Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ihsan Reliubun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahasiswa jurnalistik Institut Agama Islam Negeri Ambon
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang bocah berambut ikal tanpa selembar benang di tubuhnya memanjat sebatang pohon. Di dahan setinggi sekitar 10 meter ia lalu berancang-ancang. Di bawah sana, seorang lelaki tua berdiri terpaku memandang ke arahnya. Aksi anak itu menjadi tontonan mendebarkan bagi orang-orang yang melihatnya. Lalu, byurrr....
Bocah itu menjatuhkan dirinya ke danau yang tampak jernih di bawahnya. Lelaki bertubuh gempal yang sejak tadi waswas menyaksikan aksi itu langsung mengusap dada ketika si bocah muncul di permukaan air dan berenang menuju kawan-kawannya.
Elisias, nama bocah berusia 11 tahun tersebut. Atraksi terjun bebas yang ia lakukan itu saya temui ketika melancong ke Danau Ninivala di Desa Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, akhir Desember lalu, berselang tiga hari setelah perayaan Natal. Air danau itu berwarna biru jernih. Di dasarnya tampak batu-batu bercorak putih.
Permukaannya beruap, serupa pintu kulkas yang baru dibuka. Tampak menggiurkan untuk direnangi. Tapi airnya yang bergelembung memang sedingin es. Sekali mencebur, badan langsung menggigil. Saya berdiri di pinggir danau dengan kedalaman air setinggi betis. Rasa keram perlahan melata ke badan. "Mati rasa, sumpah!" teriak seorang pemuda dari tengah danau.
Di bibir danau berbentuk bundar itu terdapat dua pohon gohi. Sepasang pohon yang memiliki nama Latin Ficus copiosa itu adalah sumber legenda yang tersimpan pada benak penduduk setempat. Ceritanya, dua pohon itu merupakan jelmaan sepasang kekasih. Inilah simbol yang membuat Danau Ninivala dikenal sebagai lokasi untuk mendapatkan air pemikat jodoh.
Saya ingat kala pertama kali mengunjungi Ninivala bersama kawan-kawan pada 2013. Waktu itu, perjalanan kami tempuh dengan berjalan kaki dari belakang Desa Yaputih. Sebab, belum ada jalan aspal menuju Pilia Anikanama lain Piliana. Nama tersebut diambil dari bahasa tanah suku Alune, yang berarti "sudah terang". Jalurnya melewati perbukitan terjal, sungai, dan batu besar. Pada sisi kiri dan kanan jalan yang kami lalui ada banyak tanaman cengkeh, pala, sagu, cokelat, dan tanaman perkebunan lainnya. Perjalanan sejauh 7 kilometer itu kami tempuh selama dua jam.
"Mau ke mana?" Seorang perempuan menyapa ketika kami baru keluar dari rumah tetua adat Piliana, Ary Ilelapotoa (almarhum). "Ke Ninivala," ucap rekan saya waktu itu. Kepada saya yang melenggang paling belakang, perempuan itu tersenyum dan berujar, "Jangan lupa minta jodoh di situ. Biar dapat jodoh orang Piliana."
Saya terbahak-bahak mendengar seloroh perempuan berusia sekitar 35 tahun itu. Ia duduk bersama beberapa perempuan remaja di sebuah gazebo. "Yang penting ada yang mau." Saya menimpali sambil terkekeh. Kunjungan pertama ke Ninivala itu berhasil membuat saya takjub. Terutama lanskap danau yang cantik bak bunga desa, yang kala itu belum dijamah banyak wisatawan.
Kini, akses menuju Ninivala sudah gampang. Wisatawan bisa menyewa mobil dari Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah, ke Piliana. Jaraknya 120 kilometer dan dapat ditempuh selama 2-3 jam. Jalan masuk menuju Ninivala dimulai dari pinggiran Desa Hatu. Kawasan ini merupakan pintu masuk pendakian Gunung Binaiya di kawasan Taman Nasional Manusela. Perjalanan ke Ninivala membutuhkan pengemudi yang piawai dan hafal medan. Sebab, selain jalanannya terjal, berkelok, dan naik-turun bukit, sebagian lintasan berpasir. Jika tak berhati-hati, kendaraan bisa tergelincir.
Namun saya dan Sofyan Hatapayo, rekan sepengembaraan, mendatangi telaga Kautsar di Desa Piliana ini menggunakan sepeda motor. Di sepanjang perjalanan kami menyaksikan gunung-gunung menjulang, berbaris seperti pagar. Pohon-pohon terlihat masih hijau dan aman dari eksploitasi perusahaan kayu dan tambang. Dari jauh, perkampungan tampak diselimuti kabut tebal.
Petualangan sesungguhnya dimulai dari Desa Yaputih. Dari kampung yang bertengger pada ketinggian 1.280 meter di atas permukaan laut ini, Danau Ninivala masih berjarak 20 menit perjalanan. Namun perjalanan berliku dan melelahkan itu terbayar ketika tiba di lokasi. Area di sekitar danau dipenuhi pepohonan rimbun sehingga suasana di sekitar Ninivala semakin adem. Pas untuk berteduh pada musim panas. "Jarang bisa dapat air sedingin ini di tempat lain," tutur Arkam Khaldun, 18 tahun, sambil menyilangkan lengannya memeluk kedua bahu, menggigil.
Pemuda berkacamata ini mengaku lebih dari satu kali bertandang ke sini. Selain karena pemandangan dan suhunya yang dingin, danau ini memikat banyak pengunjung pada setiap akhir pekan karena legendanya. Ada banyak cerita unik yang berkaitan dengan legenda itu, misalnya pasangan suami-istri yang datang untuk mengakurkan hubungan rumah tangga yang sudah retak, terapi pengobatan, hingga tempat menyucikan perbuatan dosa.
Jika seseorang datang untuk meminta jodoh, ia diharuskan melakukan sejumlah ritual. Ia wajib membawa selembar foto kekasihnya, ditambah daun sirih, buah pinang, kain merah (beran) atau kain putih, selembar daun gatal (Laportea ducumana), dan dua lembar daun gohi. Untuk syarat terakhir, bisa dipetik langsung dari pohonnya di tepi Danau Ninivala. Beberapa helai daun yang sudah diberi mantra oleh tetua adat lalu dicelupkan ke air danau.
"Daun itu kemudian digosok ke lelaki atau perempuan yang meminta jodoh," kata Agustinus Ilelapotoa, Raja Piliana, pada suatu siang yang sumuk. Pertemuan saya dengan Agustinus berlangsung selepas masyarakat setempat menggelar upacara aifutuitiha (penurunan tifa). Makna tradisi ini adalah menyambut kehidupan baru pada tahun baru, di mana beduk dipukul tetua adat dan diambil alih oleh raja, setelah itu diturunkan dari gantungannya. Upacara aifutuitiha dilakukan setahun sekali.
Di serambi rumahnya, Agustinus juga menceritakan aneka kisah mengenai khasiat Ninivala. Pada 2016, misalnya, ia pernah didatangi oleh seorang pria yang meminta tokoh adat memulihkan hubungan rumah tangganya. Pria tersebut mengaku sudah tiga tahun bercerai. Permintaan itu dituruti dan ritual adat pun digelar di Ninivala. Akhir cerita, mereka rujuk kembali. "Ini sudah terbukti," ujar Agustinus.
Agustinus juga mengatakan air danau ini mujarab sebagai penawar sakit kepala, demam, hingga tempat terapi warga di kampung dengan penduduk 696 jiwa itu. Pemimpin desa itu bilang, ketika warga merasa lelah dan otot-otot tubuh mereka tegang, cara mengobatinya adalah mandi di Ninivala. Besoknya, kata dia, nyeri pada otot akan sembuh. "Ninivala ini unik, gelembung airnya bisa kita rasakan waktu mencelupkan badan," kata seorang wisatawan, Angel Putileihalat, 49 tahun.
Anak-anak lalu-lalang sambil menenteng seutas bambu menjelang tahun baru. Mereka duduk berkelompok di bawah pohon. Mereka membunyikan meriam yang dirakit dari batang bambu. Dentuman saling membalas menggelegar di setiap sudut Piliana. Momen itu kami temukan ketika dalam perjalanan sowan ke rumah tetua adat setempat.
Berbekal petunjuk beberapa pemuda di pintu masuk wisata, rumahnya berada di dekat sebuah sekolah dasar. Saya dan Sofyan melangkah mendekati sebuah rumah kayu yang membelakangi lereng terjal. Di depan pintu muncul perempuan bersanggul, memakai kaus hitam, celana setinggi lutut bermotif bunga, bertanya: "Ada perlu apa?" Giginya masih digincu sirih-pinang. "Mari masuk!"
Sembari melangkah ke arah perempuan di depan pintu, saya menjawab, "Mau ketemu Bapak Adat." Melihat kami masuk, dua bocah laki-laki usia sekolah dasar langsung berdiri. Dua ekor anjing berbaring cuek, tak menggonggong. Mungkin oleh tuannya mereka diajarkan tidak menghardik tamu. Kami dipersilakan duduk di ruang seluas 4 × 3 meter berdinding papan. Tak lama kemudian, masuk seorang pria tua yang bertelanjang dada, memakai celana pendek setinggi lutut, berkulit hitam, berambut tipis, dan beruban. Ia menenteng tas kecil berwarna hitam. Ketika dibuka, tampak tembakau Amor, daun sirih, dan buah pinang.
Sang ketua adat itu bernama Winan Latumutuani. Dari penuturan lelaki 67 tahun ini, kami baru tahu bahwa Ninivala memiliki nama lain, yakni Waehuseputi. Diambil dari bahasa tanah setempat yang berarti "air suci". Jadi, danau itu diyakini sebagai tempat "menghapus" dosa fitnah, prasangka buruk, dan kejahatan lain. "Ritual yang dilakukan di Waehuseputi bertujuan supaya perbuatan dosa tadi hanyut terbawa air."
Sebelum mengakhiri pertemuan itu, Winan mengeluarkan petuah "lio esa, mati esa", yang dikeramatkan leluhurnya sejak zaman baheula. Lio esa berarti "kita satu", mati esa alias "hidup bersatu". Seharusnya, menurut dia, petuah itu dipegang di tengah kehidupan dengan bermacam suku dan agama supaya satu sama lain tidak saling melukai. "Biar laeng jang marah laeng," tuturnya. Kisah mengenai Ninivala ini membuat saya tertegun, takjub, sekaligus terpesona.
Di luar, langit mulai mendung. Memandang ke barat, matahari merah jingga, gunung-gunung yang tadinya hijau menjelma kelabu. Satu-dua petani mulai pulang memanggul hasil kebun. Di perjalanan pulang, saya berkali-kali merapal dalam hati, "Lio esa, mati esa."
Hikayat Air Suci Pemikat Jodoh
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo