Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah Keajaiban di Wina

Duel Edward Norton, sang ilusionis, dan Paul Giamatti, sang polisi. Seru!

29 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE ILLUSIONIST Sutradara: Neil Burger Skenario: Neil Burger Berdasarkan cerita pendek karya Steven Millhauser Pemain: Edward Norton, Paul Giamatti, Rufus Sewell, Jessica Biel Musik: Philip Glass

Wina, tahun 1900.

Sang ilusionis berdiri di tengah panggung berkonsentrasi pada sebuah wajah yang dicintainya. Wajah Sophie, sebuah wajah yang jelita dan pucat dengan sosoknya yang ringkih itu, perlahan memasuki panggung. Penonton gempar karena hanya beberapa hari silam, Sophie dinyatakan tewas dibunuh, entah oleh siapa. Adakah Eisenham menggunakan ilmu hitam? Eisenham kemudian ditahan dengan alasan menimbulkan keresahan publik. Inspektur Polisi Uhl (Paul Giamatti dengan penampilan bersinar) kemudian melapor pada Pangeran, sang putra mahkota Leopold (Rufus Sewell), bahwa dia sudah menahan si pengganggu. Tapi rasanya tak cukup dengan alasan yang digunakannya. Leopold, berwajah keras, berhati keji, memandang Uhl dengan amarah, ”Sudahkah kau melakukan segalanya, agar dia bisa musnah?”

Maka Inspektur Uhl mulai berkisah tentang upayanya sejak awal. Maka sebuah kisah tragis digelar untuk penonton. Teknik kilas balik ini kemudian mengambil seluruh tubuh film. Mengambil setting awal abad ke-20 ketika masyarakat Eropa masih mencampur aduk keajaiban, takhayul, cerita hantu, dan trik sulap, seorang Eisenham—yang kemudian mengingatkan kita pada Houdini—adalah sebuah pilihan tepat. Tetapi sutradara dan penulis skenario Burger tentu saja perlu menambahkan drama cinta segi tiga dalam film yang diangkat dari cerita pendek Steven Millhauser ini. Cinta segi tiga soal biasa. Yang tidak biasa, bagaimana Burger mengolah hal itu dalam suasana magis awal abad ke-20 di Wina. Bagaimana dia memasukkan kemampuan Eisenham—yang sejak awal hingga akhir tak pernah terpecahkan—dengan persoalan cinta segi tiga itu?

Sesungguhnya Eisenham dan Sophie adalah sepasang kekasih sejak remaja. Yang satu anak miskin, yang lain bangsawan. Pada suatu siang, Eisenham bertemu dengan seorang ilusionis yang mampir di kampungnya. Dari sanalah dia kemudian belajar ilmu itu—yang selintas diperlihatkan pada penonton bahwa itu sebetulnya persoalan hitung-hitungan dan tipuan mata belaka yang menggunakan presisi yang mengagumkan. Eisenham dan Sophie tumbuh menjadi semacam ”Romeo dan Juliet”, cinta yang terlarang oleh keluarga. Eisenham dilarang bertemu dengan Sophie, dan seperti dalam film cinta umumnya, sang lelaki yang pedih meninggalkan sebuah kalung tanda cinta kepada kekasihnya.

Drama ini baru mulai menarik setelah Eisenham kembali ke kampung itu sebagai seorang ilusionis yang menggemparkan sekaligus menarik hati Sophie yang kini sudah bertunangan dengan putra mahkota Leopold. Ketegangan demi ketegangan serta permainan tangan Eisenham mengguncang kampung itu sekaligus mengguncang rasa aman Leopold. Dia merasakan ada ”ketegangan” yang mencurigakan antara Sophie dan Eisenham. Dan kecemburuan lelaki selalu menjadi persoalan ”teritorial” yang kemudian bisa berakhir pada kekejian tiada tara. Apalagi Eisenham mempermalukan sang pangeran di atas panggung.

Inilah keistimewaan The Illusionist. Sebuah cerita cinta segi tiga dan kecemburuan yang berakhir dengan kebrutalan lelaki itu dengan luwes dan cerdik diikat dengan kekuatan ilusionis Eisenham. Meski setting dipilih abad ke-19, teknik digital yang digunakan bisa saja diterima oleh kita.

Selain adegan panggung yang selalu menimbulkan tanda tanya (bagaimana pohon jeruk bisa tumbuh dalam waktu sekejap; bagaimana bayangan mereka yang sudah meninggal bisa berkelebatan di atas panggung; bagaimana pedang itu bisa mempermainkan sang pangeran), adalah aktor Edward Norton dan Paul Giamatti yang menghidupkan seluruh film. Begitu kuatnya duo aktor ini hingga penampilan Jessica Biel seperti boneka Barbie yang dungu dan mengganggu. Jauh lebih dungu daripada kejutan akhir yang mengecewakan. Pucat dan ringkih seorang gadis tak berarti harus terlihat bodoh.

Film The Illusionist tetap sebuah pilihan sebagai film yang berhasil meramu kelezatan cinta di antara hidup seorang ilusionis yang penuh keajaiban.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus