PERKARA perdata biasa saja. Tapi cukup menarik, sebab menyangkut
dua gereja Protestan di Blitar, Jawa Timur. Dua pihak berebut
sebuah bangunan gereja peninggalan penjajah Belanda di Jalan
Sudirman.
Pimpinan pusat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB)
menggugat rekannya, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW).
Tuntutannya: agar Harirekso Hariwibowo, Ketua Majelis Jemaat
GKJW 'mengembalikan' gedung gerejanya kepada jemaat GPIB.
Sampailah urusan dua gereja Protestan itu ke pengadilan segala.
Penggugat, yang diwakili oleh dua anggota jemaat GPIB, J. Siam
dan SC Siahaya, mengklaim bangunan gereja Belanda itu hak
miliknya. Sebab, katanya, gereja itu dulunya milik de
Protestanse Gemeente te Blitar. Lalu namanya berubah-ubah. Mulai
dari Indische Kerk menjadi de Protestanse Kerk in Nederlands
Indie yang bahasa sininya disebut GPI (Gereja Protestan di
Indonesia).
GPI sendiri, katanya, sejak 1948 berkembang menjadi 4 badan
gerejani yang berdiri sendiri-sendiri: Gereja Masehi Injili
(1934) yang berpusat di Tomohon, Gereja Protestan Maluku di
Ambon, Gereja Masehi Injili di Timor (1947) dan kemudian GPIB
(1948) di Jakarta. Jadi berdasarkan sejarah tersebut, GPIB boleh
merasa menjadi ahli waris sah bangunan gereja yang sekarang
menjadi tempat kebaktian GKJW.
Soal Apa?
Tapi pihak tergugat, Harirekso, tak mau tahu segala sejarah lama
tersebun Yang ia ketahui, gereja yang dipersengketakan itu,
dulunya memang dikenal sebagai gereja Belanda dan dibiarkan
kosong melompong sejak zaman pendudukan Jepang 1942. Adalah
Sutoadi Samino dari GKJW, 1945, minta izin pemerintah setempat
untuk boleh memanfaatkan gereja kosong itu. Sejak itulah GKJW
Blitar giat di sana. "Jadi selama 30 tahun lebih tak seorangpun
mengganggu gugat -- bahkan di Blitar sinipun tak dikenal ada
jemaat GPIB," ujar Harirekso.
Mengapa belakangan jadi kisruh? Tampaknya cuma soal sepele saja.
Harirekso bilang, baik Siam maupun Siahaya, mula-mula anggota
jemaat GKJW juga Dua tahun lalu mendadak mereka bersama 7
anggota jemaat lain membuat pernyataan keluar dari GKJW. Mereka
membentuk semacam panitia, yang disebutnya, untuk mempersiapkan
lahirnya kembali GPIB Blitar. Untuk apa? "Soal prinsip sekali,"
kata Siam. Soal keimanan? Ternyata masalah "pelayanan kepada
umat", tutur Siam.
Harirekso bukannya tak mengerti kemauan Siam dkk. Ke 9 pelopor
GPIB Blitar, menurut Harirekso, memang tak faham bahasa Jawa
--bahasa pengantar dalam kebaktian GKJW. Tapi, "kami 'kan sudah
berusalla menggunakan bahasa Indonesia tiga kali sebulan?",
katanya. Jadi, sebenarnya, gereja Jawa itu pun hanya menggunakan
bahasa daerah sebulan sekali saja. Kurang apa lagi?
Tapi sementara itu panitia pihak Siam minta agar GKJW
mengizinkan GPIB ikut menggunakan gereja bersama-sama. GKJW
serta-merta menolak permintaan itu. Harirekso memandang
cara-cara Siam dkk hanyalah sebagai usaha memecah-belah
persekutuan gereja sesama anggota DGI (Dewan Gereja Indonesia).
Harirekso mengingatkan persetujuan DGI dan penegasan sidang
Badan Pekerja Lengkap DGI bulan April lalu di Palangkaraya.
Yaitu, "di tempattempat ada jemaat sesama anggota DGI hendaknya
tidak didirikan jemaat baru oleh gereja yang tidak mempunyai
jemaat di tempat yang bersangkutan," kata Harirekso. Dan jemaat
yang sudah lebih dulu ada bergereja hendaknya rela menyambut dan
melayani warga gereja anggota DGI lain.
Ditolak permintaannya bukan membuat Siam dkk mundur. Mereka,
kemudian malah menggugat ke pengadilan agar GKJW menyerahkan
gedung gerejanya. Untungnya keputusan pengadilan cepat
menyelesalkan sengketa mereka. Setelah sidang 10 kali, majelis
hakim Pengadilan Negeri Blitar, yang dipimpin Hakim Sukarno SH,
sampai pada keputusannya: Gugatan Siam dkk ditolak
mentah-mentah. GPIB memang ada hubungan dengan de Protestanse
Gemeente te Blitar tempo dulu sebagai pemilik gereja Belanda.
Tapi hubungan itu tak lebih sekedar kaitan organisasi. Bukan
dalam soal waris-mewaris harta peninggalannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini