KETIKA lengkingan peluit terdengar dua kali berturut-turut burung itu pun muncul dengan gagahnya. Kepalanya sedikit menengadah. Indah dipandang, apalagi kalau sayapnya sedang terbentang. Tapi ini termasuk burung yang ganas. Burung falcon itu -- sebangsa elang -- namanya Black Vulture. Dia, bersama lima belas ekor burung buas lainnya, kini menghuni Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Bogor. Bukan dipajang seperti di kebun binatang, burung-burung buas ini menjadi bagian dari atraksi di TSI. Ahad pekan lalu, memang baru Si Hering Hitam itu yang didemonstrasikan. "Ini atraksi pertama di Asia Tenggara," kata Frans Manangsang, Direktur Sirkus TSI, dengan nada bangga. Burung-burung itu sebelas di antaranya diterbangkan dari African Lion Safari, Kanada. Mereka dikawal dua pelatihnya, suami-istri James Dailly dan Carol. Empat yang lain jenis rajawali lokal. Dalam daftar atraksi yang akan disuguhkan, burung itu bisa menyambar topi atau uang kertas yang dipegang penonton. Kepintaran lainnya, mereka mampu memburu dan menyergap mangsa yang sedang terbang, yaitu burung-burung kecil. Tapi kebolehan yang satu ini masih dipertimbangkan apa layak dipergelarkan atau tidak. "Khawatir dianggap pertunjukan buas," ucap Frans kepada Riza Sofyat dari TEMPO. Akan dicari akal dengan melemparkan sesuatu benda ke udara, dan itulah yang disergap sang burung. Kecuali Black Vulture, burung-burung lain memang belum beraksi. "Karena masih harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru," kata Carol Dailly. Adaptasi itu tak akan lama, menjelang libur Tahun Baru ini burung-burung itu sudah siap menghibur pengunjung TSI. Pelatih dari Kanada ini juga sedang menurunkan ilmunya kepada tiga pawang pribumi yang biasa berurusan dengan burung di TSI. Dan, kata Carol, itu tidak sulit. "Pada prinsipnya, burung-burung itu mudah dikendalikan, asal pelatihnya memiliki kasih sayang," kata cewek berusia 24 tahun ini. Carol dan James memang sangat lengket dengan Black Vulture. Maklum, mereka mengasuhnya sejak lahir. Di tangan Carol, yang selalu siap dengan umpan seekor anak ayam, Black tampak jinak dan sangat manja. Apa pun yang diperintahkan, dengan suara peluit, burung itu melakukan tugasnya. Setiap harinya burung berusia tujuh bulan ini menghabiskan 15 ekor anak ayam. Keempat belas rekannya juga rata-rata menghabiskan anak ayam lebih dari sepuluh untuk tiap burung. Menurut Frans, khusus untuk makanan burung saja, TSI mengalokasikan dana Rp 25 ribu setiap hari. Tak begitu besar bila dibandingkan dengan total biaya yang dikeluarkan untuk santapan binatang penghuni TSI, yang rata-rata menghabiskan Rp 2 juta setiap hari. Seperti layaknya hewan peliharaan, kumpulan burung dengan rentang sayap rata-rata satu meter ini juga disediakan tempat berteduh. Tapi tidak dalam sangkar khusus. Setiap burung cukup diikat di sebuah tonjolan kayu setinggi setengah meter di ruangan seluas 20 meter persegi. Letaknya tak jauh dari tempat burung-burung itu menunjukkan kepintarannya di sebuah arena dengan kapasitas 500 orang. "Tadinya, lokasi ini untuk pertunjukan singa laut," ujar Frans lagi. "Tapi sekarang untuk atraksi burung." Burung-burung impor itu ternyata tidak dibeli, karena sangat mahal. Menurut Frans, harga seekor burung yang sudah dilatih bisa mencapai Rp 4 juta. Karena itu, ditempuhlah cara barter. "Kami hanya mengganti biaya angkutan dan ongkos perjalanan kedua pelatih, yang jumlahnya sekitar Rp 17 juta," kata Frans. Hanya soalnya, sampai saat ini belum jelas benar, binatang apa yang akan dikirim ke taman safari di Kanada itu sebagai gantinya. Sedang dipertimbangkan gajah, badak, atau komodo. "Kami masih menunggu lampu hijau dari Menteri Kehutanan." tambah lelaki asal Manado ini. Kelebihan burung-burung berparuh tajam itu tak hanya di arena pertunjukan. Jenis falcon, misalnya, bisa dimanfaatKan untuk mengusir kawanan burung yang sering berseliweran di lapangan terbang. Dia mampu memburu burung-burung pengganggu bandara itu dengan kecepatan 100 kilometer per jam. "Di Kanada sudah biasa digunakan di berbagai lapangan terbang," kata Tony Sumampou, Kepala Bagian Binatang-Binatang Buas TSI. Karena itu, bila memang dibutuhkan, tidak tertutup kemungkinan TSI menjalin kerja sama dengan Bandara Soekarno-Hatta, misalnya. "Tapi itu rencana jangka panjang," tuturnya lagi. Dengan munculnya "elang raksasa" dari Kanada ini, semakin bertambahlah jenis pertunjukan yang ada di TSI. Hingga saat ini, taman margasatwa seluas 55 hektar yang letaknya 80 kilometer sebelah selatan Jakarta itu sudah memiliki 50 jenis hewan dengan 700 ekor binatang. Dengan harga tanda masuk Rp 2.500 per orang, pengunjung bisa menikmati seluruh wahana di TSI, dan kini termasuk menonton Twany Eagle, Harris Hawk, European Eagle Owl, Lanner Falcon, dan Black Vulture -- itulah nama-nama burung yang buas tadi. Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini