Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Suasana Lebaran hari pertama di Yogyakarta tampak lengang tanpa disertai aktivitas yang mencolok, Kamis, 13 Mei 2021. Sejumlah pusat aktivitas, khususnya di pusat kota yang sebelum pandemi Covid-19 biasanya dipadati masyarakat, tahun ini senyap dari keriuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pantauan Tempo, dari pagi hingga siang hari, kawasan seputaran Jalan Malioboro, Keraton Yogyakarta, Alun-Alun Utara dan Selatan hingga terminal dan kantung parkir penyangga di kawasan wisata tampak lengang. Hanya segelintir pedagang kaki lima di Malioboro membuka lapak makanan di sisi timur jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan hingga siang, rombong-rombong para pedagang kaki lima di sisi barat Malioboro juga masih dibiarkan terbungkus terpal alias belum digelar.
"Hari raya Idul Fitri ini kami (PKL) pilih meliburkan diri, karena selama puasa hampir tidak ada yang beli, omzet anjlok 90 persen dan kami sudah rugi," kata Ketua Paguyuban PKL Tri Darma Malioboro, Paul Zulkarnaen.
Paul mengatakan sebagian besar PKL Malioboro kemungkinan baru buka lapak kembali pada Jumat, 14 Mei 2021. "Kami akan coba adu nasib lagi dengan buka lagi besok hari kedua lebaran, meski selama Ramadan ini kami selalu pulang tanpa bawa uang," kata dia.
Adapun suasana Idulfitri di Keraton Yogyakarta juga tampak lengang. Hanya para perwakilan abdi dalem dalam jumlah tak lebih dari 100 orang dari pagi berdatangan dengan menggunakan pakaian peranakan lengkap dan memakai masker.
Dua tradisi Keraton saat Idulfitri yakni Grebeg Syawal (arak arakan gunungan) dan Ngabekten (sungkeman kepada raja) ditiadakan untuk mencegah penularan virus Corona yang di Yogya hingga lebaran kedua ini sudah membuat tak kurang 1.041 warga meninggal.
"Kami ke sini untuk menerima pareden (bagian dari gunungan yang biasa dipakai dalam tradisi Grebeg) dari Keraton," ujar seorang abdi dalem Daru Widagdo, yang didapuk membawakan lima buah tusuk rengginang pareden untuk abdi dalem lainnya.
Pareden dalam Grebeg Syawal Keraton Yogya dimaknai sebagai simbolisasi pemberian raja Keraton Yogyakarta kepada rakyat atas hasil bumi yang melimpah. Namun pada momentum lebaran ini, seperti tahun lalu, Grebeg Syawal secara terbuka ditiadakan.
Keraton pun mengganti pareden atau gunungan itu dengan ribuan tusuk rengginang yang dirangkai mirip bunga, lalu dibagikan kepada perwakilan abdi dalem. Prosesi itu dilakukan di cepuri Keraton secara tertutup.
Sedangkan di Masjid Gedhe Kauman tidak ada prosesi arak arakan pareden saat Lebaran untuk menghindari kerumunan. Rengginang pareden itu dibagikan kepada 3.000 abdi dalem baik di Keraton Yogya, Pura Pakualaman dan Kantor Gubernur Kepatihan melalui perwakilan-perwakilan abdi dalem yang diundang saja.