Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Jadi Korban Pencopetan di Kereta Itu Harus Banyak Ikhlas

Aku sedang berselancar di Instagram ketika kereta berhenti di Stasiun Sudirman saat mengetahui peristiwa pencopetan itu.

26 Februari 2019 | 11.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penumpang bersiap menaiki gerbong kereta di Stasiun Bekasi Timur yang baru beroperasi, di Bekasi, 8 Oktober 2017. Stasiun ini beroperasi berbarengan dengan rute kereta baru Jakarta Kota - Cikarang. Tempo/Fakhri Hermansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pencopetan adalah peristiwa yang jamak terjadi di tempat-tempat kerumunan seperti di dalam kereta. Tapi, tak selalu pencopetan itu direspons dengan mengamuk hingga menyebabkan kekerasan baru. Kisah ini bisa jadi salah satunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang bapak-bapak tampak gusar. Kedua tangannya gesit meraba saku-saku celana dan saku kemeja yang menempel di dada kirinya. Telepon genggamnya raib. Kejadian itu hanya barang sedetik setelah pintu otomatis menutup. “Ah, yasudahlah,” katanya akhirnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aku sedang berselancar di Instagram ketika kereta berhenti di Stasiun Sudirman. Stasiun pertama setelah Manggarai. Kereta akan mengakhiri perjalanan di stasiun Tanah Abang setelah melewati stasiun Karet. Waktu menjelang siang di kali ke 17 aku naik kereta hendak ke kantor.

Di gerbong aku berdiri, hampir tujuh puluh persen penumpang turun. Aku sendiri turun dulu untuk memudahkan penumpang lain yang mau keluar. Setelah semua turun, baru aku naik lagi. Plong. Pintu otomatis menutup. Kereta beranjak.

Daerah Sudirman memang salah satu pusat bisnis di DKI Jakarta.

Tiba-tiba seorang bapak-bapak di dekatku tampak grasak grusuk. Kedua tangannya lincah meraba saku celana dan kemejanya. Beberapa kali ia meraba saku kemeja yang menempel di dada kirinya. Beberapa kali juga ia meraba saku samping dan belakang celananya.

Karena begitu banyaknya penumpang tadi dari stasiun Manggarai, aku tidak tahu persis si Bapak ini penumpang baru naik di stasiun Sudirman atau tidak. Tapi aku menduga ia bukan penumpang baru.

“Kenapa Pak?” aku bertanya.

“HP-ku, kayaknya ada yang ambil,” katanya.

Ia cek lagi saku-saku di celana dan kemejanya. Benar, raib.

Penumpang-penumpang lain menunjukkan empati. Ada yang mencoba menduga-duga. Mungkin HP-nya tadi diambil pas penumpang banyak yang turunKayaknya dari tadi Bapak sudah diintai. Tadi emang taruh di mana Pak? Waduh, kalau hilang di kereta mah gak bakal ketemu. Kemarin malam ada juga yang kecopetan di stasiun Tanah Abang. Dan lain-lain.

Si Bapak sempat tampak lemas. Tapi, “Ah sudahlah,” katanya akhirnya. Mukanya berubah biasa saja seperti tak terjadi apa-apa. Kecopetan di kereta memang bentuk kehilangan paling ikhlas.

Mau berkata apa lagi?

Dua kata yang diucapkan si Bapak itu memang ampuh menenangkan suasana. Tak ada lagi duga-duga yang tidak membantu. Semua kembali pada posisi nyaman masing-masing.

Pada dasarnya mental copet memang masih digemari sebagian orang. Apalagi di kereta sistem keamanannya belum memadai, misalnya belum ada CCTV. Sehingga ketika terjadi copet, tidak ada usaha lain yang perlu dilakukan selain mengikhlaskan. Karena berusaha menemukan pencopet hanya akan membuat kita tampak bodoh. Untuk pencopetan yang terjadi di tempat-tempat kerumunan seperti di dalam kereta, memang harus banyak memanjangkan usus agar bisa ikhlas. 

 

Tulisan ini sudah tayang di Martinrambe

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus