Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Hantu

29 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arswendo Atmowiloto

  • Novelis, Penulis Skenario

    Dalam dunia film, Jelangkung justru menjadi salah satu pembangkit film Indonesia. Di film ini, hantu jenis arwah orang yang meninggal dunia bisa diajak main-main dan tentu saja menakut-nakuti. Unsur ketakutan, fear factor, selalu ada dalam diri manusia, sehingga jenis film horor selalu ada, sebagaimana jenis komedi, silat, remaja atau anak-anak—yang terakhir ini malah ditakuti oleh industri.

    Selama kita masih suka ditakut-takuti oleh hantu seperti ketika kita kecil, selama itu pula jenis ini punya tempat. Dan tempat hantu berada sekarang tak lagi di kuburan, atau tempat seram, melainkan di dalam gedung bioskop yang berada di tempat terang, di mal. Jenis ini lebih laris mengundang pembeli karcis karena membidik segmen usia remaja. Remaja merupakan penonton yang memegang uang, punya waktu luang, dan biasa datang berombongan. Ketakutan bersama lebih fun. Dan memang unsur terhibur lebih dibutuhkan, sehingga bahkan ketika credit title baru dimulai, penonton sudah bisa teriak-teriak. Jejeritan di dalam gedung bioskop lebih aman dibanding di luar.

    Dari segi produksi, biaya relatif lebih murah. Film ini tak memerlukan bintang dengan nama besar atau wajah indo, karena mata si pemeran utama akan dilingkari warna hitam, bibir merah darah, rambut semrawut, kostum utamanya gaun panjang warna putih atau hitam, dengan tata rias tebal. Kalaupun ada perubahan, paling jauh mengenakan rok mini, atau senyum yang memperlihatkan taring runcing yang miring. Produser lebih perlu menggunakan pendatang baru, yang honornya bisa seperlima belas bintang laris, dan punya waktu karena tidak kejar tayang.

    Dari segi cerita, bahan utama sudah tersedia. Mau yang lokal versi ”suster ngesot” atau ”pocong yang lupa dibuka talinya”, atau pemanjaan teknologi versi Jepang, atau juga kocak model Mandarin. Atau gabungan dari itu semua. Dengan kata lain, secara industri, hantu tak pernah berlalu.

    Yang menakutkan dari hantu-hantu ini adalah karena mereka egois dan tak terikat hukum sebab-akibat. Egois, karena umumnya yang menjadi hantu adalah ”roh penasaran”, atau ”arwah gentayangan”, yang menghantui karena sebab-sebab yang pribadi: bunuh diri ditinggal pacar, mati karena melahirkan, direndahkan dalam pergaulan. Ia lebih menggambarkan sosok pribadi yang gagal di waktu hidup, dan hanya berpikir untuk membalas dendam kesumat. Sesuatu yang tak sempat dilakukan, kini dipaksakan justru setelah ia tamat.

    Hantu adalah sosok gagal yang mencoba meralat kembali riwayatnya. Berangkat dari dendam pribadi, dengan sebab yang itu-itu melulu, hantu yang bisa tampil langsung atau melalui medium orang lain nyaris tak memiliki ikatan dengan persoalan sosial. Belum ada hantu yang berasal dari penumpang Adam Air yang menjadi korban, atau yang tadinya menghuni Sidoarjo, atau aktivis yang dihilangkan atau tenaga kerja wanita yang tewas diperkosa dan dibunuh.

    Dengan egonya, para hantu dengan leluasa dan tanpa malu-malu melakukan hal-hal yang bertentangan dengan sebab-akibat. Ia menjadi hantu yang menakuti karena suatu alasan pribadi. Ketika membalas dendam, hantu menanggalkan akal sehat. Gambaran sederhana memperlihatkan ini: hantu-hantu tetap berjalan dengan bersijingkat atau meloncat walau kakinya tak terikat, dengan gincu darah padahal darahnya sudah membeku, bersuara seolah tenggorokannya diganjal es batu.

    Menakutkan, karena dalam cerita tak ada batas apakah yang disajikan ini fakta atau fiksi—terutama pada layar televisi, berbagai jenis yang dilabeli ”ilahi”. Menakutkan, karena antara akal sehat dan akal sakit saling membelit. Cobaan dari Tuhan—mobil sudah diparkir dengan benar, tahu-tahu tertimpa pohon dengan godaan karena perbuatan manusia—sudah tahu kalau selingkuh bisa bermasalah, apalagi kalau tertangkap basah, diperlukan tanpa batas pemisah. Sehingga sebuah bencana bisa berarti sebuah kutukan. Tak ada batas pemetaan, dan dengan demikian juga penyelesaiannya.

    Pada titik ini para hantu yang berada dalam ”dunia lain, logika lain” bermain bersama dengan manusia yang sejak kecil diajari sebab-akibat, diajari menggunakan akal sehat, diajari ilmu pengetahuan, termasuk sopan santun. Semua tata nilai dan tata krama itu tak berlaku bagi para hantu—dan manusia yang bukan makhluk halus harus melayani dengan cara seperti para hantu. Dalam realitas kejadian, murid-murid yang serentak pada berteriak akhirnya diterjemahkan dengan kerasukan, bukan dengan ilmu pengetahuan yang justru dipelajari setiap hari. Sehingga untuk membebaskannya pun memakai cara-cara hantu. Di sinilah sebenarnya kemenangan para hantu, bahkan kalau misalnya tak pernah ada pun, diakui kekuasaannya. Dan disuburkan secara teratur, sehingga jenis ”babi ngepet” seolah menjadi ilmu, dengan segala cara-cara menggapai agar hidup bisa kaya, makmur. Jenis tipu daya menggandakan uang dengan menaburkan bunga masih memakan mangsa.

    Sebenarnya ada jenis misteri—bisa pakai hantu/setan/makhluk halus, bisa tanpa—yang tak terlalu egois, juga tak meninggalkan akal sehat ataupun sebab-akibat. Kisah beginian melampaui akal sehat, namun tidak menanggalkan sama sekali. Ada bagian-bagian kunci yang tak terterangkan—karenanya menjadi misteri, tapi masih mewadahi logika, tak meninggalkan akal budi. Judul-judul seperti The Sixth Sense, atau Highway to Heaven, atau Tukang Bubur Naik Haji, adalah contoh pas bagaimana sesuatu yang tak mungkin bisa terjadi, namun ada proses dan tergambarkan cukup jelas sebab-akibat, ada upaya-upaya tulus, ada semangat, juga keringat.

    Kalau kita percaya bahwa film atau sinetron atau karya seni mempunyai peran berarti dalam membentuk watak manusia dan bentuk budaya bangsa, maka pemunculan lebih dari satu hantu perlu menjadikan kita waspada. Ini agar siswa-siswi tak mudah kerasukan secara massal, agar masyarakat tidak dicekam ketakutan munculnya pemerkosa yang berkolor ijo—dan menghadirkan saksi-saksi yang diperkosa, lalu menangkalnya dengan mencari bambu kuning. Ketika itu terjadi, segala ilmu seolah tak berarti.

    Ada yang salah dalam peristiwa seperti ini. Dan itu bukan kesalahan para hantu, yang gagal semasa hidupnya, dan tetap egois sesudah tak bisa apa-apa.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus