Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMENTARA hari-hari sebelumnya Harkristuti Harkrisnowo lebih banyak disibukkan dengan mengajar di almamaternya, Universitas Indonesia di Depok, kini pakar hukum pidana itu juga tampak mondar-mandir menuju Gedung Bundar Kejaksaan Agung, yang ada di kawasan Blok M. Di kantor itulah sejumlah agenda penting sudah menunggunya: membahas kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan masyarakat.
Memang, sejak Januari lalu Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menunjuk Harkristuti untuk menjabat Ketua Tim Ahli Kejaksaan. Tim khusus ini diberi tugas mengkaji kasus-kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat. Menurut Abdul Rahman, tim ini akan memberi second opinion—pendapat bandingan—terhadap berbagai kasus yang ditangani Kejaksaan Agung.
Tim itu beranggotakan 13 orang, yang semuanya berasal dari luar institusi kejaksaan. Mereka, antara lain, bekas aktivis Lembaga Bantuan Hukum Bambang Widjojanto dan Dadang Tri Sasongko, praktisi hukum Iskandar Sonhadji, dan bekas anggota DPR Zein Badjeber. Tim ini berkoordinasi dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji, yang juga Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kamis pekan lalu tim itu sudah bergerak. ”Jaksa Agung meminta kami mengkaji kasus technical assistance contract (TAC) Pertamina,” kata Harkristuti. TAC memang salah satu kasus besar yang menjadi sorotan masyarakat. Kasus ini melibatkan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Direktur Ustraindo Praptono H. Tjitrohupojo, dan Menteri Pertambangan ketika itu Ginandjar Kartasasmita.
Kasus ini bermula dari perjanjian proyek pengeboran minyak di Bunyu, Prabumulih, Pendopo (Sumatera Selatan), serta Jatibarang (Jawa Barat), antara Pertamina dan Ustraindo pada Desember 1992 dan Februari 1993. Ustraindo menjamin memiliki teknologi yang bisa mengucurkan kembali isi sumur minyak yang katanya mulai mengering.
Ginandjar Kartasasmita, Menteri Pertambangan dan Komisaris Pertamina, menyetujui proyek itu. Tapi, belakangan proyek itu dinyatakan justru membuat negara rugi US$ 24,8 juta (sekitar Rp 200 miliar). Sebab, rupanya, bantuan teknologi seperti itu tak diperlukan betul. Soalnya, keempat sumur minyak di sana itu ternyata masih bisa menyemburkan isinya dengan cukup kencang. Malah, Pertamina juga mesti membayar Rp 5 miliar ditambah 200 ribu barel minyak per hari sebagai pengganti biaya uji kelayakan.
Kisah ”Ginandjar dan TAC” ini pun mencuat ramai pada November 2000. Ginandjar dianggap paling berperan menggiring pengegolan proyek yang membuat keuangan negara tergerus. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga mengaudit proyek ini. Hasilnya, menurut para auditor lembaga itu, negara dirugikan sekitar Rp 1,5 miliar.
Kejaksaan kemudian mengusut kasus ini. Kejaksaan menetapkan Faisal Abda’oe dan Direktur Utama PT Ustraindo, Praptono Honggopati Tjitrohupoyo, sebagai tersangka. Lalu bidikan yang lain tentu saja mengarah ke Ginandjar. Empat bulan kemudian, politisi kawakan Partai Golkar ini pun ditetapkan menjadi tersangka. Karena status Ginandjar kala itu adalah prajurit aktif, pemeriksaan dilakukan oleh tim penyidik koneksitas yang antara lain terdiri dari Marsekal Muda Subandi Parto, Kolonel Sonson Basar, dan Kolonel Darya Iskandar. Tapi, belakangan tim ini berubah. Subandi Parto digantikan Kolonel CPM Wahyono Hadi.
Hasil penyidikan koneksitas ini membuat Ginandjar lega. Pada 12 Oktober 2004, di pengujung tugasnya, Jaksa Agung M.A. Rachman mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk kasus yang terkait dengan Ginandjar. Menurut Jaksa Agung Rachman, Ginandjar tak terbukti melakukan kesalahan yang merugikan negara. Kesalahan yang terjadi adalah pada pengelolaan proyek itu dan itu di luar tanggung jawab Ginandjar.
Tapi, benarkah Ginandjar bisa lepas dari tanggung jawab dan tak bersalah? Seorang praktisi hukum yang pernah ikut menangani kasus Ginandjar juga menunjuk kejanggalan atas keberadaan PT Ustraindo. Menurut praktisi ini, Ustraindo itu perusahaan dadakan yang dibuat untuk ”menyambar” proyek Pertamina. ”Baru sebulan didirikan, lalu menandatangani kontrak dengan Pertamina dengan tanpa tender. Apa ini lazim?” ujarnya. Dalam penyidikan tim koneksitas, terungkap bahwa Ustraindo didirikan pada 30 November 1992. Lalu, sebulan kemudian, 31 Desember, menandatangani perjanjian TAC untuk mengeksplorasi sumber minyak di Bunyu.
Di lapangan, BPKP juga menemukan sejumlah keganjilan. Saat beroperasi, misalnya, ternyata karyawan yang dipakai Ustraindo karyawan Pertamina. Menurut BPKP, salah satu penyebab kacaunya proyek ini di lapangan adalah tak rincinya isi perjanjian antara Pertamina dan Ustraindo. ”Jadi, jelas di sini kesalahan itu sudah sejak awal. PT itu tidak punya modal, tidak punya karyawan, dan akibatnya Pertamina dirugikan. Ini kan tanggung jawab Ginandjar yang ikut menandatangani kontrak itu,” kata sumber Tempo ini.
Sumber Tempo tersebut meyakini, jika ketika itu penyidik benar-benar melakukan kewajibannya, SP3 untuk Ginandjar tak mungkin keluar. ”Semua ini sudah diatur. Kaki tangan Ginandjar sudah masuk ke mana-mana,” ujar praktisi hukum itu.
Sumber yang dekat dengan kalangan kejaksaan itu juga bertutur adanya upaya kuat menyingkirkan para penyidik yang dinilai bisa merugikan tersangka. Salah satunya adalah penyidik dari tim koneksitas, Marsekal Muda Subandi Parto, yang kemudian diganti Kolonel Wahyono Hadi.
Tapi, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer, Brigadir Jenderal Hendardji, membantah soal ini. ”Tidak ada itu. Tak ada campur tangan orang luar terhadap penyidikan kasus ini,” katanya. Hanya, Hendardji mengaku penyidikan yang dilakukan tim koneksitas dulu itu tak maksimal. ”Harusnya penyidik mempunyai target,” ujarnya. Karena itu, Pusat Polisi Militer, kata Hendardji, siap membantu jika kasus ini dibuka kembali. ”Ini kasus besar,” ujar Hendardji.
Sampai Jumat pekan lalu, tim ahli kejaksaan memang masih terus menelaah kasus ini. ”Kami masih terus mengumpulkan dokumen yang terserak di mana-mana dan mempelajarinya,” kata Harkristuti. Selain memeriksa tumpukan dokumen yang ada, ”tim Harkristuti” kini sedang mempertimbangkan untuk memanggil para jaksa yang dulu menangani kasus Ginandjar.
Bambang Widjojanto, salah satu anggota tim, menyatakan timnya akan menyelesaikan ”PR” pertamanya ini secepat mungkin. ”Jaksa Agung tidak memberi target, tapi kami akan secepat mungkin menyelesaikan kasus ini,” ujarnya kepada Sita Planasari dari Tempo.
Ginandjar sendiri agaknya tak gentar jika kasus TAC yang melibatkan nama dirinya dicoba dibongkar kembali oleh tim ahli kejaksaan. ”Silakan dikaji ulang,” ujarnya. Menurut Ginandjar, meskipun ditambah biaya penyusutan aset dan penyusutan cadangan, negara dan Pertamina masih diuntungkan.
Pengacara Ginandjar, M. Assegaf, juga yakin kliennya tak bersalah. ”Penyidikan kasus ini dulu sudah melibatkan tim ahli dari luar, dan bukti yang ada menyimpulkan Pak Ginandjar tak bersalah. Lha, sekarang kok ada tim yang mau memberi second opinion,” katanya. Menurut Assegaf, adanya tim semacam ini justru akan membuat proses hukum menjadi rancu. ”SP3 hanya bisa dibuka jika ada bukti baru, bukan oleh second opinion,” kata Assegaf.
L.R. Baskoro
Jejak Ginandjar di Kejaksaan
SURAT perintah penghentian penyidikan (SP3) yang sudah digenggam Ginandjar Kartasasmita selama ini bisa jadi belum menjamin salah satu menteri di era Orde Baru ini aman dan leluasa. Pihak aparat hukum berjanji segera mengkaji kembali kasus pertamina, termasuk yang melibatkan Ginandjar. Inilah perjalanan kasus Ginandjar.
November 2000 Kasus kontrak bantuan teknis (TAC, technical assistance contract) antara PT Ustraindo Petro Gas dan Pertamina, yang diduga merugikan negara US$ 24, 8 juta, mencuat ke publik. Kejaksaan menetapkan Direktur Utama Pertamina Faisal Abda’oe dan Direktur Utama PT Ustraindo Petro Gas Praptono H. Tjitrohupoyo sebagai tersangka.
Maret 2001 Ginandjar dijadikan tersangka karena menyetujui kontrak itu. Kejaksaan belum bisa memeriksanya karena Ginandjar sedang di Boston.
21 Maret 2001 Kejaksaan Agung menahan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe. Tim pengacara Ginandjar menyatakan kliennya tidak diperiksa karena tidak ada izin dari Panglima TNI. Ginandjar ketika itu adalah perwira aktif berpangkat marsekal madya.
3 April 2001 Tim pengacara Ginandjar mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
17 April 2001 Putusan praperadilan menyatakan penahanan Ginandjar tidak sah sebelum tanggal 9 April. Tak ada perintah untuk mengeluarkan Ginandjar dari tahanan.
19 April 2001 Ginandjar mengajukan lagi gugatan praperadilan. Menurut dia, penahanan dirinya tidak sah.
2 Mei 2001 Ginandjar keluar dari tahanan berdasarkan putusan praperadilan yang kedua. Kejaksaan mengajukan kasasi ke MA. Penyidikan dilanjutkan dengan membentuk tim koneksitas. Kejaksaan membebaskan tersangka Faisal Abda’oe dan Praptono.
Maret 2002 MA mengabulkan kasasi kejaksaan. Putusan ini membatalkan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. MA memerintahkan penyidikan dilanjutkan.
Mei 2002 Kejaksaan membentuk tim penyidik koneksitas, tim gabungan TNI dan Kejaksaan Agung. Personelnya lima orang.
Juni 2002 Penyidik koneksitas memulai pemeriksaan kasus TAC.
Juni 2002 Kejaksaan menutup kasus TAC. Alasannya, Faisal Abda’oe wafat.
24 September 2002 Tim Penyidik Koneksitas dan BPKP mulai mengaudit proyek TAC.
1 Oktober 2004 Ginandjar dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah.
19 Oktober 2004 Jaksa Agung M.A. Rachman menyatakan kejaksaan telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas kasus Ginandjar. Alasannya, Ginandjar tak terbukti merugikan keuangan negara.
21 Oktober 2004 Abdul Rahman Saleh dilantik menjadi Jaksa Agung.
Januari 2005 Abdul Rahman Saleh membentuk tim ahli Kejaksaan Agung yang antara lain bertugas mengkaji berbagai kasus yang menjadi sorotan masyarakat.
5 Mei 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim pemberantasan tindak pidana korupsi yang diketuai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji.
6 Juli 2005 Jaksa Herdarman Supandji menyatakan pihaknya mulai mengkaji kasus Pertamina yang melibatkan Ginandjar.
LRB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo