Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SANDIWARA musikal bertajuk Mahadaya Cinta digelar di Istora Senayan, Jakarta, pada Sabtu dua pekan lalu. Pergelaran ini adalah wujud impian Guruh Sukarno Putra sejak dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, SMP. Guruh, yang sohor di bidang seni tari modern, menyebutkan Mahadaya Cinta adalah karya pertamanya yang meleburkan seni tari, musik, dan peran ke dalam sebuah drama musikal. Dua hari menjelang pentas, Guruh menerima Eduardus Karel Dewanto dari Tempo untuk suatu wawancara. Berikut ini petikannya.
Kapan munculnya ide Mahadaya Cinta?
Ini saya idam-idamkan sejak puluhan tahun lalu. Ketika masih SMP, saya melihat musical play (sandiwara musikal) di Amerika yang berakar pada opera modern.
Mengapa perlu waktu begitu lama untuk Anda wujudkan?
Naskah ini (Mahadaya Cinta) merujuk dari luar negeri. Idealnya perlu teknologi. Tapi saya putuskan pokoknya dibikin. Akhirnya, bersama teman-teman, lagu-lagu ciptaan saya dari zaman dulu sampai mutakhir dirangkai menjadi cerita. Jadilah lakon ini, walau teknologinya minimal masih sebagai prototipe.
Apa saja kendala utama pergelaran ini?
Di Indonesia tidak ada gedung teater standar internasional seperti Esplanade di Singapura, misalnya. Gedung Kesenian Jakarta itu kuno, hanya mengandalkan artistik. Teater Tanah Airku di Taman Mini Indonesia Indah sudah mendekati standar, tapi lokasinya kurang strategis.
Mengapa memilih di Istora?
Balai Sidang Jakarta penuh. Ternyata dapatnya di sini, gedung olahraga. Padahal kami harus membangun gedung dalam gedung. Butuh biaya dan waktu persiapan dua minggu. Mau mundur sudah telanjur.
Anda harus memaksakan diri?
Ya, harus. Kalau tidak, ya, enggak akan mulai-mulai. Jika diam terus, bisa puluhan tahun tak terjadi. Ini juga untuk mengetuk hati para pengusaha atau pejabat negara agar menyadari klaim mereka tentang Indonesia yang berbudaya tinggi.
Berapa lama persiapan Anda?
Persiapan keseluruhan sudah beberapa bulan. Kan ada audisi pemeran , uji kelayakan dan kepatutan, ha-ha-ha . Itu makan waktu. Intensifnya baru Mei.
Mengapa Anda tidak menjadi sutradara?
Saya harus belajar bekerja secara simultan. Saya pengarah seni dan penggagas, lalu ada sutradara Didi (Didi Petet), koreografi Alex Hassim, dan penulis ceritera Alberthiene Endah. Dialog dan lagu dari saya, tapi aransemen oleh Dian H.P. Ini hasil kerja tim.
Tora Sudiro dan Widi AB Three terpilih menjadi pemeran utama. Apa kelebihan mereka?
Figur tokoh pas dengan mereka berdua, dari talenta sampai fisik. Banyak seniman yang bagus dan lebih senior dari mereka, tapi tidak cocok.
Apa ukuran keberhasilan Anda dalam pentas ini?
Berani membuat sudah suatu langkah maju. Menghimpun talenta anak-anak muda berbakat, baik yang tampil di pentas maupun mereka yang bekerja di belakang panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo