"HOW sick, sick, sick I am of Dublin. It is a city of failure, of rancour and unhappiness. I long to be out of it." (James Joyce)
Langit masih terang pucat menyiram Dublin. Waktu menunjuk pukul delapan malam ketika saya melangkah masuk Trinity College, kampus tertua di Irlandia. Saya berniat menyaksikan pertunjukan tari India di Samuel Beckett Theatre, gedung teater kecil yang berada di kompleks Trinity. Meski memakai nama besar Beckett, pencipta lakon legendaris Waiting for Godot dan tokoh penting teater absurd, gedung ini sangat sederhana. Ia lebih menyerupai gudang. Beckett memang lebih cocok dengan kesederhanaan.
Sebelum pertunjukan, aku mengelilingi kampus sekaligus menghirup udara Dublin, kota yang melahirkan sastrawan-sastrawan besar dunia seperti George Bernard Shaw, James Joyce, Samuel Beckett, dan Oscar Wilde itu. Sebuah lonceng besar menggantung di sebuah menara berongga di bawahnya. Seorang kawan dari Swedia berkisah, konon lonceng itu akan berdentang sendiri jika seorang perawan melewatinya. Saya tak tahu apakah lonceng itu jadi terlalu sering menganggur, atau setiap menit sibuk berdentang mengumumkan suci.
Hari kedua, dari Hotel Ormond Quay tempatku menginap, saya menyusuri Liffey River, sungai yang membelah Dublin menjadi dua bagian, yakni utara dan selatan. Syahdan, bagian selatan adalah bagian yang lebih elite dari bagian utara sungai. Setelah melewati gedung tua Bank of Ireland di Dame Street, kulihat gerbang utama Trinity College yang terletak di sudut pertemuan Jalan College Green dan Westmoreland. Di dalam kampus, saya menuju gedung perpustakaan lama, tempat Book of Kells tersimpan. Dengan tiket seharga ¤ 7,5 (Rp 82.125 pada kurs 1 euro = Rp 10.950), aku menelusuri ruangan tempat tersimpannya buku bersejarah ini.
Sayang, seperti lazimnya di tempat-tempat yang menyimpan benda bersejarah, pemotretan dilarang keras. Book of Kells diproduksi biarawan Celtic pada sekitar 800 AD, yang berisi empat gospel Injil berbahasa Latin. Buku ini dihiasi sejumlah ilustrasi dan dekorasi yang berwarna dan bercahaya. Di dalamnya terdapat 339 vellum (naskah yang ditulis pada kulit binatang) folio, dengan ukuran 330 x 250 mm. Nama Kells berasal dari Abbey of Kells, di County Meath, Irlandia, tempat buku ini disimpan selama periode abad pertengahan hingga 1541. Sejak 1661, Buku Kells disimpan di Trinity College, Dublin, dan ditampilkan untuk umum di ruang perpustakaan lama sejak abad ke-19. Kini, ruang perpustakaan lama ditempatkan di lantai dua.
Lorong-lorong panjang itu menyajikan suatu aroma perpustakaan Eropa: buku-buku dan patung kepala tokoh-tokoh peradaban Eropa, dari John Locke hingga Voltaire. Dulu, ruangan ini dijuluki Long Room. Pikiran saya malah melayang pada film Star Wars Episode II: Attack of the Clones, yang terinspirasi ruangan ini saat membangun ruang Jedi Archives
Di ruangan ini juga tersimpan arsip sejarah Trinity. Didirikan oleh Elizabeth I pada 1592, kampus tertua di Irlandia ini memiliki enam fakultas. Awalnya, universitas ini khusus untuk kelas elite Protestan di Dublin. Warga Katolik Roma baru diizinkan masuk pada 1793, meski harus memperoleh izin dari Uskup Dublin. Pada 1873, seluruh tes religius itu dihapus. Kaum perempuan baru diterima di Trinity pada 1904, sedangkan pengajar perempuan pertama diangkat pada 1934.
Mumpung masih di bagian selatan dari Trinity College, kusempatkan menjelajahi St. Stephen Park. Sebagai warga Jakarta yang tak memiliki taman kota, aku hampir histeris menyaksikan keindahan taman ini. Pada musim semi bulan Mei itu, hampir semua tanaman berbunga, bebek-bebek tampak berenang di kolam, beberapa lelaki terlihat bertelanjang dada berjemur di rerumputan. Padahal saya—warga Jakarta—lumayan menggigil kedinginan di bawah suhu 7 derajat Celsius.
Dari taman, aku memutuskan mengunjungi James Joyce Centre yang terletak di bagian utara. Sebelum menyeberangi Liffey River, aku sempatkan melewati Grafton Street, jalan penuh pertokoan menyerupai Pasar Baru. Para seniman jalanan beraksi. Ada yang melabur seluruh tubuhnya menyerupai patung. Mereka baru bergerak ketika orang melemparkan koin di depan mereka.
Dengan tiket ¤ 5 (sekitar Rp 55 ribu), kumasuki bangunan bergaya Georgian dari abad ke-18 ini. Di dalamnya dipajang karya-karya Joyce, terjemahan dan kritik. Ada satu lagi tempat James Joyce, yakni James Joyce Tower di Sandycove, sekitar setengah jam dari Dublin dengan kereta. Di tempat itulah Joyce menulis bagian pertama Ulysses (1922), sebuah karya mahadahsyat yang belum tertandingi.
Kuhabiskan sisa hari itu dengan melakukan napak tilas ke tempat-tempat bersejarah para sastrawan Irlandia. Dari James Joyce Centre, tempat terdekat adalah Dublin Writer's Museum di Parnell Square North. Di dalam, aku melihat karya-karya Jonathan Swift, Sheridan, Bernard Shaw, Oscar Wilde, Yeats, dan Joyce. Selain tempat pajang buku, foto, dan surat, museum yang dibuka pada 1991 ini juga menyediakan ruang khusus untuk sastra anak-anak.
Masih di Parnell, aku singgah di National Wax Museum, museum patung lilin para sastrawan Irlandia. Lantas aku menuju Eccles Street, tempat yang dijadikan rumah Leopold Bloom, tokoh dalam novel Ulysses. Masih di wilayah utara, saya tiba di Mountjoy Square, yang pernah menjadi tempat kediaman beberapa penulis karena lebih murah ketimbang bagian selatan. Sean O'Casey, yang pernah tinggal di rumah nomor 35, menggunakan area ini sebagai setting kisahnya, Shadow of a Gunman.
Dari Mountjoy, aku berniat kembali ke Ormond Quay. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam, meski Dublin masih terang-benderang. Aku memilih melewati Abbey Street, tempat Abbey Theatre, sebuah teater yang sering melahirkan berbagai produksi drama terkemuka.
Gedung ini dibuka pada 1904 di bawah bantuan Lady Gregory dan W.B. Yeats. Salah satu produksi bersejarah adalah Playboy of the Western World karya John Millington Synge. Lakon ini menyebabkan keributan di antara penonton karena menggambarkan seorang pembunuh keluarganya sendiri. Abbey terbakar habis pada 1951 dan dibangun kembali dengan bentuk arsitektur yang lebih modern.
Malam ini, tiba sudah saat untuk ber-"dugem" alias dunia gemerlap di Temple Bar, sebuah area luas yang sudah mengalami program regenerasi menjadi rumah kegiatan seni dan budaya kontemporer berikut pub dan bar, antara lain The Kitchen milik kelompok band terkemuka, U2.
Di kawasan ini, rasa cinta orang Irlandia terhadap musik terpancar. Cukup banyak seniman mengamen dadakan. Hebatnya, para pejalan kaki tak segan berhenti dan ikut bernyanyi. Malam itu, Dublin mencurahkan rasa dingin.
Namun, toh begitu banyak gadis setempat berpakaian minim. Antrean panjang terlihat di pintu-pintu bar. Ternyata mereka merokok. Maklum, sudah beberapa tahun ini Dublin menerapkan larangan merokok di berbagai tempat.
Sambil menggigil kedinginan, aku memandangi gadis-gadis berok mini dengan hiasan tanduk iblis di kepala mereka. Beberapa di antara mereka tampak dipapah karena mabuk berat. Aku tak lagi heran, karena tadi pagi aku mendapati seorang lelaki tertidur di trotoar depan hotel karena mabuk. Melihat semua pemandangan ini, teringat kata-kata Joyce saat memilih Dublin sebagai setting kumpulan cerpennya, Dubliners: "because that city seemed to me the centre of paralysis." Inilah sebuah paradoks dari kota yang telah memunculkan para sastrawan terkenal dunia.
F. Dewi Ria Utari (Dublin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini