Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kaghati merupakan layang-layang tradisional masyarakat Suku Bangsa Muna, Sulawesi Tenggara. Masyarakat setempat mengenal layang-layang ini dengan sebutan kaghati kolope. Layang-layang ini dibuat dari daun ubi yang dikeringkan, lalu dianyam dengan serat nanas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah layang-layang ini bermula sekitar 4.000 tahun silam pada masa purba, ada suami-istri bernama La Pasinda dan Wa Mbose serta anaknya di Gua Sugi Patani, Desa Liang Kabori, Pulau Muna. Saat itu, mereka dilanda kelaparan lantaran kekurangan bahan makanan. Lalu suatu malam, La Pasinda bermimpi diberitahu ada yang bisa tumbuh dari dalam tanah. Namun, terdapat syarat yang harus La Pasinda lakukan, yaitu menyembelih satu anaknya, seperti dilansir dgip.go.id.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
La Pasinda pun terpaksa menyembelih anaknya tanpa diketahui oleh sang istri dan membagi tubuhnya menjadi empat. Kemudian, tumbuhan yang dikenal dengan nama kolope atau ubi hutan tumbuh. Setelah itu, La Pasinda mengambil daun kolope yang gugur dan mencoba menerbangkannya. Daun tersebut ternyata dapat melayang-layang di udara. Akibatnya, La Pasinda berinisiatif membuat kaghati kolope dari daun kolope.
Menurut bahasa Muna, kaghati berarti jepitan, roo berarti daun, dan kolope berarti buah dari ubi gadun. Dari kata tersebut, kaghati roo kolope berarti layang-layang tradisional yang terbuat dari daun ubi hutan dan daunnya dijepit. Layang-layang tradisional dari Pulau Muna ini terbuat dari lembaran daun kolope yang telah kering kemudian dipotong ujung-ujungnya.
Mengacu kemdikbud.go.id, sejarah kaghati kolope berdasarkan kisah La Pasinda didapatkan dari penelitian Wolfgang Bick pada 1997 di Muna. pada penelitian tersebut, Bick menemukan tulisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang dalam Gua Sugi, Desa Liang Kobori. Pada gua tersebut, ada gambaran yang menunjukkan seseorang sedang bermain layang-layang di dinding batu.
Penemuan lukisan dalam Gua Sugi tersebut telah mematahkan klaim yang menyatakan, layangan pertama berasal dari Cina pada 2.400 tahun lalu. Layangan yang ditemukan di Cina menggunakan kain parasut dan batang aluminium. Sementara itu, layangan dari Pulau Muna terbuat dari bahan alam.
Ada pendapat lain yang mengungkapkan bahwa latar belakang layang-layang kaghati merupakan manifestasi Suku Muna yang menyembah api. Masyarakat meyakini bahwa sumber api adalah matahari. Akibatnya, cara mereka mencapai Tuhan dengan menerbangkan layang-layang kaghati selama 7 hari. Lalu, pada hari ke-7, tali layang-layang diputus agar bisa terbang menuju langit tempat Tuhan (matahari) berada. Layang-layang yang lepas diyakini akan memberi perlindungan kepada masyarakat Suku Muna dari siksa api neraka setelah meninggal.
Saat ini, layang-layang menjadi sarana hiburan bagi masyarakat yang diterbangkan sejak sore sampai pagi hari selama 7 hari 7 malam. Jika layangan tidak lagi dapat diturunkan, maka dibuat upacara untuk memutuskan tali layangan. Layangan juga digantungkan sesajen berupa ketupat dan makanan lain. Selain itu, ada masyarakat yang memanfaatkan penerbangan layangan untuk menjaga sawah dari serangan burung dan babi hutan.
Layang-layang tersebut kerap diikutsertakan dalam perlombaan tingkat nasional dan internasional untuk menjaga kelestariannya. Bahkan, pada 1996 dan 1997 kaghati kolope mendapat penghargaan dari pecinta layang-layang sebagai layang-layang paling alami.