ADA dua pameran biennale (dua tahunan) diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pertama, ada Biennale DKJ Seni Lukis Indonesia, dengan peserta para pelukis yang disebut "senior", yaitu yang berumur 35 tahun ke atas. Di samping pameran, biennale ini merupakan kompetisi berhadiah. Kedua, Biennale DKJ Pelukis Muda Indonesia, bagi para "yunior", yaitu pelukis berusia di bawah 35 tahun, bukan kompetisi. Itulah yang diterangkan Komite Seni Rupa DKI dalam katalog pameran Biennale VI 1985. Dan, di Taman Ismail Marzuki, 13-31 Juli, sekarang berlangsung Biennale VII DKJ. Biennale yang mana? Kali ini Pameran dan Kompetisi Seni Lukis Indonesia. Jadi berdasarkan keterangan di atas: biennale para pelukis senior. Tetapi dari semua peserta, lebih dari perempatnya berumur di bawah 35 tahun. Tak ada penjelasan dalam katalog tentang perubahan kebijaksanaan biennale. Percakapan dengan Ketua Komite Seni Rupa DKJ, Arsono, malah memberi gambaran bahwa tak terjadi perubahan apa-apa dalam hal kebijaksanaan termasuk seleksi peserta. Sebab, penggemar seni lukis yang berharap mengunjungi sebuah pameran bersuasana pesta -- besar dan ramai oleh banyaknya peserta -- kali ini kecewa. Ia hanya berhadapan dengan pameran karya 26 plukis. Seperti sebuah pameran biasa, yang kemunculannya tak istimewa, tidak perlu ditunggu-tunggu dua tahun sekali. Arsono bicara tentang tambahan tekanan. Di samping mutu, katanya, kali ini ditekankan keragaman. Tak diundang satu pasukan pelukis yang karyanya satu corak. Diutamakan pelukis-pelukis yang corak pekerjaannya berlain-lainan. Keragaman geografis ini dipertimbangkan. Tidak melulu tempat yang sudah "klasik: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Disertakan juga pelukis dari Medan, Ujungpandang, Denpasar, dan Jember. Tetapi, memang sukar didapatkan corak ragam yang amat kaya dari 26 pelukis saja. Apalagi seni lukis kita memang kekurangan dinamika kendati sifatnya yang kelas sosial menengah, terpelajar, dan kota, dan kendati arus informasi deras dari luar. Dalam pameran ini, seni lukis abstrak nonfiguratif (tidak menggambarkan sosok obyek nyata apa pun) yang berkembang di negeri kita sejak sekitar seperempat abad yang lalu tampak susut dan miskin, karena hanya diwakili oleh tiga orang pelukis. Jika lukisan yang mengandalkan tenaga (olesan kuat, cepat, tak beraturan) dalam pameran ini kurang memuaskan Anda, itu karena ukuran yang relatif kecil tak memungkinkan pewujudan maksimal potensi seni lukis jenis ini (Lian Sahar, Machzum Siregar), Anda dapat pergi ke lukisan abstrak nonfiguratif yang sebaliknya. Keketatan geometri, keberaturan, warna cemerlang disapukan rata, tampak pada karya Handrio (Lukisan I dan Lkisan II). "Konstruksinya" dan gubahannya cermat dan padu. Salah satu karyanya diperkaya dengan kerancuan optis: bidang yang dilihat dengan suatu cara tampak tampil ke depan, dengan cara lain tampak surut ke belakang. Buah tangan Jatimayu nyaris nonfiguratif juga, tak beraturan, dengan sosok-sosok tidak tegas, tanpa garis kuat, barik (tekstur) kaya. Mata kita ditambat pada bidang yang permukaannya kaya, dan tidak meluncur mengikuti garis. Namun, orang dapat menyidik sosok rumah dalam salah satu lukisannya, dan judul menyingkapkan maksud yang figuratif (Pemandangan Bukit Kapur, dan Jalan Lembek). Lalu, sederet rupaan dekoratif: Widayat, Mulyadi, Made Wianta, Sukamto, Sarnadi Adam, dan Hening Swasono. Ini lebih beragam. Sarnadi dan Sukamto mengambil ilham dari kehidupan sosial sekeliling. Demikian pula Mulyadi. Tetapi ia tahu membuat paduan yang mempersegar pandangan. Topeng Gareng tampak aneh karena sosok anak yang duduk seenaknya di tanah, muka bertopeng badut (Gareng), dan latar belakang menyerupai kain batik dengan motif tumbuhan dan berbagai hewan: gajah, harimau, buaya, kelinci kura-kura, kodok, dan lain-lain. Made Wianta barangkali boleh disebut "pelukis akrab", dalam arti lukisannya harus dilihat dalam jarak amat dekat agar sosok kecil yang banyak itu kelihatan cukup jelas. Sosok ini tak tegas apa menyerupai cacing, ular, atau akar -- yang jelas hanya bentuknya dari kawasan biologi. Dari jarak yang lazim untuk melihat lukisan, mereka dapat dilihat sebagai barik pada permukaan latar. Di depan latar ini, tampak sosok-sosok besar: menyerupai mata (Mata Ketiga) atau, secara tak tegas, menyerupai bunga (Menuju Arah). Kita memasuki seni lukis dekoratif yang berfaal menggugah asosiasi dan perasaan, rancu, dan tldak sederhana saja menggambarkan dan "menghias". Widayat adalah salah seorang biangnya. Dengan catatan tambahan: pada dia kerap kali tampak asosiasi kepada kepurbaan atau keprimitifan (Seribu Topeng). Kepurbaan ini juga digugah oleh Hening Swasono (28 tahun). Ia memamerkan lempeng segitiga putih dan lempeng bundar cokelat keokeran, retak-retak seperti dimakan zaman. Permukaannya penuh relief tanda-tanda atau lambang-lambang yang tentu saja misterius, karena pesan-pesan purbakala. Lalu, sebarisan pelukis "ekspresif". Mereka menggambarkan obyek yang ditemukan di sekeliling, tetapi menyederhanakan, atau memiuh, atau menggayakan (stilasi), dan kadang-kadang "merusakkan" bentuknya. Rekaman gerak dan tenaga psikomotoris (misalnya, melalui sapuan kuas) penting. Jangan anggap Sudjana Kerton (65 tahun) tak menguasai teknik. Ia menggunakan cat dengan efisien -- efisiensi yang dicapai berkat pengalaman yang panjang. Kesederhanaan alias keluguan, dan kekasaran (terutama coret-moret) yang tampak dalam lukisannya (Hiburan di Pinggir Jalan, Hari Sudah Larut) dapat ditafsirkan sebagai konsepsinya tentang rakyat Jelata alias orang kecil yang hidup "di bawah", dekat tanah, bumi. Srihadi (56 tahun) menyajikan dua lukisan yang berbeda, kalau bukan berlawanan. Dialog Dunia Penari menampilkan lima sosok penari perempuan sedang santai berdandan dengan berbagai sikap. Kejelitaan lukisan ini datang dari subjeknya (penari perempuan), sikap mereka, warnanya (kekuningan, dengan tekanan-tekanan merah, biru, hijau, dan putih), gubahannya (statis, seimbang), dan tentu saja coretannya yang efisien. Berlawanan dengan Dialog Dunia Logo yang riuh dengan pikiran, dengan coretmoret yang kasar, kalau bukan acak. Di tengah kanvas, Ganesya (logo ITB), dewa berkepala gajah. Dengan salah ia memegang SK Rektor dan mangkuk bergambar jago. "Kebenaran", "kejujuran", dan "keadilan" masing-masing tampak sebagian (tidak lengkap) karena ia duduk. Tercampak depan Sang Ganesya, di kiri bawah: "Tri Dharma Seniman". Srihadi memperlihatkan bahwa seorang seniman bisa lebih besar daripada sebuah gaya: ia dapat merangkum lebih dari satu gaya. Dua Kakek Hebat Hardi, menampilkan potret kepala Affandi dan Takdir Alisyahbana, berhasil menangkap wanda (fisiognomi) modelnya. Namun, tak ada dalam potret ini yang dapat kita rasakan atau tafsirkan sebagai ungkapan kehebatan kedua kakek itu, maupun sebagai ungkapan rasa kagum Hardi kepada mereka. Lebih menyengat adalah Contempt of Court, yang sudah dipamerkan di TIM juga, awal tahun ini. O.H. Supono melukis relief Borobudur, tetapi tidak ada tafsir maupun komentar penting dalam lukisan itu yang dapat kita bicarakan. Jika Anda mencari suasana hati, atau renungan, mungkin Anda akan menemukan pada Amang Rahman, Mustika, Adi Munardi, dan Arfial Arsad. Penting dicatat dalam biennale ini adalah sekelompok pelukis muda yang memiliki kecenderungan yang boleh dianggap semacam. Mereka memadukan corak fotografis dan unsur keanehan atau keajaiban dengan bermacam cara. Mereka adalah Dede Eri Supria (31 tahun), Agus Kamal (31 tahun), Nengah Nurata (31 tahun), Ivan Sagita (30 tahun), dan Sutjipto Adi (30 tahun). Kecenderungan mereka ada hubungannya dengan pelukis yang lebih tua: Suatmaji (35 tahun), Bonyong Munny Ardie (41 tahun), dan Tarmizi Firdaus (37 tahun). Tarmizi melukiskan pemandangan alam dengan bukit-bukit yang menakjubkan. Sapuannya sangat efisien (kita mengetahui dengan mengamatinya dari dekat), dengan warna-warna yang lembut. Pagar menggarap kerancuan. Sosok pagar, di sudut kanan bawah, sebagian berada di ruang lukisan menjadi bagian dari lukisan pemandangan sebagian berada di luarnya. Pagar dan pemandangan alam dapatkah dilihat berada dalam alam yang sama, dalam satu kerangka pengalaman, atau yang satu harus dianggap nyata, sedang yang lain tidak? Yang mana? Apakah "nyata" dan "tidak nyata" dalam lukisan ini? Munny Ardie meminjam teknik kolasi, demikian juga Suatmaji. Pemanduan dua citra atau lebih yang berasal dari konteks yang berlainan, katakanlah dari "tata citra (termasuk perspekti) yang berlainan, dapat diamati dalam karya Ivan Sagita (perhatikan ruang atau perspektif tempat sosok, atau kelompok sosok berada: Sosok-Sosok yang Menggali dan Mencari Dirinya, dan Kemarin, Hari Ini, dan Esok) dan Sutjipto Adi (Kelahiran Hidup dan Satu Jalan di Persimpangan). Juga, perhatikan penggabungan obyek-obyek yang berasal dari konteks yang berlainan dalam pekerjaan Nengah Nurata (kuda bertanduk dan bertaring, di awan, dalam Yang Dingin dan Buas), Dede (tebaran rumah-rumah dan kotak-kotak karton: Labirin di Kaki Pencakar Langit) dan Agus Kamal (boneka di kaki "piramid"). "Bahasa" begini dapat mengungkapkan bermacam hal: pengalaman dan protes sosial, pengalaman kejiwaan yang terpendam, spiritualisme dan mistik, dan lain-lain. Barangkali, bermunculannya para pelukis muda tersebut, itu menandai munculnya "trend" baru. Tetapi itu juga bukan berarti tanpa pendahulu yang sudah muncul di sana-sini. Sanento Yulliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini