Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Hamparan "Salju" di Lautan Pasir Gunung Bromo

Hamparan padang sabana hijau Gunung Bromo, tertutup kristal putih terbentuk dari embun yang membeku

16 Juli 2024 | 14.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hamparan padang sabana hijau Gunung Bromo, tertutup kristal putih terbentuk dari embun yang membeku. Dok. Balai Besar TNBTS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Malang - Hamparan padang sabana hijau Gunung Bromo, tertutup kristal putih terbentuk dari embun yang membeku. Beberapa pekan terakhir, embun membeku akibat penurunan suhu udara 5 derajat celsius sampai 9 derajat celsius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Masyarakat adat Tengger menyebut embun upas,” kata Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Septi Eka Wardhani, pada Selasa, 16 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehadiran embun upas, menyerupai salju yang menghampar di kawasan sekitar Gunung Bromo. Membuat kawasan wisata gunung api ini tampak semakin eksotis. Kawasan padang sabana dan lautan pasir diselimuti hamparan embun yang mengkristal.

Masyarakat adat Tengger menyebut embun upas, lantaran kemunculan embun tersebut merusak tanaman. Berbagai tanaman sayuran menjadi layu dan mati. Pemandangan yang sama juga terlihat di hamparan lautan pasir. Sejak subuh sampai matahari terbit, di atas pasir diselimuti kristal putih seperti salju. Setelah matahari terbit sempurna, embun upas perlahan menghilang.

Hamparan padang sabana hijau Gunung Bromo, tertutup kristal putih terbentuk dari embun yang membeku. Dok. Balai Besar TNBTS

Septi meminta para pegunjung Gunung Bromo mengantisipasi cuaca ektrem tersebut. Pengunjung diminta menggunakan pakaian tebal seperti jaket, kupluk dan memakai sarung tangan.

Tujuannya untuk mengusir hawa dingin di sekitar Gunung Bromo. Sedangkan bagi pengunjung yang memiliki riwayat penyakit asma, diminta berhati-hati dan waspada, serta menjaga kondisi kesehatannya.

Embun upas atau frost, katanya, merupakan fenomena yang sering terjadi saat musim kemarau. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG memprediksi puncak musim kemarau 2024 di sebagian besar wilayah Indonesia terjadi pada Juli hingga Agustus.

Atas fenomena ini, Septi berharap BMKG mengimbau Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, institusi terkait, dan masyarakat bersiaga dan antisipatif kemungkinan dampak musim kemarau. Diprediksi mempengaruhi peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, dan kekurangan sumber air. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus