Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Dari Gemilang Masa Silam

Guruh Sukarno Putra menggelar drama musikal bertabur bintang. Aktor utama pergelaran ini adalah sekumpulan lagu hit Guruh dari era 1970-an.

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahadaya Cinta Sutradara: Didi Petet Cerita: Alberthiene Endah Musik: Dian HP Pemain: Tora Sudiro, Widi, Harvey Malaihollo, Dessy Ratnasari.

JOHAN Lewerisa tertunduk lemas. Hakim memvonisnya 20 tahun penjara dengan tuduhan melakukan korupsi. Jaka, sang anak, berusaha memeluk Johan, namun dua pengawal dengan garang menepisnya. Jaka ambruk berguling-guling. Istri Johan tak kalah murung—keluar dari pengadilan, para wartawan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Tak satu pun yang ditanggapi. Malah para wartawan dihalau aparat keamanan pengadilan.

Adegan ini membuka kisah cinta Jaka (Tora Sudiro), seorang mahasiswa yang kesengsem pada teman sekampus, Bulan (Widi AB Three yang tampil dengan gemilang), dalam sandiwara musikal Mahadaya Cinta karya Guruh Sukarno Putra, yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, dua pekan lalu.

Setelah prolog persidangan yang masih terlihat "tempelan", panggung seluas 24 x 20 meter persegi itu segera diisi oleh 50-an anak muda berbusana kasual. Dan kisah korupsi Johan Lewerisa (Harvey Malaihollo), tingkah polah Nyonya Johan (Dessy Ratnasari), serta pasang surut hubungan asmara Jaka-Bulan divisualisasi dalam koreografi khas Guruh yang tampil dalam siraman tata cahaya berkekuatan lebih dari 200 ribu watt, diiringi musik rampak yang perkusif dan menggedor jantung dengan daya 60 ribu watt. Pameran otot atletis para binaragawan menjadi bumbu sekuel ini.

Setelah itu, adegan berubah senyap. Sekumpulan gadis, salah satunya Bulan, berlatih menari tarian Jawa. Sekonyong-konyong, bunyi gamelan yang syahdu dihajar derum mobil Jaka yang memasuki panggung. Ia mencari Bulan, tapi urung. Jaka balik ke dalam mobil, menyalakan musik rock. Disharmoni segera muncul dari suara pentatonis gamelan yang bercampur nada-nada diatonis musik cadas. Bukan seperti eksperimen sejenis yang pernah dilakukan Guruh dengan seniman Jerman, Eberhard Schroeder, pada 1977, ketika berusaha mempertemukan dua kutub musikal "Timur" dan "Barat".

Disharmoni itu sekaligus sebagai perlambang krisis cinta Jaka-Bulan yang berujung dengan putusnya hubungan mereka. Jaka frustrasi. Cintanya hancur, keluarganya hancur. Di panggung, film dokumenter banjir besar yang menggulung Aceh tahun lalu seperti ingin menggambarkan derasnya kepedihan hati Jaka.

Mood pertunjukan kembali beralih dengan mengedepankan demonstrasi antikoruptor yang dilakukan Bulan dan teman-teman aktivis kampusnya. Di sini, musik menjadi nyinyir karena terlalu verbal. Guruh memilih lagu-lagu nasional seperti Maju Tak Gentar, bahkan Indonesia Raya, yang sulit menyelinap masuk ke dalam aura pertunjukan yang sejatinya digagas sebagai "cemilan ringan" tentang kondisi Indonesia mutakhir.

Terbukti setelah itu, Mahadaya Cinta kembali menunjukkan wujudnya yang asli sebagai potpourri dari sekumpulan lagu-lagu hit yang pernah ditulis Guruh. Motor-motor besar (ini sungguhan, bukan properti!) menderum, berseliweran di panggung. Lengkap dengan bunyi klakson dan suasana pedagang kaki lima. Kaum muda saling berpasangan, menari-nari sambil menyanyikan, apalagi, selain "anthem pergaulan" anak-anak Jakarta di era 1980-an yang pernah begitu sukses ketika dinyanyikan Denny Malik, Jalan-jalan Sore.

Dengan pola bercerita ala sandwich yang bolak-balik menyorot problem personal keluarga Jaka, dan adegan-adegan (yang dimaksudkan) untuk kritik sosial dan secuil potret kehidupan kampus, tak sulit menduga ending cerita akhirnya bermuara: kembalinya cinta sebagai kekuatan yang menyatukan. Sebuah kekuatan yang tak tertandingi. Mahadaya. Jaka dan Bulan kembali mesra. Ayah Jaka dibebaskan dari tuduhan dalam sidang banding, and they live happily ever after….

Karena Mahadaya Cinta dirancang dengan pretensi sebuah Hiburan (dengan "H" besar), apa yang diinginkan Guruh boleh dibilang tercapai. Putra bungsu Bung Karno ini sudah lama gelisah melihat ruang kosong lakon musikal di Tanah Air (lihat Wawancara dengan Guruh). Padahal, di seberang benua, karya-karya sejenis terus mengalir seperti Jesus Christ Superstar, Miss Saigon, atau Phantom of the Opera.

Sandiwara musikal ini menampilkan tata panggung yang serius. Enam dekorasi bergerak—menjaga kontinuitas adegan agar tak terputus dan siap beralih fungsi untuk adegan di penjara, kampus, ruang tamu, ruang makan, jalan raya, maupun kamar tidur. Namun, semua kerapian setting ini tetaplah sebuah setting, karena aktor utama Mahadaya Cinta, sesungguhnya, 30 lagu ciptaan Guruh, yang sebagiannya pernah menjadi hit. Umpamanya, Kala Sang Surya Gemilang, Kala Sang Surya Tenggelam, Anak Jalanan, Jalan-jalan Sore, Januari Kelabu, Mahadaya Cinta, dan lain-lain.

"Dengan Mahadaya Cinta, saya ingin bangsa ini belajar dan merenung, betapa kita sudah sangat jauh dari nilai-nilai bangsa yang selama ini kita anut," kata Guruh. Penonton yang memadati 90 persen kapasitas Istora malam itu pun tahu, pergelaran ini, sekali lagi, membuktikan fenomena "Mahadaya Guruh" di dunia industri hiburan.

Eduardus Karel Dewanto/ANB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus