Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Di Pintumu Aku Mengetuk, Ya Rasul

Peziarah hanya boleh berdoa di depan pintu makam Nabi Muhammad di dalam Masjid Nabawi di Kota Madinah. Wartawan Tempo, bersama rombongan Presiden RI, berkesempatan memasuki makam itu.

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA melewati pintu besi dengan kusen warna emas, dan menginjak marmer dingin di bagian dalam makam, saya merasa mengapung. Kesadaran mendadak susut, tersedot pikiran yang terpusat pada dia yang berbaring dekat di sini: Muhammad, Dia yang Selalu Berdoa, manusia yang namanya paling sering disebut pengikutnya. Cepat saya pegang lengan seseorang di depan, lalu menenangkan diri dengan meneruskan membaca salawat.

Bagian dalam makam, yang kira-kira berukuran 15 x 12 meter, hanya diterangi sinar lampu Masjid Nabawi yang menerobos masuk lewat celah pintu dan pagar. Bagian dalam itu terbagi dua, satu bagian kosong dan satu bagian tempat Nabi bersama Abubakar dan Umar dikuburkan. Sekitar sepuluh langkah dari pintu masuk, ada satu lagi pintu kecil berpagar kawat. Presiden Yudhoyono, yang tingginya lebih dari 180 sentimeter, harus membungkuk melewatinya.

Sampailah rombongan di bagian dalam makam yang konon baru pertama kali dikunjungi pemimpin dunia dari luar Timur Tengah sejak 30 tahun lalu itu. Dari pintu kawat tadi, makam terletak di sisi kiri rombongan. Tentu rombongan tak bisa melihat langsung pusara Nabi dan dua sahabat. Sebuah tabir kain terpal hijau tebal dipasang menjuntai dari langit-langit sampai lantai, membentuk huruf L, menutupi bagian makam Umar sampai Nabi.

Terpal hijau pembatas itu penuh tulisan Allah. Saya meraba terpal itu tapi tak berani melongok ke dalam untuk melihat seperti apa bentuk pusara atau penanda makam. Ketika Menteri Agama Maftuh Basyuni mulai membaca doa, isak tangis lirih mulai terdengar. Saya setengah mati membendung air yang mulai membanjir di pelupuk mata. Ziarah dimaksudkan untuk mendoakan yang berpulang, air mata dikhawatirkan menjadi tanda sesal yang bisa membuat maksud ziarah terganggu. Tapi siapa yang sanggup bertahan bila menyadari betapa tinggi penghargaan Tuhan pada dia. Betapa mulia manusia yang kepadanya Tuhan mempercayakan Islam diturunkan ke muka bumi.

Sekarang dia berdiam di sini, sejak 1.374 tahun yang lalu. Persisnya sejak tahun 632. Pada tahun itu, di usia hampir 63, setelah melaksanakan haji untuk terakhir kali, Utusan Allah, Rasulullah itu, mengeluhkan sakit di kepala. Semakin hari semakin berat. Pada 8 Juni tahun itu, ia memaksa datang ke masjid. Abubakar, yang tengah bersama jemaah, bersyukur melihat Nabi tampak lebih sehat dari biasa. Bergegas Abubakar memberi tempat pada Nabi, tapi ia mendorong pundak Abubakar, menyuruhnya tetap duduk. Sebentar kemudian Nabi pamit pulang.

Di rumah ia sempat menerima sejumlah keluarga dekat, sambil berbaring di pangkuan Aisyah. Abubakar yang datang menjenguk lega melihatnya membaik, ia segera pamit untuk pergi ke rumah istrinya di bagian lain kota. Di saat begitulah Tuhan memanggil pulang dia. Aisyah merasakan suaminya terkulai, ia tak bisa menahan diri untuk meratap, kemudian meletakkan kepala Nabi di bantal. Dalam posisi itulah Nabi dimakamkan. Itu artinya dia hanya sejauh tiga sampai empat meter dari tempat rombongan Presiden Yudhoyono mendoakannya.

Yang menggetarkan bukan hanya kedekatan jarak dengan tempat sang Kekasih Tuhan itu dimakamkan, tapi juga karena ruang itu merupakan rumah Nabi beserta istrinya, Aisyah. Di sini terekam sebagian kisah, laku, ucapan Muhammad yang sekarang diamalkan sekian miliar pengikutnya.

Di rumah itu Aisyah bertahan setelah Nabi wafat. Ia masih tinggal di kamar yang sama, tanpa ada dinding pemisah dengan kuburan suaminya. Dua tahun kemudian wafatlah Khalifah Abubakar, pengganti Nabi Muhammad yang juga ayah Aisyah. Abubakar dimakamkan di arah punggung Nabi dengan jarak setengah meter, kepalanya lurus ke arah pundak Nabi. Sedangkan Khalifah Umar bin Khattab tewas ditusuk Abu Lu’luah di Masjid Nabawi ketika ia menjadi imam salat, 12 tahun setelah Nabi meninggal. Umar pun dikebumikan di dekat kaki Nabi. Pada saat itu, merasa Umar bukan muhrim, Aisyah membangun tembok pemisah antara makam dan kamarnya.

Sejarah menulis, Aisyah menghendaki ada empat makam di sana. Tapi ketika Khalifah Ustman bin Affan meninggal, ia tidak dimakamkan bersama Nabi. Pertimbangan pemuka Islam antara lain soal krisis yang memecah belah umat sepanjang kepemimpinannya. Aisyah juga tidak dimakamkan di dekat Nabi. Ustman, Aisyah, dan semua istri Nabi, kecuali Khadijah, dimakamkan di Baqi’, makam di sebelah Timur pelataran Masjid Nabawi.

Makam Nabi praktis tak tersentuh perubahan, kecuali pada tahun 1163 ketika Sultan Nuruddin Mahmud Zink memasang beton timah sedalam 15 meter di sekeliling fondasi bekas rumah Nabi. Sultan Nuruddin melakukan ini karena ada usaha untuk mencuri jasad Nabi Muhammad. Lebih dari 700 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1855, Sultan Mahmud II dari Kerajaan Ottoman Turki membangun kubah berbentuk topi Turki di atap makam. Kubah berlapis timah dengan cat warna hijau itu disebut Al Khadra atau Green Dome, yang sampai sekarang masih dipertahankan meski beberapa kali Masjid Nabawi mengalami renovasi.

Al Khadra mungkin satu dari 28 kubah Masjid Nabawi yang tak bisa dibuka-tutup secara elektrik. Tapi Al Khadra terasa spesial karena ia menaungi makam Nabi. Di dalam masjid, di bagian depan, makam itu ditutup dengan tiga pintu besi berwarna emas dengan ukiran kaligrafi huruf Arab pada setengah bagian atasnya. Dua pilar putih besar, yang dihiasi garis-garis tepi warna emas, memisahkan tiap pintu yang masing-masing memiliki dua bilah daun pintu. Persis di tengah tiap bilah pintu ada lubang, berdiameter sekitar 20 sentimeter. Belasan ribu muslim datang dari semua penjuru dunia, antre dalam barisan yang padat dan sesak, sekadar untuk membacakan salawat atau Fatihah, sembari melongok-longok melalui lubang kecil di pintu. Di musim haji, jumlah peziarah bisa puluhan kali lipat. Tidak seorang pun boleh berlama-lama di depan pintu yang disebut maksurah itu, tentara Kerajaan Saudi Arabia yang selalu berjaga akan menghalau barisan agar mengalir dan semua yang datang mendapat kesempatan berziarah.

lll

Maka, kesempatan memasuki makam memang langka. Sekitar sepuluh menit di dalam makam, rombongan kembali ke raudah, yang berada tepat di samping makam. Raudah, yang artinya taman surga, berukuran 15 x 22 meter, ditandai dengan tiang-tiang putih mulai makam hingga mihrab Nabi. Mihrab, bentuk setengah lingkaran di dinding, dibuat pada masa Sultan Muraad Al-Usmani pada tahun 1600 M. Di tempat itulah Nabi sering berdiri menjadi imam salat. Ketika membangun Masjid Nabawi pada tahun 622, Nabi tidak membuat mihrab, ia hanya selalu berdiri di tempat yang sama.

Mihrab itu ada di dalam raudah, tempat yang tak kenal sepi kecuali ketika Masjid Nabawi ditutup setiap usai salat isya. Peziarah biasanya berebut untuk salat di raudah, tempat yang dipercaya mustajab itu. Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Saudi, Salim Segaf Aljufri, terlihat menangis tersedu sesaat setelah rombongan kembali ke raudah. ”Saya sudah 13 tahun dinas di Timur Tengah, baru kali ini bisa masuk makam dan leluasa salat di sini,” ujar Salim sendu. Saya merapat ke dinding makam, lalu salat dua rakaat berkali-kali. Presiden Yudhoyono salat persis di depan mihrab Nabi, tempat yang sama ketika ia pertama kali masuk masjid tadi, sekitar pukul 23.30 waktu Madinah atau 03.30 waktu Indonesia barat, 29 April yang lalu.

Rombongan Ibu Ani Yudhoyono hanya diperkenankan berdoa di pagar makam, tepat di sisi yang terdekat dengan Rasulullah. Penjaga Masjid Na-bawi agaknya tidak mengizin-kan kaum perempuan masuk ke makam. Toh, itu tidak mengurangi ke-khusyukan ziarah. Anak perempuan be-kas presiden Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, utusan khusus Presiden RI, menumpahkan keharuannya di tempat itu, sampai ia perlu dirangkul oleh Marwah Daud Ibrahim, pengurus ICMI, ketika berjalan menuju pintu luar masjid.

Lampu masjid berpendar, menerpa tiang-tiang putih berornamen warna emas yang berdiri kukuh. Sepuluh menara setinggi 99 meter, yang diilhami dari 99 nama Allah, menjulang dilengkapi hiasan bulan sabit. Di bagian luar, ada sejumlah lorong wudu bawah tanah, berpendingin kuat, lengkap dengan tangga berjalan, yang kabarnya bisa dipakai sekitar 7.000 anggota jemaah sekaligus. Raja Faisal dari Saudi membuat bagian dalam masjid ini berkapasitas 250 ribu, jumlah yang hanya bisa ditandingi Masjidil Haram di Mekah. Tuhan pasti memberikan kekuatan pada pengelolanya untuk terus menjaga keelokan Masjid Nabi Muhammad SAW ini.

Satu per satu anggota rombongan Presiden keluar dari masjid, melalui pintu belakang. Makin jauh melangkah, rasa haru kian memuncak. Pintu Masjid Nabawi kembali ditutup, air mata saya menetes. Entah kapan saya bisa kembali mengunjungimu, ya Rasulullah.…

Toriq Hadad (Madinah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus