurangan yodium.

Para wanita bertugas mengangkut garam ke pinggir danau, menumpuknya dan kemudian diangkut oleh truk-truk. Foto: Dani Salva

Danau Retba sedang dipertimbangkan untuk menjadi situs Warisan Dunia UNESCO. Jika ya, masa depan yang lebih cerah di sekitar Danau Retba. Pariwisata bisa tumbuh, bila danau laut mati ini dipromosikan dengan baik, dengan sentuhan-sentuhan yang menyenangkan wisatawan. Dan dolar lebih besar pun bisa diharap oleh para penambang garam seperti Keita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus