Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Lorong 12 Geylang Road, pada 09.30 waktu Singapura, saya menemukan seorang anak muda dalam pakaian rapi terhampar di rumput tepi jalan, lelap selelap-lelapnya. ”Tampaknya habis mabuk,” kata Hasif Amini, teman sepengembaraan. Tepat di seberang jalan berdiri megah Masjid Jami’ah Moslem Mission, dengan pintu-pintunya yang tertutup rapat.
Geylang adalah sisi lain Singapura, negara-kota yang senantiasa tercitra rapi jali tertib seronok. Hampir segala hal yang tak bisa ditemukan di Central Area ada di sini, termasuk sampah dan puntung rokok. Geylang juga harus agak spesial dicari, sebab belahan tenggara peta wisata Singapura biasanya berakhir di Kallang, dengan dia punya stasiun MRT (mass rapid transit) yang berada di atas tanah.
Sopir taksi yang membawa saya dari Riverside ke hotel, pada malam perta-ma mendarat di negeri bandar itu, tersenyum-senyum ketika mendengar nama Geylang. ”Hayya, mau senang-senang, ya?” katanya, dengan gaya sedikit kurang ajar. ”Ya, senang,” kata saya, sekenanya. ”Mau cari perempuan Cina atau Eropa?” ia bertanya lagi. Baru saya paham duduk perkara.
Geylang, kawasan seluas sekitar Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, itu berlorong-lorong adanya. Di kawasan ini beroperasi tak kurang dari 48 hotel, dengan perang tarif terang-terangan. Belum terhitung puluhan ”rumah asmara”, sebagian dengan stiker ”condom must be used” di pintu depan. Rata-rata hotel menawarkan tarif S$ 13 untuk dua jam, dan S$ 35 untuk bermalam. Fasilitas bagus: kamar bersih, AC sejuk, air panas-dingin, TV kabel pula, sarapan cari sendiri.…
Pada masa dahulu kala, Geylang juga dikenal dengan nama Geylang Serai—mungkin karena di kawasan ini banyak berdiri pabrik minyak serai, di samping pabrik minyak kelapa. Ada yang menduga nama Geylang berasal dari ”kilang”, karena banyaknya pabrik tadi. Tapi ada juga yang menghubungkannya dengan ”orang gallang”, yakni suku laut yang ditakuti pada zaman bahari, suka merompak dan menjarah di sepanjang pantai dan sungai Singapura.
Setelah orang Inggris menghancurkan kampung-kampung terapung suku laut pada pertengahan abad ke-19, sisa penghuni kampung itu ”naik” ke Geylang. Kawasan ini lalu berkembang menjadi tempat tinggal orang-orang Melayu dan Arab kaya. Termasyhurlah, misalnya, nama-nama keluarga Assegaf, Alkaf, dan Aljunied dari era 1930-an, hingga pada masa sekarang.
Berbeda dengan suasana di downtown, Geylang jauh lebih santai. Pukul sepuluh pagi, orang masih berkumpul di kedai-kedai kopi yang membentangkan mejanya sampai ke trotoar, minum kopi susu atau menenggak bir. Ada rupa-rupa makanan, mulai roti canai sampai nasi ayam yang berkilat-kilat, atawa katak yang disembelih hidup-hidup untuk memuaskan selera kejam pelanggan.
Di Lorong 9 saya menemukan gerai ”Ayam Bakar Semarang” yang tak pernah buka, meskipun tak sulit menemukan perempuan Indonesia di pojok-pojok restoran, bercengkerama dan melarak-lirik mangsa. ”Nama saya Siti Mawar,” katanya. ”Asal Jawa Timur, dekat lumpur yang kini menyembur-nyembur.” Baru kali ini saya ketemu ”orang Jawa Timur” yang namanya Siti Mawar.
Hikayat mereka sama belaka. Merantau ke Batam, ikut ”agen” ke Singapura, terlunta-lunta, lalu akhirnya memilih bersarang di lorong-lorong merah Geylang. Peringkat ”tarif” di sini pun tak memihak mereka. Perempuan Indonesia cuma ”dihargai” S$ 40, jauh di bawah perempuan Cina (S$ 100-an) dan perempuan Eropa (S$ 240-an). Penghasilan itu masih dibagi dengan broker dan germo, baru disisihkan untuk biaya kos, keamanan, persolekan, dan seterusnya. ”Kadang-kadang saya dapat orang India tua yang banyak duit,” kata Sri Mawar. ”Permintaannya ndak aneh-aneh, ngasihnya banyak.”
DI Victoria Street, pada suatu Sabtu yang sumuk, saya berjumpa dengan keturunan ketujuh Sultan Banten ke-11, Abdul Ra’uf namanya. Ketika saya terbingung-bingung mencari arah menuju Masjid Sultan di ujung Kampung Gelam, orang ini muncul. ”Mari sama-sama,” katanya. ”Saya juga ke arah sana.”
Tahu saya orang Indonesia, dia segera memperkenalkan diri. Ketika saya bertanyakan asal-usulnya, pria 57 tahun itu dengan tangkas mendaras: ”Nama saya Abdul Ra’uf bin Haji Syam’un bin Kiai Haji Dahlan bin Kiai Haji Abdul Aziz bin Kiai Hasan Arzaim bin Kiai Soleh bin Tubagus Kacung alias Pangeran Suramenggala bin Mohammad Arif Zainal Asyikin, Sultan Banten ke-11.” Takjub saya dibuatnya.
Dia lahir di Singapura. Sering melancong ke Indonesia, terutama ke berbagai pesantren di sekitar Pulau Jawa, yang dengan fasih disebutkannya nama-namanya. Dia juga memberi tahu, moyangnya yang bernama Kiai Haji Abdul Aziz pernah menjadi Penghulu Besar Cirebon, dan kakek moyangnya yang bernama Kiai Soleh malah ikut Perang Jawa bersama Pangeran Diponegoro.
”Tahun ini saya naik haji bersama istri,” katanya, sambil terus berjalan tangkas. Saya bertanya apakah ada niatnya untuk kembali ke kampung halaman dan menjadi warga negara Indonesia. Dia tersenyum misterius. ”Tampaknya taklah,” katanya. Anaknya dua, sudah lulus perguruan tinggi. Uang pensiunnya cukup. Menjelang Arab Street kami berpisah, dan saya memandangi keturunan Sultan Banten itu menghilang di tengah keramaian Singapura.
Mereka berserakan di sini, para keturunan Indonesia itu. Di lobi hotel saya membaca nama ”Romiyanto” tersemat di dada seorang resepsionis. ”Dari Jawa, ya?” kata saya. ”Keturunan Bugis, Pak,” pria 29 tahun itu menjawab, seraya tersenyum. Rambutnya berminyak, berdiri bagaikan bulu landak, model anak zaman sekarang. ”Pernah ke Indonesia?” Dia tersenyum lagi. ”Cuma ke Batam, beberapa kali.”
Satu di antara saksi kehadiran para keturunan Indonesia di masa awal Negeri Temasek ini adalah Kampung Gelam. Terletak di sebelah utara Sungai Singapura, pada masa dahulu kawasan ini menjadi pusat permukiman para aristokrat Melayu Singapura. Di sinilah, pada 1819, penguasa East India Company menandatangani sebuah perjanjian dengan Sultan Johor Hussein Shah dan Temenggong Abdul Rahman, yang memberikan hak kepada Inggris untuk mendirikan loji—yang merupakan awal kolonisasi.
Di bawah Raffles Plan, 1822, Singapura dibagi-bagi ke dalam permukim-an menurut kelompok etnis: Eropa, Cina, Arab, dan Bugis. Kampung Gelam diperuntukkan keluarga Sultan, orang-orang Melayu dan Arab—yang sebagian besar saudagar kaya— dan para perantau asal Bugis, Malaka, Riau, dan bagian lain Sumatera. Ke sini juga datang para perantau ”Boyan”—maksudnya orang Bawean.
Masuklah dari Arab Street sampai ke ujung, kemudian menoleh ke kiri, itulah Kampung Gelam. Di sepanjang Bussorah Pedestrian Mall itu berbaris toko-toko yang tetap ”kedai”, rumah-rumah berloteng yang kuno, dan di ujung sana Masjid Sultan yang bersih, baik dari sampah maupun dari pengutil sandal. Bersebelahan dengan Masjid Sultan adalah Istana Kampung Gelam dan Pusat Warisan Kebudayaan Melayu. Di seberangnya ada rumah makan Padang.
Kampung Gelam bak oasis di tengah Singapura yang supermodern. Kedai-kedai masih menjual layangan, gasing, tas yang dianyam dari daun bakung, bahkan katapel. Hari itu saya berjumpa dengan sekelompok muda-mudi Cina yang asyik bermain gasing. ”Kami dari Penang,” kata seorang di antara mereka. ”Sengaja berlomba main gasing di sini.” Yang lain bertanya, ”Mau ikut?” Saya menggeleng, memilih masuk ke Kedai Esah, dan memesan mi rebus ala India. Bukan main sedapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo