Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mencari Jaka Sembung

29 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Joko Anwar

  • Sutradara film dan anggota Masyarakat Film Indonesia

    Dengan satu lompatan dan satu zoom-out kamera, Jaka Sembung berpindah dari tepi laut ke atas bukit, siap menghajar Bergola Ijo. Tepuk tangan penonton menutupi suara kipas angin yang tak begitu berhasil menghalau hawa panas studio bioskop. Kursi yang jauh dari nyaman menambah efek suara setiap kali penonton bergerak. Toh, penonton keluar dengan puas dan segera menceritakan keseruan film yang baru saja mereka tonton ke para tetangga. Hingga tahun 1980-an, bioskop masih merupakan sumber tontonan nomor satu sampai ke kota-kota terkecil, karena di rumah kita baru memiliki TVRI. VCD dan DVD belum lahir, sementara VHS dan Betamax hanya bisa dijangkau sebagian kecil orang. Pemerintah masih ”berpihak” ke perfilman nasional dengan kebijakan batasan impor (setiap importir harus memproduksi satu film setiap mengimpor tiga film). Film Hollywood hanya menguasai persentase kecil dari jam tayang bioskop. Referensi film masyarakat masih sangat sempit, sehingga orang bisa dengan senang hati menggandrungi film lokal walaupun sebagian besar berestetika rendah. Dengan jumlah produksi yang bisa menembus angka 100 setiap tahunnya, film Indonesia punya masa depan yang meyakinkan.

    Namun, pada akhir 1980-an, Presiden Soeharto mencabut pembatasan film impor, setelah AS mengancam akan memboikot ekspor tekstil dan kayu Indonesia. Film Hollywood masuk dengan jumlah berlipat-lipat. Dengan berbekal kedekatan dengan Soeharto, jaringan multipleks 21 memonopoli bisnis bioskop dan impor film. Film Hollywood dengan production value yang tinggi mendominasi layar bioskop. Referensi film menjadi luas, apalagi dengan lahirnya televisi swasta baru sepanjang tahun 1990-an. Film Indonesia mengambil tempat duduk paling belakang.

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang perfilman sama sekali tidak memiliki visi untuk menolong perfilman nasional yang semaput. Dua lembaga sebagai produk undang-undang ini: Lembaga Sensor Film (LSF) dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) menjadi lebih kukuh. Sensor jelas bukan jawaban atas masalah perfilman nasional. BP2N tidak memiliki gigi untuk berbuat sesuatu, terutama karena sebagian besar anggotanya bukan berasal dari kelompok yang punya kepentingan langsung dan visi untuk memajukan perfilman, seperti para ahli di bidang pendidikan dan agama, serta ”organisasi kemasyarakatan lain yang dianggap perlu”.

    Pada awal 1990-an para pembuat film mencoba tetap menarik penonton dengan memproduksi film ”softcore” dengan judul seperti Gairah Malam dan Setetes Noda Manis. Pada awalnya penonton tertarik. Tapi, setelah mereka mengetahui bahwa film tersebut hanya ”seram” di judul dan dibuat dengan asal-asalan, penonton kembali menjauh dari film Indonesia. Sebagian sineas tetap bertahan memproduksi film dengan estetika yang bagus. Namun saat itu kekuatan jaringan 21 yang bisa menurunkan film membuat usaha pembuat film protes, seperti yang terjadi pada Slamet Rahardjo Djarot dengan filmnya Langitku Rumahku (1989) yang berakhir di meja hijau.

    Sementara itu, bisnis bioskop di tingkat kabupaten hancur karena tidak ada film yang bisa diputar. Film Indonesia yang sebelumnya menjadi primadona tidak lagi diproduksi dan tidak ada kepastian untuk bisa memutar film Hollywood karena impor dan distribusinya dikuasai jaringan 21.

    Krisis moneter tahun 1998 merupakan tonjokan terberat bagi perfilman nasional. Perfilman lokal hanya mampu mengeluarkan empat film dalam setahun. Perfilman nasional mengalami mimpi terburuknya.

    Kemudian, harapan muncul. Anak-anak muda yang lahir dari kalangan movie buffs (penggemar film) mulai bergerak memproduksi film yang semakin lama semakin bisa menjawab tuntutan masyarakat. Angka produksi melonjak menembus angka 40 sejak tahun 2005. Tanpa bantuan pemerintah, sebagian dari mereka sukses secara komersial, sebagian lagi berhasil bertarung di festival film internasional. Keinginan akan suatu sistem yang bisa memajukan perfilman lokal muncul setelah informasi tentang perfilman luar dengan mudah dijangkau lewat internet dan lewat percakapan dengan para pelaku perfilman luar saat menghadiri festival.

    Gerakan sudah dimulai sejak tahun 2000 tapi kekacauan pelaksanaan Festival Film Indonesia 2006 akhirnya menjadi momentum penting untuk menyatakan sikap. Ini menjadi penting mumpung masyarakat juga bisa merasakan absurditas keadaan film kita dan untuk menyuarakan ketidakberesan yang sedang terjadi. Distribusi film, menghidupkan kembali bisnis bioskop yang sehat adalah beberapa masalah yang akan diselesaikan, termasuk kejelasan dana yang didapat dari pajak film dan tontonan yang tidak digunakan untuk memajukan perfilman.

    Seperti yang telah lebih dulu dilalui rekan-rekan wartawan di dunia media, gerakan reformasi pekerja film (sineas, produser, aktor, aktris, kru film) ini akan dan sedang dihambat oleh mereka yang ingin mempertahankan status quo, orang-orang yang simply ignorance, dan bukan tidak mungkin akan menjadi makanan politik. Keberpihakan masyarakat sudah pasti dibutuhkan agar film yang bukan hanya bisnis tapi juga business of inspiring people, sebuah bisnis yang tetap menuangkan inspirasi bagi masyarakat untuk melakukan banyak hal hebat. Dan agar ”Indonesian Dream” tidak sebatas hanya untuk jadi bintang infotainment.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus