Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah perang kota terjadi. Pertempuran itu berlangsung tak imbang. Tiga remaja asing terlibat baku tembak melawan dua remaja lain. Masing-masing memanfaatkan dinding batako setinggi tiga meter berbentuk labirin untuk bersembunyi. Mereka saling intai lalu memberondongkan peluru ke arah lawan.
Adegan yang menegangkan itu tidak terjadi di Bronx, wilayah keras di Kota New York, Amerika Serikat. Pelakunya juga bukan dua geng yang bersaing. Tembak-menembak seru itu meletup di Kemang, kawasan pinggir selatan Jakarta yang damai, Jumat dua pekan lalu.
Tiba-tiba salah satu di antara remaja bule itu tertembak dan mengaduh kesakitan. Namun, dia tak mati, malah tertawa setengah meringis. Maklum, ini hanya permainan. "Saya harus keluar, karena kena tembakan," ujar Andreas Christian, 12 tahun, masih terengah-engah. Keringat mengucur deras membasahi baju tentara yang kedodoran.
Arena "perang kota" itu adalah sebuah lapangan berbentuk kotak seluas 200 meter persegi. Selain dinding batako berbentuk labirin, di sana terdapat drum, jeriken, dan ban bekas yang dibiarkan tak tertata. Arena yang dikelola oleh X-Toys itu kini menjadi ajang adu tembak kegemaran warga kota.
Senjata yang dipakai dalam permainan itu bentuknya sekilas seperti senjata betulan. Setelah dipegang, baru terlihat bedanya. Hampir 99 persen senjata itu terbuat dari plastik, karenanya lazim dikenal sebagai airsoftgun. Harganya lumayan menguras kantong, Rp 4 juta hingga Rp 5 juta. Jenisnya beragam, seperti M16 Series (M4, SR 16, XM 177), MPS, AK Series (AK 47, AK 475, dan sebagainya).
Senjata-senjata itu menggunakan dinamo sebagai motor penggerak. Pelurunya terbuat dari plastik dan berbentuk bulat sebesar telur cicak. Harga peluru per kantong dengan isi 3.000 butir Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Permainan ini diselenggarakan oleh dua kelompok. Sebelum dimulai, permainan ini direkayasa dalam sebuah "skenario" lengkap dengan tema, misalnya permainan penyelamatan sandera atau bermain close quarter battle (CQB).
Christian, remaja Amerika yang tinggal bersama orang tuanya di Jakarta, menyatakan dalam sebulan bisa tiga kali main tembak-tembakan bersama teman-temannya. Sekali main dia menghabiskan uang Rp 100 ribu. Dengan uang sebesar itu, dia dapat bermain tembak-tembakan selama satu jam dan mendapat sewa senapan atau pistol, peluru 250 butir, dan baju seragam lengkap dengan masker dan goggles pelindung mata.
Bila kehabisan peluru, peserta harus mengeluarkan uang tambahan. "Mereka tinggal membayar Rp 25 ribu, kami akan memberikan 250 butir peluru lagi," kata Elly, salah seorang staf X-Toys. Bila tamu datang membawa pistol dan perlengkapan sendiri, mereka hanya dikenai sewa lapangan Rp 30 ribu per jam.
Tak cuma remaja, kalangan eksekutif muda juga menyukai permainan ini. Dalton Jusuf, 28 tahun, misalnya. Eksekutif perusahaan swasta ini hampir setiap akhir pekan menghabiskan waktunya dengan bermain airsoftgun. Dengan isi kantong yang lebih padat, Dalton bisa memiliki senjata sendiri.
Saat ini koleksinya terdiri atas empat senapan, yaitu MP47, M5, MP4, Augstayer, dan satu pucuk pistol Baretta kaliber 6 mm. Harga senjata yang tergolong standar mulai dari Rp 2,5 juta sampai Rp 3,8 juta. Jika mau dimodifikasi dengan aksesori seperti teropong, laser, atau popor, harga senjata bisa melonjak hingga Rp 5 juta per pucuk.
Dalton termasuk orang yang suka memodifikasi senjata, misalnya menambah laser atau menaikkan kecepatan peluru beberapa FPS (feet per second). "Saya pernah menaikkan kecepatan dari 2,80 menjadi 6,00 FPS. Kalau ditembakkan ke botol, botolnya bisa pecah. Bila kena orang, lumayan memar," ujarnya.
Tak mengherankan jika permainan ini bisa memicu meningkatnya adrenalin. Para pemain berusaha menembak dan sebaliknya menghindar dari berondongan peluru lawan.
Selain di arena yang kecil seperti di X-Toys, permainan ini bisa dilakukan di alam terbuka. Contohnya di lokasi Brigade 3234 Gunung Putri Bogor, Alam Sutra Tangerang, dan di perumahan yang belum dihuni.
Beberapa pecinta airsoftgun bahkan sudah mendirikan perkumpulan. Salah satunya adalah Bravo Brigade. Kelompok ini dibentuk pada 2003 dan sekarang telah memiliki 90 anggota. Setiap akhir pekan mereka biasanya berlatih di alam terbuka. Bahkan pada Mei lalu Bravo pernah mengundang polisi Amerika untuk melatih para anggotanya menembak.
Tempat berlatih yang mereka gemari adalah di Brigade 3234 Gunung Putri, Bogorlokasi yang juga sering dipakai latihan paintball. Selain di sana, lokasi lain yang disukai adalah kawasan perumahan di Cikarang, Bekasi. "Permainan di perumahan lebih seru dan lebih menantang. Karena rumah bisa dijadikan tempat bersembunyi," kata Yogi Indradi, motor Bravo Brigade.
Salah satu anggota Bravo Brigade adalah Verry Afrizal, bintang sinema elektronik. Ia mengaku tertarik bergabung karena kegiatannya tak monoton. Pertemuan sepekan sekali sering diselingi latihan menembak dan mengenal berbagai jenis senjata. "Kita diajari cara menembak yang benar, sehingga tak asal membuang peluru," ujarnya.
Bujangan asal Palembang yang bercita-cita menjadi tentara itu merasa cukup puas setelah mengetahui teknik menembak. "Siapa tahu ada wajib militer, saya sudah paham dasar menembak, meski pakai senjata mainan," kata mahasiswa semester 10 Fakultas Teknik Trisakti tersebut. Verry saat ini memiliki lima pucuk senjata, yaitu G36C, SIG552, MPS, Shoftgun Super, dan Baretta (pistol).
Semua senjata itu dibelinya dengan cara mencicil. Kalau dihitung-hitung, uang yang telah dihabiskan untuk membeli senjata sudah mencapai Rp 50 juta. Toh, Verry belum puas. "Saya mau membeli senjata yang model baru lagi. Tapi, sewaktu datang ke toko, katanya barangnya belum ada, jadi saya mesti menunggu."
Eksekutif muda lain yang gandrung bermain tembak-tembakan adalah Bambang Dwipayana, 25 tahun. Pengacara belia ini baru tiga bulan menekuni airsoftgun. Meski begitu, peralatannya sudah lengkap, mulai dari seragam dari atas sampai bawah, berikut satu senjata andalan yakni senapan MP5A2, buatan Jepang. Sekali bermain, dia bisa menghabiskan 250-500 butir peluru.
Untuk pemula, menurut Yogi, satu pucuk senjata saja memang sudah cukup. Hanya perlu dilengkapi dengan pakaian tempur yang lengkap. Total harga pakaian itu bisa mencapai Rp 2 juta3 juta. Perinciannya, baju Rp 250 ribu, rompi Rp 500 ribu1 juta, mask & goggles Rp 250 ribu, galaclava (kupluk) Rp 150 ribu, sarung tangan Rp 300 ribu, deker (pelindung lutut) Rp 500 ribu, dan sepatu Rp 200 ribu.
Namun, bagi para eksekutif muda itu, harga mahal tampaknya bukan persoalan. Lihat saja perilaku Edo Panjaitan, 31 tahun, pemilik studio film di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pemuda yang menjadi penggila airsoftgun itu selalu ingin memperoleh koleksi senjata terbaru. Padahal kini ia telah memiliki lima pucuk senjata, yaitu Glock, HK USP, Infinity, dan Hi Capa, dan satu pucuk pistol Baretta. "Saya selalu melihat perkembangan senjata dari majalah. Kalau di majalah sudah ada, belum tentu di toko ada," katanya.
Hal itu diakui Yogi, yang juga mengelola Toysaurus di Senayan Trade Center, salah satu gerai yang menyediakan peralatan airsoftgun. Tokonya sering kehabisan stok. "Banyak yang datang ke sini menanyakan senjata terbaru, tapi di kita belum ada. Jadi mereka harus menunggu," kata Yogi.
Dan penggemar baru airsoftgun tampaknya masih akan terus berdatangan. Indro Warkop, salah satunya. "Saya sudah beberapa kali nyoba, ternyata asyik. Sekarang saya tertarik untuk bergabung di klub," kata pelawak yang hobi berburu itu.
Indro mengaku menyenangi permainan ini karena sangat menegangkan. "Kita nyelinap, sembunyi, lari, nembak, lari lagi. Pokoknya, capek betul, tapi permainan ini menguji sportivitas," ujarnya.
Berbeda dengan permainan paintball yang baju pesertanya akan berwarna jika tertembak, airshoftgun relatif tak meninggalkan bekas. "Dalam permainan ini, jika ada yang tertembak, pasti orang itu berteriak. Kecuali kalau dia nahan sakit, itu tandanya dia berbohong pada diri sendiri," kata Indro. Ayo tembak, dor, dor, dor .
Eni Saeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo