Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Festival Petik Kopi, Mengangkat Kopi dan Wisata Banyuwangi

Festival Petik Kopi meneguhkan Banyuwangi destinasi dan penghasil kopi. Kabupaten itu juga memiliki tradisi minum kopi yang kuat.

19 Agustus 2019 | 17.25 WIB

Kopi osing dibuat dari kopi arabika yang tumbuh di Banyuwangi. Foto: @hadisuw_
Perbesar
Kopi osing dibuat dari kopi arabika yang tumbuh di Banyuwangi. Foto: @hadisuw_

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Fastival Petik Kopi yang dihelat di kawasan Sumbergedor, Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, pada Minggu (18/8). Festival ini, turut mengenalkan kopi-kopi terbaik yang berasal dari Banyuwangi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lokasi Festival Petik Kopi di kawasan perbukitan yang sejuk, turut menambah kenikmatan kopi-kopi yang disajikan kepada wisatawan. Festival kopi Gombengsari yang biasanya digelar di lingkungan Lerek, tahun ini dipindahkan ke Sumbergedor. Dengan pemindahan lokasi ini, wisata Sumbergedor juga terangkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sumber mata air Sumbergedor memasok 80 persen kebutuhan air bersih Banyuwangi. Sumber air ini telah dikenal sejak zaman kolonial. Belanda bahkan membangun tempat penyimpanan air sejak 1927. Saat ini, kawasan seluas 12 hektar tersebut dikelola oleh PDAM Banyuwangi. 

Festival yang dihadiri ratusan pengunjung ini berlangsung meriah. Para pengunjung menyaksikan proses pengolahan kopi tradisional secara manual. Mulai dari memetik, memilih biji kopi, hingga memisahkan biji kopi dengan kulitnya, dan roasting manual dengan wajan tanah liat.

Wisatawan asing yang datang bisa menyaksikan langsung bagaimana budaya kopi di Banyuwangi. Dan menghargai komoditas kopi memang mahal di luar negeri karena prosesnya yang rumit. Festival ini juga mengangkat kopi Kemiren, kopi yang diolah di kampung adat Kemiren.

Kopi Kemiren

Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, ditinggali warga Suku Oseng. Mereka memiliki tradisi menyuguhkan kopi kepada para tamu. Uniknya, warga desa menggunakan cangkir yang bentuk dan coraknya nyaris seragam, “Cangkir itu dimiliki dari generasi ke generasi,” ujar Bupati Abdullah Azwar Anas.

Di Desa Kemiren, pengolahan kopi Kemiren dari mulai memetik, roasting, hingga diseduh terdapat di Sanggar Genjah Arum milik Iwan Subekti, pengusaha dan peracik kopi di Desa Kemiren. Sebagai tester kopi, Iwan berhasil menyajikan racikan kopi Kemiren yang ia namai Kopai Osing. Uniknya, Sanggar Genjah Arum menerapkan eco-tourism dengan melibatkan warga, mulai dari wisata memetik kopi, menjemur, roaster, dan diseduh. Mereka bermain musik hingga menyediakan kudapan pendamping kopi.

Selain Kopai Osing, Kemiren desa adat Osing itu memiliki kopi Jaran Goyang. Disebut jaran goyang, karena seperti ilmu jaran goyang yang mampu membuat seseorang jatuh cinta. Artinya, sekali menyeruput, Anda akan terkenang rasanya dan jatuh cinta pada kopi Kemiren ini. Kopi Kemiren umumnya berjenis arabika yang ditanam di ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut, dan diuapi air laut perairan banyuwangi, membuat kopi Banyuwangi rasanya unik.

Budaya minum kopi sangat kuat di Kampung Adat Kemiren. Kopi jadi minuman segala usia. Foto: @kangedai

Aturan baku agar kopi Banyuwangi kian nikmat adalah dengan menggunakan air mendidih dengan suhu 100 derajat celsius. Air dituangkan seperempat cangkir, lalu diaduk pelan agar aroma kopi terperangkap. Lalu tambahkan air panas berikutnya. Gunakan pengaduk dari kayu, agar aroma kopi kian menguat.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus