Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Memperebutukan Gereja Belanda

Gugatan pimpinan pusat Gereja Protestan di Indonesia bagian barat (GPIB) terhadap Gereja Kristen Awi Wetan (GKJW) agar mengambalikan gedung gereja yang dipakainya. Ditolak PN Blitar, Ja-tim. (hk)

2 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKARA perdata biasa saja. Tapi cukup menarik, sebab menyangkut dua gereja Protestan di Blitar, Jawa Timur. Dua pihak berebut sebuah bangunan gereja peninggalan penjajah Belanda di Jalan Sudirman. Pimpinan pusat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) menggugat rekannya, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Tuntutannya: agar Harirekso Hariwibowo, Ketua Majelis Jemaat GKJW 'mengembalikan' gedung gerejanya kepada jemaat GPIB. Sampailah urusan dua gereja Protestan itu ke pengadilan segala. Penggugat, yang diwakili oleh dua anggota jemaat GPIB, J. Siam dan SC Siahaya, mengklaim bangunan gereja Belanda itu hak miliknya. Sebab, katanya, gereja itu dulunya milik de Protestanse Gemeente te Blitar. Lalu namanya berubah-ubah. Mulai dari Indische Kerk menjadi de Protestanse Kerk in Nederlands Indie yang bahasa sininya disebut GPI (Gereja Protestan di Indonesia). GPI sendiri, katanya, sejak 1948 berkembang menjadi 4 badan gerejani yang berdiri sendiri-sendiri: Gereja Masehi Injili (1934) yang berpusat di Tomohon, Gereja Protestan Maluku di Ambon, Gereja Masehi Injili di Timor (1947) dan kemudian GPIB (1948) di Jakarta. Jadi berdasarkan sejarah tersebut, GPIB boleh merasa menjadi ahli waris sah bangunan gereja yang sekarang menjadi tempat kebaktian GKJW. Soal Apa? Tapi pihak tergugat, Harirekso, tak mau tahu segala sejarah lama tersebun Yang ia ketahui, gereja yang dipersengketakan itu, dulunya memang dikenal sebagai gereja Belanda dan dibiarkan kosong melompong sejak zaman pendudukan Jepang 1942. Adalah Sutoadi Samino dari GKJW, 1945, minta izin pemerintah setempat untuk boleh memanfaatkan gereja kosong itu. Sejak itulah GKJW Blitar giat di sana. "Jadi selama 30 tahun lebih tak seorangpun mengganggu gugat -- bahkan di Blitar sinipun tak dikenal ada jemaat GPIB," ujar Harirekso. Mengapa belakangan jadi kisruh? Tampaknya cuma soal sepele saja. Harirekso bilang, baik Siam maupun Siahaya, mula-mula anggota jemaat GKJW juga Dua tahun lalu mendadak mereka bersama 7 anggota jemaat lain membuat pernyataan keluar dari GKJW. Mereka membentuk semacam panitia, yang disebutnya, untuk mempersiapkan lahirnya kembali GPIB Blitar. Untuk apa? "Soal prinsip sekali," kata Siam. Soal keimanan? Ternyata masalah "pelayanan kepada umat", tutur Siam. Harirekso bukannya tak mengerti kemauan Siam dkk. Ke 9 pelopor GPIB Blitar, menurut Harirekso, memang tak faham bahasa Jawa --bahasa pengantar dalam kebaktian GKJW. Tapi, "kami 'kan sudah berusalla menggunakan bahasa Indonesia tiga kali sebulan?", katanya. Jadi, sebenarnya, gereja Jawa itu pun hanya menggunakan bahasa daerah sebulan sekali saja. Kurang apa lagi? Tapi sementara itu panitia pihak Siam minta agar GKJW mengizinkan GPIB ikut menggunakan gereja bersama-sama. GKJW serta-merta menolak permintaan itu. Harirekso memandang cara-cara Siam dkk hanyalah sebagai usaha memecah-belah persekutuan gereja sesama anggota DGI (Dewan Gereja Indonesia). Harirekso mengingatkan persetujuan DGI dan penegasan sidang Badan Pekerja Lengkap DGI bulan April lalu di Palangkaraya. Yaitu, "di tempattempat ada jemaat sesama anggota DGI hendaknya tidak didirikan jemaat baru oleh gereja yang tidak mempunyai jemaat di tempat yang bersangkutan," kata Harirekso. Dan jemaat yang sudah lebih dulu ada bergereja hendaknya rela menyambut dan melayani warga gereja anggota DGI lain. Ditolak permintaannya bukan membuat Siam dkk mundur. Mereka, kemudian malah menggugat ke pengadilan agar GKJW menyerahkan gedung gerejanya. Untungnya keputusan pengadilan cepat menyelesalkan sengketa mereka. Setelah sidang 10 kali, majelis hakim Pengadilan Negeri Blitar, yang dipimpin Hakim Sukarno SH, sampai pada keputusannya: Gugatan Siam dkk ditolak mentah-mentah. GPIB memang ada hubungan dengan de Protestanse Gemeente te Blitar tempo dulu sebagai pemilik gereja Belanda. Tapi hubungan itu tak lebih sekedar kaitan organisasi. Bukan dalam soal waris-mewaris harta peninggalannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus