Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLA panas” itu bergulir dan ki-ni penendangnya adalah Ja-ksa Agung Abdul Rahman Saleh. Dua pekan terakhir, nasib kasus hukum bekas presiden Soeharto memang menjadi titik perhatian se-rius banyak orang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkonsultasi dengan pim-pinan lembaga-lembaga tinggi negara mem-bahas soal ini lalu keluar dengan keputusan sedingin es: mengendapkan kasus Soeharto.
Berbeda dengan bosnya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, 65 tahun, menggebrak meski antiklimaks: menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntut-an (SKPP)—sesuatu yang membuat keluarga Cendana menyatakan terima kasih kepada pemerintahan SBY.
Arman, begitu Jaksa Agung biasa di-sapa, lalu jadi bulan-bulanan. Ada yang mengatakan ia mengambil posisi untuk melindungi Susilo dari hujatan publik. Yang lain menganalisis ada perpecahan dalam tubuh pemerintah.
Tapi Abdul Rahman tak peduli. Menurut dia, Surat Ketetapan Penghentian Pe-nuntutan adalah cara terbaik mengatasi kasus ini. Ia lalu menyiapkan peluru lain: membawa Soeharto ke pengadilan perdata. ”Dalam pengadilan perdata, Soeharto tidak perlu datang ke ruang sidang,” katanya. Arman memang terbia-sa dengan suasana genting dan tak takut mengambil keputusan nyeleneh. Ke-tika menjadi Hakim Agung, ia adalah orang yang menyampaikan pendapat berb-e-da atas kasus korupsi Bulog II dengan terdakwa bekas Ketua Golkar A-kbar Tandjung.
Sebelum berkecimpung dalam dunia hukum, Arman pernah menjajal jalan hidup yang lain: menjadi wartawan dan bintang film. Filmnya Petualang-Petua-lang bahkan pernah dilarang beredar pe-merintah Orde Baru karena dianggap mengolok-olok koruptor.
Di tengah kepungan demonstran yang meruap di depan gedung Kejaksaan Agung, Rabu pekan lalu, Abdul Rahman Saleh menerima wartawan Tempo, Arif Zulkifli, Tulus Wijanarko, Wenseslaus Manggut, Cahyo Junaedy, Budi Setyarso, dan fotografer Cheppy A. Muchli-s untuk sebuah wawancara khusus. Di-temani teh hangat, Arman menjawab setiap pertanyaan dengan tangkas.
Anda mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) kasus Soeharto. Mengapa?
Ini perkara yang sudah enam tahun lama-nya. Sidang pertama kasus ini digelar 31 Agustus 2000, lalu Soeha-rto sakit. Sidang diundur 14 September 2000, tapi sakit lagi. Lalu majelis hakim memerintahkan membentuk tim dokter in-dependen. Pada 28 September 2000, dokter mengumumkan bahwa Soeharto secara fisik dan mental tidak laik di-sidang-kan.
Lalu?
Majelis hakim PN Jakarta Selatan me-netapkan penuntutan pidana atas Soeharto tidak dapat diterima. Soeharto dibebaskan dari tahanan kota dan berkas perkara pidana dikembalikan kepada Ke-jaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Kejaksaan melawan?
Mendengar penetapan itu, jaksa meng-ajukan verset atau perlawanan h-u-kum. Atas sikap jaksa itu, 8 November 2000 Pengadilan Tinggi DKI menerima ban-ding jaksa dan membatalkan penetap-an PN Jakarta Selatan dan memerintah-kan agar perkara Soeharto dibuka kem-bali.
Mendengar putusan ini pengac-ara Soe-harto mengajukan kasasi. Mah-kamah Agung, lalu memutuskan tuntutan jaksa tidak dapat diterima. Jadi, kasus ini kembali lagi ke Pengadilan Ne-geri. Ma-jelis hakim memerintahkan jaksa memberi pengobatan pada Soeharto sampai sembuh atas biaya negara. Belakangan tim dokter RSCM yang diketuai Dr Ichramsjah A. Rahman berkesimpulan fisik dan mental Soeharto tidak dapat diha-rap-kan sembuh dengan metode peng-obat-an yang ada.
Apa yang dilakukan kejaksaan?
Kejaksaan lapor ke MA. Mahkamah lalu membuat pendapat hukum yang menyatakan terdakwa tidak dapat di-sembuhkan, karenanya tidak dapat diajukan ke pengadilan.
Kepala Kejaksaan Selatan memi-nta lagi tim dokter independen diketuai Dr Akmal Taher memeriksa Soeharto. Ke-simpulannya Soeharto sakit berat dan hanya mampu menuturkan isi pikiran dengan kalimat tak lebih dari empat kata.
Jadi?
Saya masuk ke kejaksaan akhir O-kto-ber 2004. Saya bilang pada jaksa agung muda dan staf, ini salah satu wa-r-is-an yang harus kita bereskan, ka-rena ber-kalikali diajukan ke pengadilan tapi se-lalu ditolak.
Caranya?
Kejaksaan berwenang mengelua-rkan Surat Perintah Penghentian Penyi-dik-an (SP3), tapi tidak bisa dipakai ka-re-na pe-nyidikan kasus Soeharto telah se-l-esai. Pilihan lain melakukan depone-ering—mengesampingan perkara d-emi k-epentingan umum. Tapi syaratnya h-arus mendengar badan-badan negara yang lain—DPR, MPR, atau presi-den. Langkah ini sangat rumit dan po-litis. Kami carilah jalan lain. Ketemulah Pasal 140 ayat 2, yakni menghentikan penuntutan. Ini logis karena kami pernah melakukan penuntutan tapi mental terus.
Bukankah langkah itu juga bersyarat?
Syaratnya tidak cukup bukti, per-kara itu bukan tindak pindana atau per-kara ditutup demi hukum. Syarat pertama dan kedua tak bisa dipenuhi. Jadi, ya syarat ketiga yang dipakai. Memang, banyak orang bilang ditutup demi hukum itu orangnya harus meninggal. Soe-harto ini belum meninggal tapi tidak dapat dibawa ke persidangan lantaran sakit.
Dengan keputusan itu, Anda kemudian dihujat di mana-mana?
Banyak orang bilang, dengan be-g-itu Jaksa Agung mengampuni Soeharto. Ma-na ada kata pengampunan? Per-ta-nyaannya apakah ini final? Tidak, perkara itu dapat dibuka lagi. Jadi, kita tunggu dokter saja. Saya bahkan di-sebut menjadi pengacaranya Soeharto. Lho, faktanya saat Soeharto berkua-sa saya diinjak-injak. Sebelas tahun sa-ya di Lembaga Bantuan Hukum. Apa urus-annya saya membela Soeharto? Ka-lau mau dendam, saya berhak dendam.
Anda merasa dirugikan opini publik?
Perkara Soeharto selalu menjadi masalah politik karena figur Soeharto ada-lah figur politik. Kejaksaan tidak bersikap pun pasti diserang, begitu pula se-baliknya. Kita tinggal di rumah saja juga diserang oleh istri ha-ha-ha.
Saya tidak menyalahkan para pen-demo yang menolak langkah kejaksa-an. Ba-nyak orang yang tidak tahu per-sis kasus ini. Kalau boleh mengutip Chai-ril A-nwar, orang-orang itu hanya tahu s-ebagian sandiwara ini, tapi tidak tahu Ro-meo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang.
Setelah serangan bertubi-tubi itu, Anda sempat berdiskusi, misalnya, de-ngan LBH?
Tidak, tapi dengan Buyung (Adnan Buyung Nasution) saya kerap berde-bat panjang. Banyak data yang baru di-dengar Buyung.
Mengapa SKPP dikeluarkan se-ka-rang-? Karena tekanan publik?
Ini pekerjaan rumah kejaksaan. Peng-acara Soeharto, Indrianto Seno Aji, ju-ga sempat datang tahun lalu meminta d-akwaan dan cekal Soeharto dicabut. Beri-ta di koran-koran juga mempercepat ker-ja kita untuk menyelesaikan kasus Soe-harto.
Presiden SBY bilang kasus ini diendap-kan, tapi Anda mengeluarkan SKPP. Ada apa?
Presiden itu mengatur politik ketata-negaraan, saya kan hanya menyangkut kasusnya saja. SBY itu kan kepala ne-gara yang mengatur semuanya. W-ajar jika Presiden meminta pejabat ne-ga-ra kumpul di Istana soal polemik Soehar-to. Ke-tua PDI Perjuangan Megawati Soe-kar-noputri pernah bilang: ”Sudah tua begitu mau diapain lagi.” Titiek Soeharto malah pernah bilang, Jaksa Agung sila-kan datang ke rumah sakit melihat keadaan Soeharto. Sampai sekarang sa-ya belum nengok.
Putusan kejaksaan mengeluarkan SKPP dikonsultasikan pada Presiden?
Tidak. Ini sudah lama kami rencana-kan. Kami ingin memberi kepastian hukum dan bersikap adil dengan tidak menggantung kasus orang. Saya kira ini yang membedakan pemerintah sekarang dengan pemerintahan Soe-harto.
Anda seperti mengambil bola panas yang dilempar SBY?
Ini masalah hukum karena itu saya de-kati dengan teknis-teknis hukum. Wewenang saya ya cuma itu. Beda de-ngan presiden yang punya amnesti, grasi, abo-lisi, rehabilitasi.
Jika Soeharto wafat, kasus ini batal demi hukum. Mengapa Anda tidak me-nunggu itu?
Ya, tapi kan tidak fair. Jika melakukan itu nanti bakal ada lagi orang yang menyindir: ”Malaikat saja sudah tidak mencekal Soeharto, masak, kejaksaan masih mencekal?”
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya hak untuk mengambil kasus ini. Pendapat Anda?
Kalau KPK bergerak pun tidak akan diterima oleh pengadilan jika tidak mem-bawa surat sehat dari tim kedok-ter-an. Syaratnya kan surat sehat itu. Anda bayangkan ada orang yang tidak bisa mengerti lebih dari empat kata. Peng-adilan pidana itu kan cross examination. Jaksa nanya, langsung di-potong peng-acara, begitu pun se-balik-nya. La-lu jika terdakwanya dita-nya, bagaimana ia bisa men-jawab?
Anda percaya dengan kre-dibilitas dokter pemeriksa Soeharto?
Sangat yakin. Ini do-kter-dokter hebat. Banyak orang yang meragukan kemam-puan dokter ini. Mereka b-i-lang dokter-dokter ini t-idak jujur, bodoh. Tapi apa yang t-idak diragukan di ne-ge-ri ini? Se-mua orang dianggap tidak beres di sini. Kalau saya, menganggap se-mua orang baik sampai dibukti-kan di depan hukum se-baliknya.
Kalau memakai rasa keadilan publik, bukankah le-bih baik mengadili daripada tidak mengadili Soeharto?
Setuju. Tapi untuk meng-adili bagaimana caranya? Kan saya tidak bisa membawa Soeharto ujug-ujug ke pengadilan.
Anda terkesan mencari jalan untuk tidak mengadili Soeharto, bukan mencari jalan untuk mengadilinya?
Ya, tapi mencari jalan untuk mengadili kan harus ada perangkat hukumnya. Ada yang mengusulkan peng-adil-an in absentia. Ini tidak bisa karena orangnya tidak melarikan diri.
Bagaimana kalau dimulai dari peng-adilan terhadap orang-orang dekat Soeharto?
Sekarang ini kan Soeharto itu terdakwa tunggal. Tapi ini tidak menutup kemungkinan kalau nanti mau dibuka-buka (yang lain). Yang pasti, kasus perdatanya akan kami teruskan. Saya mau cek itu keuangan yayasan-yayasan yang jumlahnya tujuh atau delapan. Kalau mereka bilang sudah diserahkan ke-pa-da negara, bagaimana bentuk penyerahannya? Siapa yang mengelola sekarang? Berapa jumlah aset? Ini akan terus ka-mi selidiki. Tadi saya sudah bicarakan pada jaksa agung muda, adakah bu-kti penye-rahan pada negara? Siapa yang menerima penyerahan itu? Hingga kini tidak jelas. Dokumen-dokumen ini masih belum lengkap.
Berapa total aset yayasan Soeharto dalam dakwaan kejaksaan?
Dalam dakwaan yang diajukan ke pengadilan hampir US$ 420 juta di-tam-bah Rp 1,4 triliun. Soeharto ke-rap meminta yayasan-yayasan itu untuk men-cairkan dana untuk diserahkan begitu saja ke sejumlah perusahaan seperti PT Kiani Lestari, Bank Duta, Sempati.
Langkah perdata itu bisa berjalan mes-ki Soeharto sakit?
Kita akan terobos itu. Dalam perda-ta tidak perlu orangnya datang. Jadi, be-da dengan pidana. Implikasinya me-mang berbeda, perdata tidak ada hukum-an badan.
Kesalahan Soeharto tetap akan di-bedah dalam sidang perdata?
Iya jelas. Dalam dakwaan itu kami akan jelaskan bahwa Soeharto telah me-la-kukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Misalnya ia memerintahkan u-ntuk mengeluarkan dana yayasan un-tuk ke-pentingan pribadi. Selain itu, perdata j-u-ga bisa didakwakan kepada ahli waris.
Ahli waris? Bukannya pengurus ya-ya-san yang lain?
Bisa juga. Perdata itu tidak memba-tasi. Yang tidak bisa dalam perdata itu mi-salnya saya minta orang untuk melukis saya. Baru selesai lukisan kepala, orang itu lalu meninggal. Saya tidak bisa menuntut ahli warisnya karena itu menuntut keahlian khusus.
Langkah perdata ini Anda ambil untuk meredam serangan publik?
Saya tidak bersiasat untuk redam-meredam.
Kapan kasus perdata akan digulirkan?
Kami sedang bicarakan. Lebih cepat lebih bagus. Tim ini akan di bawah (koordinasi) Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Sejauh ini bagaimana kondisi yaya-san-yayasan Soeharto?
Saya minta staf saya untuk men-cari tahu kondisi yayasan. Tadinya kita fo-kus pada perkara pidana Soeharto. Tapi karena terganjal soal kesehatan jadi kami switch.
Dapatkah membuka kasus Soe-harto lain di luar soal yayasan, misalnya pe-langgaran hak asasi manusia?
Saya kira bisa. Tapi jika melibatkan Soeharto pasti mentok lagi karena alas-an kesehatan.
Dalam sejarahnya, setiap Jaksa Agung punya tonggak dalam penanganan kroni Cendana—menangkap Tommy Soehar-to, Beddu Amang, Bob Hasan. Anda sen-diri?
Target saya bukan tonggak, tapi menyelesaikan kasus yang ada di depan.
Soeharto dipercaya masih punya ba-nyak uang dan pengaruh. Ada terpe-ngaruh?
Tidaklah. Apa urusannya dengan say-a?
Presiden SBY dalam pemerintahan Gus Dur sempat menjadi tim negosiasi dengan keluarga Cendana. Inikah yang melemahkan sikap pemerintah terhadap Soeharto?
Saya tidak tahu. Yang pasti keputus-an saya ini tidak ada kaitannya dengan apa pun.
Kabarnya, Anda sempat didekati ke-ra-bat Cendana. Betulkah bekas Menteri kehakiman Ismail Saleh sempat me-nemui Anda?
Tidak. Mungkin dia datang, tapi saya tidak ada.
Keluarga Soeharto lainnya?
Tidak ada. Malahan saya sempat du-duk semeja dengan Titiek Soeharto da-lam sebuah pesta perkawinan, tapi dia tidak nanya tuh.
Ini soal lain, Anda merasa didukung pem-bantu-pembantu Anda di sini?
Ya. Mereka kan orang-orang yang telah puluhan tahun berkarier di sini.
Banyak yang bilang Kejaksaan Agung tak aman. Rumor ancaman santet terhadap Jaksa Agung dan pembantunya selalu terdengar. Anda sendiri kabarnya selalu bawa makanan dari rumah?
Itu bukan karena alasan keamanan.
Seorang Jaksa Agung sebelum Anda bahkan membawa kursi sendiri dari ru-mah karena takut disantet?
Ya, katanya panas. Pertama saya du-duk di sini memang sedikit panas. Tapi dalam hati saya senyum. Wah, ini orang nggak tahu bahwa saya ini orang Pekalongan. Langsung saya keluarin jampi-jampi, saya oles di bangku langsung hilang ha-ha-ha.
Abdul Rahman Saleh Lahir: Pekalongan, 1 April 1941 Pendidikan:
Karier:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo