Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menanti Keajaiban bagi Mia

Salah satu bayi kembar siam yang baru menjalani operasi pemisahan akhirnya meninggal dunia. Bayi yang lain masih kritis.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah petak di Jalan Tanjung Lengkong, Jatinegara, Jakarta Timur itu cuma seukuran separuh lapangan bulu tangkis. Awal pekan lalu, di rumah yang amat bersahaja itu, Mulyadi menggelar hajatan. Ia sibuk menyiapkan nasi kotak dan mendata tamu yang akan diundang.

Hajatan kecil itu merupakan ungkapan syukur Mulyadi, sang pemilik rumah. Sabtu dua pekan lalu, putri kembarnya yang terlahir dempet di bagian dada dan perut berhasil menjalani operasi pemisahan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. "Saya senang. Deg-degannya hilang," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan itu.

Tapi kegembiraan Mulyadi cepat berakhir. Jumat pagi pekan lalu, Nia Ayu Lestari, yang biasa disebut tim dokter sebagai Nurlela II, akhirnya meninggal dunia.

Menurut Harry Purwanto, sekretaris tim satuan tugas pemeriksaan bayi kembar, Nia meninggal karena mengalami gangguan hemodinamik (denyut jantung dan tekanan darah). Masih ada lagi gangguan respirasi karena penyakit primer pada kelainan jantungnya. Gangguan itu mulai terjadi pada Rabu pekan lalu. Saat itu tim dokter sudah berusaha melakukan perbaikan dan berhasil.

Namun gangguan jantungnya kembali berulang pada malam hari. Hingga pukul 05.30, kondisinya sangat payah. "Kita sudah melakukan semua tindakan. Tapi tidak berhasil, akhirnya meninggal," ujar Harry.

Bagi Nurlela, sang ibu, harapannya hilang. Di RS Cipto Mangunkusumo, ia memegang foto-foto anak kembarnya dengan gemetar. Wajahnya terlihat lelah. Matanya bengkak. Rambut panjangnya yang dikuncir ke belakang agak berantakan. "Saya pasrah," ujar Nurlela.

Namun ia tidak setuju bayinya diotopsi. Begitu juga saat dokter mengemukakan akan mengambil jantung Nia, untuk memperbaiki Mia Ayu Lestari alias Nurlela I, saudari kembarnya. Nurlela tak setuju. "Nggak, nggak..., seandainya Mia juga mau ikut adiknya, silakan, saya sudah pasrah," ujarnya dengan suara gemetar.

"Saya pengen Nia pulang dalam keadaan utuh, jangan sampai ada yang diambil," ujar ibu tiga anak itu. Lagi pula, dari keterangan dokter, kata Nurlela, kondisi jantung Mia bagus. Kebocorannya tidak terlalu parah. "Siapa tahu, kata dokter, kebocoran bisa menutup sendiri, itu kan anugerah Allah," katanya. Kini ia berharap Mia dapat segera sembuh. "Biar sehat, gitu aja," katanya.

Setelah Nia meninggal, dokter mengambil kulit bagian belakang punggungnya untuk menutup luka yang terbuka di bagian pinggir tubuh Mia, akibat operasi pemisahannya. Semula luka itu akan ditutup dengan kulit ari atau dari orang lain. Tapi kemudian dipilih kulit dari Nurlela II. Harapannya, penolakan dari tubuh Mia rendah karena kulit itu berasal dari saudarinya sendiri.

Kondisi Nurlela I (Mia) sendiri, kendati relatif stabil, masih mengalami proses infeksi dan gangguan perdarahan. Risikonya bahkan makin tinggi karena trombositnya makin rendah dan kadar hemoglobinnya menurun. "Walau stabil, kondisi masih tahap krisis, terutama menyangkut kemungkinan infeksi," ujarnya. Apakah Mia bisa bertahan hidup? "Harapan tetap ada. Upaya maksimal kita berikan," ujar Harry.

Lahir lewat cara caesar, bayi kembar siam Mia dan Nia tak cuma berbagi tulang dada. Jantung dan hati keduanya pun menyatu. Selain itu, bayi yang saat lahir berbobot 4,8 kilogram itu memiliki kelainan jantung.

Mia mengalami kebocoran jantung antara serambi kiri dan serambi kanan. Nia memiliki kelainan jantung yang lebih kompleks. Kebocoran terjadi antara serambi kiri dan serambi kanan, serta antara bilik kiri dan kanan. Juga terjadi penyempitan pembuluh darah. Dan kelainan pada saluran pembuluh darah besar, yang seharusnya terletak di bilik kiri, tapi ada di bilik kanan.

Dalam operasi pertama yang berlangsung 5 jam 50 menit, tim dokter baru melakukan pemisahan saja. Untuk memisahkan dada, bagian kulit dan ototnya dipotong, lalu tulang dada yang menyatu dipisahkan.

Hasilnya, hanya Mia yang kebagian tulang dada. Nia tidak. "Pada Nia dipasang kawat khusus untuk menyangga dadanya," kata Soedjatmiko, juru bicara tim dokter satuan tugas operasi kembar siam RS Cipto Mangunkusumo.

Dokter juga memisahkan jantung yang melekat pada kantongnya dan membagi dua hati yang semula menyatu. Rongga dada yang terbuka karena operasi ditutup dengan kulit seadanya, ditarik, lalu dijahit. Semua dilakukan dengan teknik bedah plastik. "Yang penting, jantung, usus, dan paru-parunya terlindungi," kata Soedjatmiko, yang juga dokter spesialis anak.

Usai menjalani operasi pemisahan, Mia sempat mengalami gangguan metabolisme dan perdarahan. Adapun pada Nia, akibat kelainan jantung yang kompleks, terjadi gangguan suplai oksigen ke tubuh. Namun, tiga hari setelah operasi, kondisi bayi sebetulnya sudah mulai membaik. "Kondisi mereka saat ini relatif cukup stabil," kata Harry ketika itu.

Semula tim dokter berencana melakukan operasi lanjutan terhadap kedua bayi. Kebocoran jantung akan ditutup dan penyempitan pembuluh darah ke paru akan diperlebar. Pembuluh darah besar yang tidak berada di posisi yang benar juga akan dipindahkan ke posisi yang benar.

Fathema Rachmat, ahli bedah jantung anak RS Cipto Mangunkusumo, menyebut tindakan operasi jantung pada bayi itu baru bisa dilakukan setelah ada evaluasi. Misalnya evaluasi echo-cardiography, yaitu pemeriksaan ultrasonografi jantung. Gunanya untuk menilai ruangan jantung, sekat jantung, dan pembuluh darah. Juga kateterisasi jantung, untuk mengukur tekanan dan kadar oksigen di setiap ruang jantung tadi.

Secara kasar, menurut Fathema, jenis kelainan jantung bayi kembar siam itu sudah diketahui, yaitu Double Outlet Right Ventricle (DORV). Kelainan ini merupakan suatu keadaan ketika kedua pembuluh darah arteri besar jantung keluar dari bilik kanan atau right ventricle. Kelainan jantung jenis ini selalu disertai Ventricular Septal Defect (VSD), yaitu lubang di antara kedua bilik jantung.

Itu belum seluruhnya. "Kelainan yang lebih kompleks masih mungkin dijumpai," ujar Fathema. Pasalnya, echo window—pemeriksaan echo-cardiography dengan menggunakan ultrasonografi—yang dilakukan belum sempurna. Soalnya bayi masih terbalut luka operasi.

Kelainan lebih berat yang mungkin dijumpai adalah Transposition Great Artery (TGA), yakni terjadinya transposisi pembuluh darah utama jantung terhadap bilik jantung. Pada kelainan ini, arteri pulmonalis menerima darah dari bilik kiri, sedangkan aorta menerima darah dari bilik kanan. "Padahal yang normal sebaliknya," kata Fathema.

Kelainan DORV pun bermacam-macam, tergantung VSD-nya. Misalnya jenis yang lubangnya dekat dengan pembuluh darah utama atau aorta. Ada lagi jenis yang lubangnya jauh dari aorta. "Kalau lubangnya dekat aorta, bisa dilakukan koreksi total. Kalau jauh, dilakukan Bidirectional Cavo Pulmonary Shunt (BCPS)," ujar Fathema.

Jika operasi koreksi total yang termasuk biventricular repair itu yang dilakukan, dibuat saluran yang bentuknya seperti lorong. Ini sekaligus untuk menutup lubang dalam jantungnya. Operasi ini biasanya menggunakan goretex patch, yaitu lembaran sintetis yang dapat menutup lubang tanpa menimbulkan reaksi jaringan tubuh. Penutupan ini untuk mengarahkan darah kotor ke paru-paru guna dibersihkan. Sebaliknya darah bersih diarahkan ke pembuluh darah utama, lalu dialirkan ke seluruh tubuh.

Tindakan kedua adalah memperlebar saluran darah paru-paru yang sempit, dengan membuat transannular patch. Gunanya untuk memperbesar pembuluh darah tersebut sehingga aliran darah ke paru-paru terjamin. Ini dilakukan ketika bayi berumur sekitar satu tahun dengan berat badan lebih dari 10 kilogram. "Rata-rata anak yang beratnya 10 kilogram (pembuluh darah paru-parunya) di atas 10 milimeter," Fathema menerangkan.

Jika pembuluh darah utama paru-paru dan cabang kiri kanannya tidak cukup besar, harus dibuat BT-Shunt lebih dulu. Pembuatan saluran ini untuk memperbesar pembuluh darah dan meningkatkan oksigen dalam darah. "Kalau besarnya sudah sesuai dengan umurnya, baru dilakukan koreksi total," katanya. Tapi, jika kadar oksigen dalam darahnya di bawah 60 persen, bayi tidak bisa bertahan hidup. "BT-Shunt harus dilakukan segera," katanya.

Adapun tindakan BCPS merupakan single ventricular repair. Dalam prosedur ini lubang-lubang tidak ditutup, sehingga darah kotor dan bersih menjadi satu. Kemudian darah kotor dialirkan langsung ke paru-paru. Proses BCPS ini dilakukan dengan cara menyambung pembuluh darah balik utama jantung atas (vena cava superior). Kemudian langsung disambungkan ke arteri paru-paru, tanpa melewati jantung.

Operasi dengan prosedur BCPS dapat dilakukan pada pasien berusia 6 bulan. Tapi, pada usia 4 tahun, anak harus kembali menjalani operasi. Operasi itu disebut Fontan, yaitu memindahkan aliran darah kotor dari bagian bawah tubuh langsung ke arteri pulmonalis (pembuluh darah paru-paru) kanan. Usai dilakukan operasi BCPS, pasien harus mengkonsumsi obat-obatan terus sampai tiba waktunya dilakukan operasi Fontan.

Sedangkan bagi pasien yang menjalani operasi koreksi total, pemberian obat-obatan cuma dilakukan selama tiga bulan pertama. Fathema menjamin, "Kalau kontraksi jantungnya bagus, setelah tiga bulan tak perlu diberi obat lagi. Seterusnya akan baik." Semoga ada keajaiban, dan Mia mampu bertahan hidup.

Lis Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus