Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Ini Beda Kue Putu Singapura dan Indonesia, Lebih Enak Mana?

Sama-sama memiliki kue putu. Ternyata kue putu Singapura memiliki perbedaan rasa yang signifikan dengan putu dari Indonesia.

9 Agustus 2019 | 22.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kue putu khas Singapura yang dijual di kawasan pecinan Katong, Singapura, 19 Juli 2019. Kue ini memiliki rasa dan bentuk yang berbeda dengan kue putu di Indonesia. TEMPO/Francisca Christy Rosana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Singapura - Irisan-irisan budaya negeri serumpun memang tak bisa dielakkan antara Singapura dan Indonesia. Rupanya. tak hanya Indonesia, Singapura ternyata memiliki jajanan pasar bernama kue putu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penganan ini menjadi salah satu kuliner yang direkomendasikan oleh Anthony, warga asli negeri singa yang bekerja sebagai pemandu wisata saat mengantar TEMPO menjelajahi kawasan Katong bersama Agoda pada 19 Juli 2019 lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Di Singapura, kue putu ini salah satu warisan kuliner Melayu dan banyak dijual di Katong,” ujarnya kala itu. Ya, Katong merupakan wilayah pecinan kuno yang banyak ditinggali orang-orang asli Melayu. Orang-orang Melayu di daerah itu konon menikah dengan perantau dari Cina yang menepi di daratan Singapura pada abad ke-15 hingga 16. 

Di Katong, kue putu bisa ditemukan di mana saja: di foodcourt, di pasar tradisional, di warung makan, bahkan di pasar malam. Kala itu, Anthony mengajak TEMPO menjajal kue putu di salah satu foodcourt di jantung Katong. Belasan tenan makanan Melayu ditawarkan di sana; dan tentu saja kue putu menyempil di antaranya.

“Di Indonesia juga ada kue putu,” kata kami kepada Anthony, yang tak disambut wajah terperangah. Ekspresinya biasa saja—seolah informasi dari kami bukan hal baru. “Ya, saya sering ke Jakarta dan menjajal kue putu asli Indonesia,” tuturnya.

Namun, katanya, kue putu di Singapura dan Indonesia berbeda. Bila hanya bicara soal bentuk, keduanya nyaris tak memiliki persamaan. Untuk menyelisik perbedaan itu, Anthony mengajak kami melihat proses memasak kue otentik ini. Kebetulan, dapur pembuatan kue putu berada di ruang terbuka, di samping tenan, dan bisa disaksikan pengunjung food court.

Pemasaknya tentu orang-orang Melayu yang tinggal di Singapura. Mereka--tiga perempuan berkulit sawo matang—fasih berbahasa Indonesia kala TEMPO bersambang. “Silakan,” kata salah seorang di antaranya menyapa. Ketiganya tampak sama-sama sedang ripuh membikin adonan kue putu dan memasaknya di atas tungku datar.

TEMPO langsung menemukan perbedaan kue putu Singapura dan Indonesia dari cetakannya. Di Indonesia, kue putu umumnya dimasak dengan cetakan sebilah bambu sehingga menghasilkan bentuk tabung atau pipa. Sedangkan di Singapura, adonan kue putu berbentuk kerucut dengan lubang udara di atasnya.

Cetakan ini menghasilkan bentuk kue yang bulat pipih, namun memiliki tekstur kerucut di bagian tengahnya. Sedangkan dari adonannya, kue putu di Singapura berwarna putih. Berbeda dengan di Indonesia yang pada umumnya berwarna hijau.

Setelah kue putu masak, kini saatnya mencoba. Kesan awal saat dihidangkan, kue putu Singapura ternyata memiliki ukuran yang lebih besar ketimbang kue putu di Indonesia. Namun, keduanya memiliki pelengkap sajian yang sama, yakni gula aren atau gula Jawa dan parutan kelapa. Lantas, bagaimana soal rasa? 

Cetakan kue putu khas Singapura yang dijual di kawasan pecinan Katong, Singapura. TEMPO/Francisca Christy Rosana

Saat pertama kali masuk mulut, kue putu yang dimasak tiga perempuan Melayu ini memiliki tekstur lembut, namun berpasir. Adonannya langsung terberai saat bersentuhan dengan gigi dan lidah. Berbeda dengan kue putu khas Indonesia yang memiliki tekstur lebih padat. 

Kue putu Singapura juga terasa lebih tawar dengan rasa gula yang tidak terlalu mendominasi. Bagi yang tidak terlalu doyan manis, kue ini cocok menjadi kudapan. Berlainan dengan kue putu di Indonesia yang umunya memiliki ciri khas rasa manis dominan. Meski begitu, keduanya tidak bisa dibandingkan keenakannya lantaran rasa masakan bergantung pada selera.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, Francisca mulai bergabung di Tempo pada 2015. Kini ia meliput politik untuk kanal nasional.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus