Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Klaten - Menjelajahi pabrik peninggalan masa kolonial Belanda yang masih “perawan” alias belum dikelola menjadi obyek wisata merupakan impian para penggemar wisata sejarah. Namun, tidak mudah mewujudkan mimpi itu, terutama di pabrik yang dikuasai swasta seperti Pabrik Karung Goni Delanggu. “Kalaupun bisa masuk karena kenal penjaganya, anda tetap dilarang memotret di dalam,” kata Nugroho, fotografer profesional yang pernah menelusuri pabrik yang menjadi ikon kota Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, itu.
Baca: Sungai Pusur Klaten Dulu Jadi Tempat Sampah, Sekarang Bawa Berkah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski demikian, sejumlah pemuda di Dukuh Kuncen, dukuh di timur pabrik Karung Goni Delanggu, tak kehabisan akal untuk mengangkat kembali kisah kejayaan masa lalu Delanggu yang tersembunyi di balik kokohnya tembok pabrik berumur lebih dari seabad itu. “Warisan industri kawasan pabrik peninggalan Belanda kan tidak terbatas pada bangunan pabriknya. Masih banyak bangunan lain di sekitarnya yang menarik tapi jarang dilirik,” kata Pitut Saputra, warga Dukuh Kuncen, Desa Delanggu, Kecamatan Delanggu, yang menginisiasi gerakan Bersih Sungai Pleret, saat ditemui Tempo pada Kamis, 16 Mei 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungai Pleret adalah salah satu cabang dari Sungai Pusur yang berhulu di Kabupaten Boyolali. Sungai Pleret bisa dibilang sungai buatan pada masa kolonial Belanda untuk menggerakkan mesin-mesin bertenaga uap di Pabrik Gula Delanggu (sebelum difungsikan menjadi pabrik karung goni). “Aliran Sungai Pleret itu masuk ke pabrik dari sisi barat dan keluar lewat sisi utara pabrik. Dulu, di balik tembok pabrik itu ada kincir airnya,” kata Pitut. Dalam Bahasa Jawa, pleret dapat diartikan pintu air dengan struktur tanggul miring dan curam. Meski prasasti atau penanda kapan pembangunannya belum ditemukan, pintu air Sungai Pleret di Dukuh Kuncen itu diyakini sama tuanya dengan Pabrik Karung Goni Delanggu.Cerobong asap pabrik kopi peninggalan masa kolonial Belanda di kawasan obyek wisata Green Canyon Mini Socokangsi di Desa Socokangsi, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten. Tempo/Dinda Leo Listy
Menurut data yang dihimpun Tempo, Pabrik Gula Delanggu dibangun pada 1917. Pada 1933, pabrik gula itu ditutup karena dampak dari masa malaise (krisis ekonomi pada dekade 1920-an). Pada 1934, pabrik itu difungsikan sebagai pabrik karung goni. Pada 1992, pabrik karung yang dikelola PTPN XVII itu berhenti beroperasi karena tingginya ongkos produksi. Kini, pabrik yang termasuk sebagai benda cagar budaya itu dimiliki PT Dunia Hijau Indah.
Meski tidak sederas induknya Sungai Pusur, Sungai Pleret juga memiliki potensi pariwisata jika digarap secara serius. Dari sisi artistik, Sungai Pleret bak parit pertahanan pada kastil-kastil di Eropa, memisahkan kawasan utama Pabrik Karung Goni Delanggu dengan sub kawasan permukiman di sisi utaranya. Sayangnya sebagian bangunan bekas tempat tinggal karyawan pabrik itu kini rusak dan tidak terawat. Kendati demikian, bangunan-bangunan berarsitektur kolonial Belanda itu masih menjadi magnet bagi para penggemar wisata sejarah untuk menelusuri jejak kejayaan Delanggu pada masa lalu.
Pada 14 Mei 2017, kompleks bangunan tua di kawasan Pabrik Karung Goni Delanggu, termasuk di Dukuh Kuncen, menjadi salah satu destinasi kegiatan Laku Lampah, komunitas pertama di Kota Solo yang berkonsentrasi dalam upaya pelestarian sejarah.
Dari sisi historis, Sungai Pleret juga sebagai bukti bahwa Delanggu yang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Tengah pernah menjadi pusat perkebunan tebu. Dengan sistem irigasinya yang memecah Sungai Pusur menjadi beberapa anak sungai, Belanda berupaya menggenjot produktivitas perkebunan tebu yang terhampar di Delanggu. Dalam jurnal Gambaran Kepentingan Politik Kelompok Komunis di Indonesia: Pemogokan Buruh di Delanggu 1948 karya Dyah Ayu Anggraheni Ayuningtyas disebutkan bahwa luas lahan tebu di Delanggu pada 1871 mencapai 404 bau dengan hasil produksi 16.183 pikul.
*
Ahad lalu, Pitut bersama sejumlah warga Dukuh Kuncen bergotong-royong membersihkan pintu air Sungai Pleret. Setelah terbebas dari endapan sampah, cekungan di bawah pintu air itu ditebari ikan untuk wahana pemancingan. “Ada sekitar 50 kilogram ikan dari berbagai jenis yang kami tebar. Ikan itu sumbangan dari beberapa donatur,” kata pemuda yang bekerja sebagai driver Go-Jek itu.
Cukup dengan menyumbang Rp 10.000, pengunjung bebas memancing ikan di pintu air bersejarah tersebut selama 12 jam. Uang sumbangan itu sebagian untuk membeli benih ikan yang dibudidayakan dengan keramba jaring di Sungai Pleret. “Sebagian lagi untuk mendanai Gerakan Bersih Sungai Pleret. Sebab, gotong-royong bersih sungai musti berkelanjutan, tidak cukup satu-dua kali,” kata Pitut.
Di sela kesibukan mengelola Gerakan Bersih Sungai Pleret, Pitut dan rekan-rekannya juga rajin berselancar di internet untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan sejarah Pabrik Karung Goni Delanggu. “Berbekal data itu, kami bisa membuka obrolan seputar sejarah Delanggu dengan para pemancing. Tujuannya agar masyarakat turut peduli terhadap upaya pelestarian sejarah di Delanggu,” kata Pitut.
Baca: Arung Jeram Sungai Pusur Klaten, Ban Traktor dan Tangan Kosong
Salah satu pemancing di pintu air Sungai Pleret, Anung Pamadya, mengatakan Gerakan Bersih Sungai Pleret sekaligus menjadi gerbang untuk gerakan selanjutnya yang berfokus menggali potensi wisata sejarah di Delanggu. “Kalau digarap serius dan profesional, potensi wisata sejarah di Delanggu bisa membawa berbagai dampak positif,” kata warga Perumahan Delanggu Regency itu.