Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Berita Tempo Plus

Jejak Bosscha di Papandayan

Mendaki Papandayan dengan sepeda amat mengasyikkan. Sepanjang jalan, terhampar perkebunan teh warisan Albert Bosscha.

21 Februari 2005 | 00.00 WIB

Jejak Bosscha di Papandayan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HARI masih pagi. Meski kabut masih menyelimuti puncak-puncak gunung dan lembah-lembah di kawasan Pangalengan, Jawa Barat, kami sudah bersimbah keringat. Otot kaki mulai pegal karena harus mengayuh sepeda di atas jalan berbatu dan menanjak. Tak sampai lima belas menit, tarikan napas saya mulai terputus-putus, paru-paru terasa seperti terbakar.

Pagi itu kami berenam—saya bersama empat rekan sekantor dan satu teman dari Bandung—memulai perjalanan berbau petualangan di kaki Gunung Papandayan. Kami mengawali perjalanan bersepeda pada awal Januari 2005 itu dari Sedep, salah satu bagian perkebunan teh Malabar yang berjarak sekitar 50 kilometer selatan Kota Bandung. Tekadnya, menaklukkan jalur sepanjang perkebunan teh hingga mencapai kawah pada ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut.

Sebenarnya akses ke kawah Papandayan bisa ditempuh dari dua arah: Cisurupan (Garut) dan Pangalengan (Bandung). Kami memilih jalur yang kedua. Selain medannya lebih menantang untuk bersepeda, pemandangan alam yang tersaji juga lebih menarik. Ini segera bisa kami nikmati begitu mengayuh sepeda dari Sedep. Sepanjang jalur, terhampar perkebunan teh yang luas. Hijaunya rerimbunan tanaman teh dan sejuknya udara di sana membuat perjalanan terasa menyenangkan, kendati napas kami tersengal-sengal.

Terbentang sepanjang kira-kira 20 kilometer, perkebunan teh itu memiliki luas 6.300 hektare. Usianya sudah lebih dari satu abad. Perkebunan ini dirintis sejak 1890, menyusul diterapkannya cultuur stelsel—peraturan tanam paksa—oleh pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu tak sedikit pengusaha Belanda yang membuka perkebunan di Indonesia dengan memanfaatkan pekerja-pekerja pribumi. Salah satunya Karel Albert Rudolf Bosscha, yang mengarsiteki perkebunan di kawasan Malabar.

Bosscha, yang lahir di Delf, Belanda, hijrah ke Indonesia pada 1878, saat ia masih berusia 22 tahun. Mula-mula ia membantu pamannya mengurus perkebunan teh di Sinagar, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Setelah dewasa dan kenyang pengalaman, Bosscha membuka sendiri perkebunan di Malabar. Sejumlah jejak telah ditinggalkan Bosscha sepanjang 32 tahun mengelola perkebunan teh di sana. Dari tangan dinginnya lahir dua pabrik teh: Malabar dan Tanara. Ia juga membangun sejumlah tea house yang hingga kini masih berdiri. Semua "warisan"-nya sekarang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara VIII, sebuah perusahaan perkebunan milik pemerintah.

Pengusaha Belanda itu pula yang dulu membangun jalan setapak yang melintas ke segala arah di areal perkebunan teh. Tujuannya untuk memudahkan pengangkutan, pemeliharaan, dan pengontrolan hasil produksi teh. Belakangan, jalur-jalur ini juga dipakai para turis untuk berekreasi, menikmati segarnya hawa pegunungan dan panorama alam di sekitar perkebunan.

Bosscha begitu mencintai Malabar. Ketika wafat pada 26 November 1928, jasadnya pun dimakamkan di antara rerimbunan perkebunan teh di sana. Rumah sekaligus tempat kerjanya dan makamnya kini menjadi tempat tujuan wisata sejarah yang ramai dikunjungi orang. Bosscha juga meninggalkan warisan stasiun peneropong bintang di Lembang, Bandung, yang sampai sekarang masih berguna.

Jangan lupa, jalan berbatuan sepanjang 10 kilometer yang kami susuri pagi itu juga buah karya Bosscha. Jalan ini berujung di Cibatarua, desa terakhir di kaki gunung. Selanjutnya, kami mesti melewati jalan tanah sepanjang 15 kilometer untuk mencapai kawah Papandayan. Kendati tak terlalu terjal, perjalanan ini terasa melelahkan karena stamina kami sudah mulai terkuras. Hanya keinginan yang kuat untuk bisa menikmati pemandangan dari kawah dan juga puncak Papandayan yang membuat kami terus mengayuh sepeda.

Keindahan puncak Papandayan sudah terkenal sejak zaman Belanda. Ini terungkap dalam beberapa brosur yang diterbitkan "Bandoeng Vooruit", sebuah perkumpulan penggemar wisata di Bandung, pada 1930-an. Di sana Gunung Papandayan selalu dipromosikan nomor satu. Anggota perkumpulan itu telah membuka jalur pendakian, berupa jalan yang bisa dilalui kendaraan ke kawah Papandayan dari arah Garut sekitar tahun 1935. Sejak itu, puluhan wisatawan mengalir ke Papandayan setiap pekan. Bahkan, sepanjang 1941, Bandoeng Vooruit berhasil mendatangkan 200 ribu turis asing ke Kota Bandung, yang waktu itu baru berpenduduk sekitar 226 ribu jiwa. Setengah dari turis-turis itu melancong ke Papandayan.

Hanya, semangat kami kembali mengendur ketika mencapai ketinggian sekitar 2.000 meter pada sore hari. Bukan saja karena semakin letih, kami juga terusik pemandangan di sekitar jalan. Selain ladang kentang dan kubis, kami juga melewati hutan pinus yang gundul. Menurut Asep, seorang pencinta alam asal Bandung yang kami temui, penggundulan hutan itu terjadi sejak krisis melanda negeri ini pada 1997. Kini setidaknya 29 ribu hektare dari 124 ribu hektare hutan kawasan Papandayan telah rusak parah.

Dengan tenaga yang terkuras habis, akhirnya kami sampai ke sebuah pertigaan: ke kanan turun ke Cileuleuy, ke kiri naik menuju kawah Papandayan. Karena benar-benar sudah letih, kami memutuskan membuka tenda dan bermalam. Target untuk bisa mencapai kawah hari itu diurungkan.

Esoknya, pagi-pagi kami kembali mengayuh pedal. Istirahat panjang membuat perjalanan terasa lebih ringan. Tepat pukul tujuh pagi, kami tiba di kawah Papandayan. Sebelum meletus pada November 2002, Papandayan memiliki dua kawah: Emas dan Nangkrak. Sekarang terhampar lima kawah: Kawah Emas dan empat kawah lain yang disebut Kawah 2002. Kawah Nangkrak telah tertimbun letusan lahar. Di kanan dan kiri kelima kawah itu menjulang tebing cadas setinggi 200 meter berwarna putih, dan beberapa bagian berwarna kuning keemasan.

Puas menikmati panorama kawah, kami lalu naik ke puncak Papandayan dengan berjalan kaki. Sepeda kami titipkan di sebuah pos di dekat kawah karena tidak mungkin mengayuh sepeda sampai ke puncak. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk mencapai puncak.

Pemandangan dari ketinggian 2.665 meter di atas permukaan laut itu sungguh menakjubkan. Di sebelah timur, Kota Garut terlihat samar-samar. Di sebelah barat, perkebunan teh terhampar bagai permadani raksasa. Menghadap ke utara, kami melihat Gunung Puntang berdiri menantang. Lalu, di selatan tampak garis biru Lautan Hindia menyajikan panorama yang mempesona. Hilanglah segala kepenatan sehari sebelumnya setelah berjam-jam mengayuh sepeda.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus