GADIS-GADIS cantik, dengan rambut tergerai dan tubuh semampai, hanya ber-kemben (lilitan kain sebatas dada), meliuk-liuk menari. Beberapa pemuda bertelanjang dada, masuk pula ke arena, memarakkan suasana. Inilah satu babak dari acara Gempita Swara Maharddhika, di Balai Sidang 15-16 Juli lalu. Memang campur aduk: banyak gerak modern, sementara bau-bau tradisional juga meruak. Dan, yang tak kalah penting, semuanya berlangsung dalam suasana riang. Bahkan Manuk Dadali, nyanyian dari kampung itu, disuarakan, sekaligus ditarikan, semarak dan enak. Di luar itu, secara umum seluruhnya berlangsung gegap gempita bersama barisan pendukung yang tak kurang dari 130-an orang remaja. Panggung, yang didominasi warna putih, didandani dengan hiasan latar belakang gedung pencakar langit -- mengingatkan pada Empire State Building di New York. Di bagian lain ada patung Brahma, Wishnu, dan Syiwa dengan stilisasi seperti di candi-candi. Di pinggir kiri kanan bagian depan, bertengger dua patung banteng berwarna keemasan berhadap-hadapan. Ini memang bukan kampanye PDI. Sebagai penanggung jawab tertinggi acara, Guruh, 34 tahun, menjelaskan, "Banteng adalah lambang semangat rakyat. Sekaligus kami mau kasih unjuk, banteng bukan milik golongan tertentu saja. Tapi milik seluruh rakyat Indonesia." Dipergelarkan tiga kali sehari, masing-masing dua jam tanpa jeda, riuh rendah keceriaan anak-anak Swara Maharddhika (SM) ini boleh dibilang bukan merupakan pertunjukan karya seni. Dan tampaknya tak perlu disimak dengan ukuran penilaian seperti melihat sebuah teater atau sendratari yang utuh. Sebab, ini lebih terasa sebagai kegiatan kumpul-kumpul yang diorganisasikan dengan pesona variety show. Bahkan, ada peragaan busana hasil rancangan Guruh sendiri, sebagai kampanye pemakaian kebaya untuk sehari-hari. "Hanya tontonan," tutur Guruh sendiri kepada Sidartha dari TEMPO. Dibuka dengan mars Gempita Swara Maharddhika, pertunjukan ini pada dasarnya sebuah paket yang dirancang untuk memperingati ulang tahun ke-10 SM. Dan, alhamdulillah, bisa laku pula dijual dengan harga karcis Rp 15 ribu, Rp 25 ribu, dan VIP Rp 50 ribu. Penonton, tentu, sebagian besar terdiri dari muda-mudi kembang metropolitan, dan mereka datang dengan mobil-mobil bagus milik orangtuanya -- dua hari itu memenuhi Balai Sidang. Seperti yang sudah-sudah. Mereka yang pernah melihat pergelaran-pergelaran sebelumnya bisa menikmati kembali suguhan yang sama seperti dulu, dengan perubahan tata gerak dan perlengkapan, tentunya. Misalnya Anak Jalanan, yang tetap dibawakan Ahmad Albar. Untuk lagu dengan cerita anak-anak metropolitan yang frustrasi akibat kelengahan orangtua mereka ini, dulu, awal 1979, Albar naik panggung mengendarai sepeda motor trail -- karena mode saat itu begitu. Kini, ia ganti bersepeda motor dengan cc besar, yang belakangan mulai digandrungi banyak orang. Seluruhnya menyuguhkan 15 nomor tarian, dan nyanyian. Manuk Dadali, yang tadi disebut, termasuk nomor baru. Sepuluh tahun SM, pas 27 Maret lalu, bisa merupakan daya tarik sendiri bagi banyak orang untuk melihat sampai sejauh mana perkembangan wadah kegiatan kesenian dan sosial anak-anak muda ini. Sudah menjadi kenyataan, setiap pergelarannya selalu menyedot penonton. Beberapa di antaranya ada tokoh nasional, seperti Ketua Umum PDI Soerjadi dan Roeslan Abdulgani. Ya, siapa yang tak kenal Guruh, anak Bung Karno yang mengejewantahkan obsesi cinta tanah air dengan caranya sendiri. Ia, lewat SM, berhasil merangkul ratusan remaja untuk jadi pemikul gagasan-gagasannya. Patriotisme baginya bisa berwajah ceria, gemerlapan, energetik, total, dan perlu biaya besar (Rp 350 juta). Pokoknya, khas anak kota, deh. Itu hak dia. Dan tampaknya justru dengan cara itu pula Guruh merangkul para remaja, dalam satu barisan. Sebagian alumni sempat menonjol di bidangnya, seperti Marissa Haque. Ada pula yang masuk Akabri. Semua itu, boleh saja, tak lepas dari pengaruh karisma Sang Bapak. Namun, sebagai pencipta lagu, Guruh sudah lama diperhitungkan. Tampil ke permukaan mula-mula lewat Renjana, pemenang pada Festival Lagu Populer Indonesia 1975, ia dipuji pula lewat Guruh -- Gipsy (bekerja sama dengan Keenan Nasution dkk.) yang bereksperimen memadukan musik Bali dengan pop ekspresi baru. Sempat tiga tahun menekuni bidang arkeologi di Universitas Amsterdam, Negeri Belanda, Guruh pernah pula belajar bedoyo pada Laksminto Rukmi dan tari Bali pada Agung Mandra, I Wayan Diya, dan Kompyang. Bahwa kemudian pergelaranpergelarannya menjadi enteng, hiruk pikuk sebagai tontonan, itu sudah pula diniatinya. Orientasinya, hmmm, memang ke kota-kota internasional. "Yang saya utamakan adalah hiburannya," kata Guruh Sukarno Putra. Delapan tahun lalu, ia pernah mengatakan pada TEMPO, seperti ini, "Sejak kecil saya memang sudah memimpikan membuat pertunjukan seperti di Broadway, Lido dan Moulin Rouge di Prancis, atau Opera Peking." Mohamad Cholid, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini